Kirana, seorang siswi SMA dengan kemampuan indigo, hidup seperti remaja pada umumnya—suka cokelat panas, benci PR Matematika, dan punya dua sahabat konyol yang selalu ikut terlibat dalam urusannya: Nila si skeptis dan Diriya si penakut akut. Namun hidup Kirana tidak pernah benar-benar normal sejak kecil, karena ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan arwah yang tak terlihat oleh orang lain.
Saat sebuah arwah guru musik muncul di ruang seni, meminta bantuan agar suaranya didengar, Kirana terlibat dalam misi pertamanya: membantu roh yang terjebak. Namun kejadian itu hanyalah awal dari segalanya.
Setiap malam, Kirana menerima isyarat gaib. Tangga utara, lorong belakang, hingga ruang bawah tanah menyimpan misteri dan kisah tragis para arwah yang belum tenang. Dengan bantuan sahabat-sahabatnya yang kadang justru menambah kekacauan, Kirana harus menyelesaikan satu demi satu teka-teki, bertemu roh baik dan jahat, bahkan melawan makhluk penjaga batas dunia yang menyeramkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
Kau yakin ini undangan resmi, Kir?” tanya Kezia, menatap kertas buram dengan cap merah darah berbentuk pena dan mata terbuka.
Kirana duduk tenang di ruang belakang toko antik, bersama Jalu, Radit, Diriya, Nila, dan Kezia.
Ia mengangguk. “Undangannya datang ke toko. Di dalam amplop dari daun lontar. Namanya ditujukan kepadaku... dan kalian.”
Jalu mencondongkan badan. “Kita diundang buat... ngajar kelas tak terlihat? Itu gimana maksudnya?”
Pak Wiryo akhirnya bicara, dengan nada pelan dan dalam.
“Sekolah yang tidak ada di peta... biasanya dibangun bukan untuk manusia biasa. Kelas tak terlihat itu... adalah tempat menampung anak-anak roh yang meninggal dengan tanya. Mereka mencari pelajaran terakhir sebelum mereka bisa pergi.”
“Jadi... kayak TK akhirat?” gumam Radit, ngeri-ngeri lucu.
“Lebih tepatnya... ruang terakhir bagi jiwa yang belum selesai,” jawab Pak Wiryo.
Kirana berdiri. “Kalau itu benar, maka mereka butuh kita. Bukan untuk ditakuti... tapi untuk dimengerti.”
Esok paginya, mereka sampai di lokasi:
SMPN Puspasari 5, bangunan tua di tengah ladang kosong, tak tercatat di Google Maps, dan tak punya sinyal di sekitarnya.
Gerbangnya terbuka sendiri.
Sebuah plang kayu bertuliskan:
“Kami belajar untuk lupa, agar kalian belajar untuk ingat.”
Nila langsung gemetar. “Aku... gak yakin bisa ikut sampai akhir.”
Kirana menepuk bahunya. “Gak usah takut. Kita bukan siswa... kita tamu.”
“Yang bisa keluar?” tanya Diriya.
“Semoga,” bisik Radit.
Di dalam sekolah:
Suasananya tidak terlalu menyeramkan, malah... tampak seperti sekolah biasa.
Papan tulis, meja kayu, lorong dengan poster pendidikan. Tapi semuanya... usang.
Bukan kotor, hanya... berhenti hidup.
Lalu mereka melihatnya:
Kelas bernomor 7.
Namun ketika dihitung, dari luar hanya ada enam ruangan.
“Gimana bisa kelas 7 ada kalau kelasnya cuma sampai enam?” tanya Kezia.
Tiba-tiba bel berbunyi tiga kali.
Dan sebuah pintu muncul dari dinding kosong.
Kirana menatap pintu itu. “Kelas tak terlihat.”
Ia melangkah pelan. Tapi sebelum membuka pintu, ia berkata pada teman-temannya,
“Kalau kalian merasa takut, cukup pegang tanganku. Tapi jangan lepaskan... apa pun yang terjadi.”
Mereka semua mengangguk.
Pintu dibuka.
Dan mereka masuk ke dunia yang lain.
Di dalam kelas 7:
Ruangan itu bercahaya biru pucat. Meja-meja terisi anak-anak dengan seragam sekolah lusuh. Mata mereka kosong, tapi tidak menyeramkan hanya penuh tanya.
Seorang anak perempuan berdiri dari bangku paling depan. “Apakah kamu guru hari ini?”
Kirana maju. “Aku bukan guru. Tapi... aku di sini untuk membantu kalian mengingat.”
Anak-anak itu mulai bersuara.
“Saya mati di jalan raya.”
“Saya meninggal saat banjir.”
“Saya tertidur di kelas, dan gak pernah bangun lagi.”
“Saya dibunuh... tapi orang bilang saya kecelakaan.”
Kirana berjalan di antara mereka.
“Kalian semua merasa belum selesai. Tapi tahu tidak? Kadang jawaban bukan datang dari ingatan, tapi dari pengampunan.”
Seorang anak lelaki berdiri. “Tapi aku belum tahu siapa yang pukul aku sampai mati.”
Radit menggertakkan gigi. “Kejam banget...”
Kirana menatap anak itu. “Kalau kamu tahu, apa kamu akan damai? Atau akan semakin marah?”
Anak itu terdiam.
Lalu perlahan, bayangan hitam di belakangnya sosok pelaku muncul dalam bentuk kabur.
Kirana mengangkat liontin, membacakan mantra pelepasan jiwa.
Bayangan itu perlahan meleleh, dan anak itu pun tersenyum tipis sebelum menghilang jadi cahaya.
Satu per satu anak dalam kelas itu pun pergi.
Diriya dan Nila menangis dalam diam. Kezia memeluk Kirana sambil berbisik,
“Kau tetap jadi orang paling berani yang kukenal.”
Kirana hanya tersenyum. “Bukan berani. Aku hanya... sudah berdamai dengan rasa takutku.”
Tapi sebelum mereka keluar... satu kursi berderit sendiri.
Duduk di sana adalah anak perempuan terakhir.
Ia tidak bicara. Hanya menatap Kirana dengan mata penuh air.
Kirana mendekat. “Apa kau... juga ingin keluar?”
Anak itu menggeleng. “Aku ingin tinggal. Ini... satu-satunya tempat di mana aku gak dikata-katain.”
Mereka semua menunduk.
“Di dunia hidup... aku dibully. Dibilang gendut. Dibilang bodoh. Dibilang jijik. Tapi di sini... gak ada yang ngata-ngatain aku.”
Kirana duduk di sebelahnya.
“Namamu siapa?”
“Anya.”
“Anya, kamu tahu... tidak semua orang di luar sana jahat. Dan kamu berhak bahagia... bukan hanya tidak disakiti.”
Anya menangis. Dan dari balik air matanya, tubuhnya mulai bercahaya.
“Aku boleh... punya teman kayak kalian?”
Kirana meraih tangannya. “Kamu sudah punya. Sekarang dan seterusnya.”
Bangku, papan tulis, cahaya biru... satu per satu lenyap.
Dan ketika mereka membuka mata, mereka sudah kembali di lorong sekolah biasa.
Di dinding, tertulis dengan kapur:
“Terima kasih. Kelas ini tidak perlu ada lagi.”
...----------------...
Beberapa hari kemudian
“Ini bukan rumah biasa,” kata Pak Wiryo dengan nada penuh kehati-hatian.
Di hadapan mereka adalah selembar peta properti, cetak biru pembangunan perumahan baru yang bahkan belum dimulai. Tapi anehnya…
Setiap malam, suara ketukan dari ‘rumah nomor 9’ terdengar di pos keamanan lokasi pembangunan.
Belum ada bangunan.
Belum ada pondasi.
Tapi ‘rumah nomor 9’—yang hanya berupa tanah kosong—mengirim suara dari masa depan.
Kirana, bersama Jalu, Radit, Diriya, Nila, dan Kezia, berdiri di tepi lahan.
Hanya tanah rata. Tak ada apa-apa. Tapi atmosfernya… seperti mereka sudah berada di halaman rumah yang tua dan penuh cerita.
“Kalau ini suara dari masa depan… apa kita bisa mengubahnya sebelum rumah ini dibangun?” tanya Nila, menatap Kirana penuh harap.
Kirana menghela napas. “Aku gak yakin. Tapi satu hal yang kutahu... kalau suara dari masa depan bisa sampai ke masa sekarang, itu artinya sesuatu ingin dicegah. Atau... diperingatkan.”
Malam itu, mereka berkemah di pinggir lokasi.
Tenda kecil. Senter. Termos teh manis.
Radit mulai gelisah. “Eh, ini udah lewat jam dua. Kenapa belum ada yang aneh?”
Belum selesai kalimatnya…
Terdengar suara pintu dibanting.
Padahal… tidak ada rumah.
Kemudian… suara anak kecil tertawa pelan.
Kirana berdiri cepat, matanya menatap ke arah udara kosong.“Dia muncul.”
Di depan mereka perlahan-lahan seperti cat air membentuk lukisan, muncul bayangan rumah.
Hanya tampak samar. Seperti ingatan kabur.
Siluet pintu. Jendela. Lantai dua.
Lalu dari balik tirai yang tak ada itu, mata kecil mengintip.
Dan suara lirih terdengar:
“Jangan biarkan Mama masuk…”
---
Kirana melangkah maju. “Siapa kamu?”
Suaranya terhenti sejenak.
Lalu terdengar lagi, kali ini jelas:
“Namaku Alisha. Aku... belum lahir.”
Jalu langsung menoleh, ngeri. “Belum lahir?! Maksudnya... ini hantu dari masa depan?!”
Kirana tetap tenang. “Alisha… kenapa kamu di sini?”
“Aku ingin lahir. Tapi… aku tahu kalau rumah ini dibangun, aku gak akan pernah lahir.”
“Karena di rumah ini... akan terjadi sesuatu. Ibuku akan… hilang. Aku akan ikut.”
---
Kirana gemetar.
Ini bukan arwah. Ini... roh calon bayi.
Dan ini rumah yang belum terjadi. Tapi sudah memiliki nasib.
Diriya menunduk. “Bagaimana mungkin seseorang yang belum lahir bisa minta tolong?”
Pak Wiryo menjelaskan, lewat telepon:
“Kadang, roh-roh yang sudah ditakdirkan untuk lahir bisa merasakan bahaya dari takdir yang akan datang. Mereka belum hidup, tapi mereka menunggu. Dan jika takdir mereka terputus... mereka tersesat di waktu.”
---
Kirana duduk di atas tanah.
“Alisha… siapa ibumu?”
“Namanya... Devina. Dia belum pindah ke kota ini. Tapi jika dia beli rumah ini… dia akan mati. Dan aku... gak akan pernah ada.”
Kirana mengangguk.“Aku janji akan lakukan yang bisa aku lakukan.”
“Jangan biarkan rumah ini dibangun.” seru alisha
---
Pagi harinya, Kirana membawa cerita ini ke pengembang.
Tentu saja mereka tidak percaya.
Tapi saat mereka ke lokasi rumah nomor 9, kamera drone yang merekam area itu… tiba-tiba menangkap bayangan rumah lengkap di satu frame.
Bayangan rumah... yang belum ada.
Dan di jendela lantai dua, tampak seorang anak perempuan melambai.
---
Seminggu kemudian.
Pengembang memutuskan memindahkan lokasi rumah nomor 9 dan mengubah tata letak.
Kirana dan teman-temannya berdiri di sisi tanah yang kini kosong kembali.
Dan malam itu…
Siluet rumah perlahan menghilang.
Suara tertawa anak kecil pelan berubah jadi bisikan bahagia:
“Terima kasih… sekarang aku bisa menunggu… dengan tenang.”
---
Radit menggeleng-geleng.
“Baru kali ini kita nolong... calon arwah yang belum jadi.”
Jalu mengangguk. “Ini tuh kayak... kita ngatur masa depan dari masa sekarang.”
Kirana tersenyum. “Kadang kekuatan kita bukan hanya untuk melihat yang sudah mati… tapi menjaga yang seharusnya hidup.”
---
Kirana dan timnya berhasil menyelamatkan nasib seorang anak yang bahkan belum sempat lahir, dengan mengubah kemungkinan masa depan.
Bersambung
semangat Thor berkarya itu tidak mudah salam sehat selalu ya Thor 💪👍❤️🙂🙏
lanjutkan Thor semangat 💪 salam sehat selalu 👍❤️🙂🙏