Rika, mahasiswi sederhana, terpaksa menikahi Rayga, pewaris mafia, untuk menyelamatkan keluarganya dari utang dan biaya operasi kakeknya. Pernikahan kontrak mereka memiliki syarat: jika Rika bisa bertahan 30 hari tanpa jatuh cinta, kontrak akan batal dan keluarganya bebas. Rayga yang dingin dan misterius memberlakukan aturan ketat, tetapi kedekatan mereka memicu kejadian tak terduga. Perlahan, Rika mempertanyakan apakah cinta bisa dihindari—atau justru berkembang diam-diam di antara batas aturan mereka. Konflik batin dan ketegangan romantis pun tak terelakkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhamad Julianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
Di perpustakaan kampus yang cukup luas dan penuh rak tinggi berisi buku-buku tebal, suasana terasa tenang namun penuh aktivitas. Beberapa mahasiswa duduk berkelompok kecil, saling berdiskusi sambil membuka laptop dan menandai buku dengan stabilo warna-warni. Yang lain sibuk berjalan di antara rak-rak, mencari literatur yang sesuai dengan topik presentasi akhir mereka.
Rika duduk di salah satu meja paling ujung dekat jendela besar. Sinar matahari yang mendekati sore masuk samar lewat tirai tipis, membuat suasana terasa tenang dan seharusnya mendukung konsentrasi. Namun entah kenapa, justru di tengah ketenangan ini pikirannya makin kacau.
Ia menatap halaman buku yang terbuka di depannya. Sudah enam kali ia membaca satu kalimat yang sama, dan tetap saja tak ada yang menempel di kepala. Ia mengerang pelan, memijit pelipis kepala.
Apa-apaan, sih? Kenapa pikiran ku mudah sekali terdistraksi belakangan ini? pikirnya jengkel pada diri sendiri.
“Rika kau kenapa?, jangan sampai Bu Ruli menegur mu lagi!” bisik Rani yang duduk tak jauh darinya, sambil melirik ke arah layar laptopnya sendiri.
Rika langsung berdehem kecil, meminta maaf karena membuat sedikit keributan. Ia menarik napas panjang, lalu kembali menunduk menatap buku. Namun belum sempat membaca dua baris, bayangan wajah Rayga tiba-tiba terlintas begitu jelas di kepalanya. Senyum miringnya. Tatapan matanya saat malam itu…
Ia memejamkan mata cepat-cepat. 'Tolong, keluar dari kepalaku. Aku cuma mau belajar. Ini bukan waktunya memikirkan hal aneh-aneh., atau jangan bilang aku mulai menyukai nya?... No, no ,no, ingat Rika itu hanya sebatas pernikahan kontrak dan kau tidak seharusnya menaruh hati!!' gumam nya sendiri dalam pikiran.
“Rika?” panggil Raka dari seberang meja, memperhatikan ekspresi temannya yang berubah jadi merah padam.
Namun Rika tak bisa menjawab. Bayangan lain yang lebih panas muncul lagi: Ia mengingat kejadian beberapa jam lalu dimana Rayga mencium jemarinya yang basah setelah...
Ia langsung membuka mata, lalu buru-buru menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah. Ia bahkan tak berani menatap siapa pun sekarang.
“Kau baik-baik saja? Muka mu keliatan merah begitu tadi” tanya Raka lagi sambil berjalan ke arah meja Rika dan Rani dengan membawa beberapa buku. Kali ini dengan nada serius.
“I-iya… iya tidak apa—apa kok , Raka,” ucap Rika cepat, walau hatinya berteriak panik, Tidak! Aku sama sekali tidak baik! Aku kacau!! Apa yang sebenarnya terjadi pada ku?'
Dari kejauhan, suara rak buku yang digeser dan langkah mahasiswa lain yang berkeliling menjadi latar belakang suara di kepalanya. Namun bagi Rika, yang bergemuruh saat ini hanyalah degup jantungnya sendiri dan pikiran yang tak berhenti menghilang dari kepala nya.
*****
Raka yang mendengar itu jelas tak percaya sepatah kata pun dari Rika. Karena ia melihat kegelisahan yang dihadapi oleh Rika secara tiba—tiba tapi ia urungkan untuk bertanya lebih lanjut dikarenakan tugas nya mulai menumpuk dan lagi Rika sendiri yang tidak mau diganggu.
Rika pun mulai menghindari tatapan temannya dan menutup bukunya perlahan, menunduk, menatap ujung sepatunya sendiri.
'Perasaan apa ini sebenarnya? Apakah ini perasaan suka? Sama seperti aku menjalani hubungan dengan Ranza? Tapi kenapa hingga se—gelisah ini? Sebelum nya tidak, bahkan saat aku melakukan kencan , perasaan nya tidak sehebat ini, Pikir Rika. 'Dan kenapa otakku sekarang malah memproses kejadian semalam secepat ini? Dan kenapa harus sekarang, saat aku sedang mencoba belajar? Sepertinya Rayga mengubah ku menjadi wanita binal sekarang. Gumamnya sambil memegang pelipis nya.
Rika juga sudah tertinggal jauh dalam semua tugasnya. Ia tak bisa fokus mengerjakan bahan presentasi, tugas kelompok, bahkan sempat terkena omelan Bu Ruli di kelas karena jawabannya melenceng dari topik. Dan sekarang—ini? Otaknya makin berantakan.
"Tolong... berhenti..." bisiknya pelan, hampir menangis. Ia belum pernah merasa se—terpuruk ini seumur hidupnya. Entah kenapa ia merasakan rasa penyesalan yang tak bisa diungkapkan kata. Ketika dirinya disentuh Rayga pun, rasa malunya atau penolakan pun tidak ada , dan malah menikmatinya—karena saat itu ia yakin kalau dirinya tak sepenuhnya sadar. Tapi sekarang? Ia benar-benar terbangun... dan tersiksa oleh pikirannya sendiri dan menyesali kejadian malam itu.
Dan sekarang Rika merasakan nyeri di area sensitifnya kembali, lengkap sudah penderitaan Rika saat ini.
Disaat ia menunduk di tempat duduk nya, sebuah tepukan di pundak nya membuyarkan lamunan nya dan pelaku nya—Rani yang menatap sedikit khawatir.
"Rika kau tidak apa-apa? Kau dari tadi tampak gelisah?" Ucap Rani dengan nada khawatir.
Namun, Rika hanya menggeleng kan kepala dan bilang kalau ia tidak apa-apa, ia juga meminta Rani jangan memberitahu Bu Ruli.
Tapi tentu Rani tak akan tinggal diam , melihat sahabatnya nampak gelisah yang berlebihan seperti ini.
“Bu Ruli, saya rasa Rika sedang sakit,” Ucap Rani secara tiba—tiba, mahasiswa di sebelah kanan Rika—dengan suara cukup keras hingga didengar beberapa orang.
Semua mata langsung tertuju padanya.
Rika pun langsung tersentak dan memegang tangan Rani agar berhenti melakukan hal seperti itu.
Tapi Rani hanya berdecak kesal karena Rika cukup keras kepala menurut nya untuk di katakan baik baik saja.
“Ahh iya saya juga sempat lihat, Bu. Tapi sepertinya Rika malu menyampaikan langsung setelah tadi sempat saya tanya. Mungkin sebaiknya beliau diizinkan pulang lebih dulu,” lanjut Raka berseru yang ada didepannya sambil menatap dosennya dengan penuh perhatian.
“Rika?” Suara Bu Ruli terdengar tenang, tapi jelas mengandung kekhawatiran. “Kamu baik-baik saja?”
Rika mengangkat wajahnya, mencari sumber suara itu, lalu bertatapan dengan Bu Ruli.
“B-bu Ruli…”
“Kamu sakit? Atau ada yang ingin kamu sampaikan?”
Rika membuka mulutnya, ingin menjawab. Tapi tidak ada kata yang keluar. Hanya bibirnya yang bergerak, sedangkan suaranya seakan tercekat di tenggorokan.
“Ya ampun, Bu, masa masih ditanya lagi?” Rani menyela dengan suara cukup lantang. Wajahnya kesal. “Lihat dong, Bu. Dia gelisah begitu!” ucapnya dengan sarkas.
Raka mendengar ucapan Rani yang cukup keterlaluan pun berusaha menegur Rani agar sedikit dipelankan.
Rika mengatup bibir dan menggeleng pelan. Ia tidak tahan lagi. “Maaf Bu Ruli mungkin ucapan sahabat ku benar… Aku… aku tidak bisa melanjutkan pembelajaran hari ini,” ucapnya dengan suara pelan namun terdengar jelas.
Sebelum siapapun termasuk Bu Ruli bisa menahan atau bertanya lebih jauh, Rika langsung berdiri, memungut semua bukunya, meraih tas, dan berlari kecil keluar dari ruang perpustakaan. Kepalanya menunduk, wajahnya memerah karena malu—bukan hanya karena pikirannya yang kacau, tapi juga karena perhatian orang-orang di sekitarnya yang justru makin membuat beban di dadanya menyesakkan.
Ia tidak mempedulikan kesopanan nya saat keluar tadi, tapi yang penting Rika sudah meminta izin kalo ia tidak bisa bertahan lebih lama. Lagian ia tidak 100% sengaja melakukannya.
Rani yang melihat kejadian Rika langsung keluar hanya menghela nafas, karena disusul pun sudah cukup jauh. Ia melirik BuRuli—dosennya dan meminta maaf atas ketidak sopanan sahabat nya tapi ia yakin Rika tidak sengaja melakukan itu.
Bu Ruli hanya menghela napas dan mengangguk saja, ada rasa sedikit menyesal atas ketegasan yang ia berikan sebelumnya, hingga membuat Rika seperti ini.
***
“Nyonya?” Rika membuka matanya perlahan, menatap sekeliling dan langsung mengenali interior halaman Mansion D'Amato yang menjadi tempat tinggalnya saat ini. Ia tersenyum tipis ke arah Bodyguard yang masih berdiri di luar mobil.
“Terima kasih.” Ia turun dari mobil, langkahnya sedikit oleng, lalu masuk ke dalam rumah. Perutnya berbunyi pelan, mengingatkannya bahwa ia belum makan apapun beberapa jam ini. Saat pagi pun ia hanya memakan beberapa cemilan dan itupun sedikit.
“Penat sekali hari ini,” Keluh nya pelan sambil menjatuhkan tubuh di sofa panjang di ruang tengah.
“Ahh, Ada Nyonya. Kelihatan nya sangat lelah, apa nyonya baik baik saja?” tanya Bibi Ranti, muncul dari arah dapur sambil mengamati penampilan Rika yang lelah.
Rika berusaha duduk tegak meski tubuhnya terasa lemas. Ia mengangguk pelan, memberikan senyum tipis. “Rika tidak apa-apa kok Bi, Humm ada aroma enak banget nih Bi... Bibi masak apa, sih?” tanyanya, padahal yang sebenarnya ingin ia katakan adalah: “Bisa aku minta makanannya sekarang juga?”
Bibi Ranti tertawa kecil dan duduk di sandaran kursi, meraih tangan Rika dengan lembut. “Bibi sarankan Nyonya lebih baik ke kamar dulu, mandi agar tubuh lebih segar. Kalau mau, Bibi bawakan makanannya ke kamar, Nyonya”
Ide itu terdengar seperti penyelamat hidup bagi Rika saat ini.
Rika bangkit dan menguap kecil. “Tolong ya, Bi. Terima kasih banyak sarannya, Rika tunggu di kamar ya Bi”
“Baiklah Nyonya, sekarang nyonya langsung ke atas saja, ganti baju, dan mandi air hangat. Badan pasti langsung enakan.”
“Terima kasih, Bi.”
---
Setelah mandi...
Rika membungkus tubuhnya dengan handuk besar, dan satu lagi ia lilitkan ke rambutnya dengan hati-hati. Ia duduk di ranjang, memejamkan mata sejenak, sampai terdengar suara ketukan pelan.
“Nyonya Rika? Maaf ganggu ya, tadi Bibi sudah ketuk pintu lebih dulu. Tapi Nyonya menjawab jadi saya masuk."
Bibi Ranti muncul sambil membawa nampan berisi makanan. Perut Rika langsung bereaksi lagi—keroncongan.
Rika langsung berdiri dan menyambutnya. “Mmm, Tidak apa-apa, Bi. Aku dengar kok ketukannya. maaf jika tidak membukakan pintu. Tadi Rika sempat ketiduran sebentar. Tapi ini terimakasih, sini biar Rika aja yang bawa.” Ia mengambil nampan itu dan kembali duduk di ranjang.
Bibi Ranti menghela napas lega melihat Rika mulai terlihat lebih segar. Rika hanya tertawa kecil. “Terima kasih, Bi!” serunya sambil meletakkan nampan di pangkuannya.
Bibi Ranti hanya mengangguk dan izin pamit keluar dari kamar Rika.
“Harumnya… astaga,” Rika mengendus aroma makanan dan mendesah puas. Entah bagaimana, masakan Bibi Ranti selalu enak. Tidak hanya wanginya menggoda, rasanya juga selalu luar biasa.
Ia mengambil satu suap dan langsung memejamkan mata. “Enak banget…” gumamnya sambil menikmati makanan itu.
Setelah makan beberapa suap, Rika menaruh nampan di lantai samping tempat tidurnya. Dalam hati ia berniat suatu saat membalas kebaikan Bibi Ranti.
Tanpa diduga, makanan itu membuat Ia menguap, lalu merebahkan diri ke ranjang.
Tapi saat baru saja menutup mata, ia kembali menggerutu pelan, menggulingkan tubuh dan menendang selimut. “Kenapa aku gak bisa tidur sih sekarang…Padahal tadi mengantuk deh" ucapnya sewot pada dirinya.
---
Beberapa menit kemudian, suara ketukan terdengar lagi di pintu.
“Nyonya?” Bibi Ranti muncul dengan senyum ramah. “Maaf ganggu lagi. Bibi hanya ingin mengambil nampannya.”
“Oh tentu Bi, terimakasih ya. Makanannya enak banget, kayak biasa, bikin nagih!” sahut Rika.
Bibi Ranti tersipu, lalu membungkuk mengambil nampan. “Aduh Nyonya, bisa aja, bikin Bibi malu.” Ia berjalan menuju pintu, lalu berhenti dan menoleh sedikit.
Dan itu membuat Rika mengkerut kan kening nya.
“Mmm...sebelumnya maaf bukan mau membuat Nyonya kepikiran, tapi… Tuan Muda Rayga belum pulang sampai sekarang. Bibi cukup khawatir. Biasanya tuan muda paling tidak memberitahu bibi kalau mau pulang telat karena itu kebiasaan tuan muda seperti itu pada bibi padahal bibi hanya pelayan tuan muda. Tapi saat ini tidak ada informasi dari tuan muda —bahkan setidaknya tuan muda akan bilang jika menginap di tempatnya Nyonya Rita.”
Wajah Rika langsung berubah masam mendengar nama itu. Bibi Ranti tampak menyadari, lalu menggeleng pelan seolah ia tau kalo ia melakukan kesalahan karena menyebut nama Rita.
“Tapi Bibi rasa tuan muda tidak di sana. Sejak Nyonya tinggal di sini, dia tidak pernah lagi menginap di tempat Nyonya Rita.”
'Tentu saja Bibi selalu belain dia...' pikir Rika sambil menghela napas dalam hati. Tapi demi menjaga sikap, ia memaksakan senyum. Karena ia tau bahwa bibi hanya melakukan tugas nya.
“Mmm tidak apa-apa Kok, Bi. Terima kasih sudah memberitahu Rika info seperti ini bi.” balas Rika tulus.
Setelah mengucapkan itu ,Bibi Ranti pun pamit dan meninggalkan kamar Rika.
Setelah bibi Ranti menghilang dari pandangan Rika, Ia pun menutup pintu rapat dan duduk di ranjang.
"Cih Terserah dia mau pulang atau enggak. Emang nya aku peduli!! Gak ada dia gak akan bikin aku insomnia kok" gumamnya.
Setelah itu, Rika berbaring di ranjang dan memaksa memejamkan mata untuk tertidur. Hingga ia pun memasuki dunia mimpi.
******