Zareena, wanita cantik nan sempurna menikah dengan pria yang sangat dicintainya hingga pernikahannya dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Elvano. Lima tahun pernikahannya terasa begitu sangat indah, hingga kenyataan menghantam relung hatinya. Suaminya berselingkuh dengan adik angkatnya, bahkan keluarganya begitu memihak pengkhianat.
Di khianati dan disingkirkan, Zareena tiada dalam kesedihannya. Namun kepergiannya bukan akhir dari segalanya. Dalam gelapnya alam baka, Zareena bersumpah.
“Jika diberikan kesempatan kedua, aku akan memilih mengubah takdirku, melindungi putraku dari pengkhianat”.
Dan ketika ia membuka mata, ia kembali bukan sebagai Zareena, tapi sebagai ancaman yang tak mereka duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dlbtstae_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melahirkan
Suara denting jam dinding di kamar VVIP terdengar seperti detak waktu yang mencekam. Subuh baru saja beranjak, dan langit masih menyisakan gurat jingga tipis saat Zareena tiba-tiba mengerang pelan dari brankar
“Mas… sakit…,” desisnya sambil menggenggam erat sprei.
Andra yang duduk di sofa kecil di dekat ranjang langsung terbangun, tubuhnya menegang. “Sayang? Kamu kontraksi?”
Zareena hanya mengangguk dengan nafas memburu. Cairan bening mulai mengalir dari sela-sela kakinya. Matanya melebar dalam keterkejutan yang menyentak naluri terdasar seorang ibu bayinya akan lahir. Subub ini.
“Ya Tuhan. Ini waktunya.”
Andra langsung menekan tombol alarm darurat yang terhubung ke sistem keamanan rumah sakit. Dalam waktu dua menit,tiga suster dan dokter masuk ke kamar dengan perlengkapan lengkap. Semua berlangsung seperti latihan yang sudah mereka siapkan sejak berminggu-minggu lalu tapi tetap saja, gemetar di tangan Andra tak bisa disembunyikan.
“Tenang, Mas. Zaree bisa… Zaree bisa,” bisik Zareena, meski wajahnya sudah berpeluh.
“Sayang, kamu kuat. Mas di sini,” Andra mencium keningnya, berusaha menyalurkan ketenangan meski tubuhnya seolah akan runtuh karena cemas.
Kontraksi datang bergelombang, menyesak dan menyiksa. Zareena berteriak, menggenggam tangan Andra begitu kuat hingga nyaris membuat suaminya mengaduh. Tapi Andra tak mundur. Matanya hanya tertuju pada istrinya. Pada peluh yang menetes di pelipis. Pada napas terengah-engah. Pada cinta yang kini diuji oleh rasa sakit paling purba.
Suara tangisan pertama bayi memecah keheningan. Seorang bayi mungil dengan pipi merah dan rambut legam diangkat tinggi oleh bidan, langsung dibungkus dan dibawa untuk dibersihkan.
“Itu anak kita, Mas… anak kita…” lirih Zareena, air matanya menetes.
Namun belum selesai kebahagiaan menyentuh, kontraksi kembali menyerang lebih hebat. Bayi kedua. Jeritannya lebih panjang. Nafas Zareena semakin pendek. Matanya mulai kehilangan fokus.
“Mas… aku lelah,” ucapnya hampir tak terdengar.
“Jangan, sayang. Sedikit lagi. Kumohon…”
Beberapa menit kemudian, tangisan bayi kedua menggema di kamar VVIP itu. Andra sempat bersyukur. Tangisan itu terdengar kuat. Tanda kehidupan. Namun saat ia kembali memandang Zareena, hatinya runtuh.
Mata Zareena terpejam. Tubuhnya terkulai.
“Zareena?! Sayang?!” jerit Andra, mengguncang pelan tubuh istrinya.
Salah satu suster segera mengambil alih, alat medis dinyalakan, tekanan darah di cek, denyut nadi diperiksa. Hening menggantung seperti awan gelap.
“Pasien tidak merespons…,” suara suster terdengar genting.
Dokter yang bersama mereka memberikan keputusan cepat. “Kita harus membawanya ke ruang medis. Segera.”
Andra hanya bisa mengikuti dengan langkah gemetar, menggenggam tangan Zareena yang dingin. Dua bayi mereka telah lahir. Tapi ibunya, wanita yang ia cintai, kini terbaring tanpa kesadaran. Hampa.
*
*
*
Sudah tujuh hari berlalu.
Zareena belum juga membuka matanya.
Alat-alat medis menopang kehidupan yang menggantung di antara dua dunia. Dokter menyebutnya koma ringan. Tapi bagi Andra, dunia terasa runtuh.
Ia duduk setiap hari di samping ranjang, menggenggam tangan istrinya. Kadang berbicara, menceritakan dongeng yang dulu mereka bacakan untuk Elvano, berharap Zareena mendengarnya. Tapi tak ada respons. Tak satupun.
Keluarga Maverley bergantian berjaga. Marissa kerap menangis diam-diam, memeluk Alaska saat malam tiba. Bahkan Opa Araska yang selama ini keras, sempat terdiam lama di lorong, hanya menatap cucu menantunya yang terbaring bagai patung hidup.
Elvano belum tahu secara penuh apa yang terjadi. Tapi anak sekecil itu tahu satu hal pastinya mommy-nya tidak bangun. Dan itu membuatnya marah. Sedih. Bingung.
“Dia tidak makan sama sekali ?” tanya Raimond dengan nada lelah.
Marissa mengangguk. “Hanya air putih. Itu pun sedikit. Dia bahkan menolak melihat adik-adiknya.”
Orianna menghampiri kamar Elvano yang sejak pagi tertutup. Ia mengetuk pelan.
“El? Anna macuk ya…”
Di dalam kamar, Elvano duduk di pojok ruangan. Tubuhnya meringkuk dengan boneka naga birunya dipeluk erat. Matanya sembab. Wajahnya pucat.
“Mommy nda bangun… kalena El bandel ya?” bisiknya tanpa menatap Orianna.
Orianna tersentak. “Bukan begitu, El. Bukan cepelti itu. Mommy Jali cuma istilalat, cebental kok. Tapi El halus bantu mommy Jali bial mommy nya El bangun lagi, ya.”
“El mau mommy… bukan adik…”
“El, kamu belum lihat meleka loh. Meleka lucu banget, matanya milip cama kamu—”
“El nda mau lihat! El nda mau makan! El mau mommy!” teriak Elvano, melempar bantal ke arah Orianna.
Gadis kecil itu menahan kesalnya. Ia ingin mengacak-acak rambut sepupunya, tapi melihat tubuh mereka yang sesama mungil itu gemetar dalam pelukan sendiri, hatinya luluh. Ia hanya berjongkok dan memeluk Elvano perlahan.
“El tahu… mommy Jali pasti cedih kalau tahu El cakit. Yuk, makan cedikit aja. Demi mommy Jali…”
“Cetengah cendok makan, nda papa !” bujuk Orianna polos.
Elvano tak menjawab. Tapi tubuhnya menggigil.
Sementara itu, dalam dimensi lain di tempat di mana waktu seperti tak berlaku Zareena berdiri di tengah ladang bunga biru. Angin berhembus lembut, tapi sunyi. Terlalu sunyi.
Di hadapannya, berdiri sosok wanita bergaun putih. Wajahnya sangat mirip dirinya, hanya saja sorot matanya tua. Penuh rahasia.
“Kau berhasil melahirkan mereka…” ucap wanita itu.
“Siapa kamu…? Katakan padaku, siapa kamu !!” tanya Zareena, suara dan nafasnya ringan, seolah tubuhnya bukan miliknya.
“Aku adalah kamu. Tapi juga bukan. Aku bagian dari garis yang telah dilupakan. Penjaga gerbang antara hidup dan yang belum hidup.”
“Apakah aku sudah mati?”
Wanita itu menggeleng. “Belum. Tapi kamu berada di ambang. Karena tubuhmu lelah. Karena jiwa dan tubuhmu menanggung lebih dari seharusnya.”
“Aku ingin kembali. Anak-anakku… suamiku mereka pasti menungguku.”
“Kamu bisa kembali. Tapi kamu harus tahu… pilihanmu hari ini akan membuka sesuatu. Pintu yang lain. Dan dunia yang kamu kenal tidak akan pernah sama lagi.”
Zareena menggeleng. “Aku tidak peduli. Aku ingin kembali. Mereka duniaku.”
Wanita itu tersenyum. Tapi senyum itu menyedihkan.
“Maka lihatlah…”
Cermin-cermin bermunculan di sekeliling mereka. Di satu cermin, ia melihat Andra tertidur di samping ranjang rumah sakit sambil menggenggam tangannya. Di cermin lain, ia melihat Elvano menangis di pelukan Orianna. Di cermin ketiga, ia melihat dua bayi mungil, salah satunya menggenggam udara seperti mencari sesuatu.
Zareena menitikkan air mata. “Mereka butuh aku…”
“Tapi kamu juga dibutuhkan di sini…”
“Apa maksudmu?”
“Kamu adalah warisan. Kamu membawa garis yang tak semua bisa tanggung. Dan mereka anak-anak itu akan membangunkan sesuatu dari darahmu.”
Zareena menatap matanya. “Kalau memang takdirku menyimpan kunci, maka aku akan membawanya kembali. Di dunia mereka. Bukan di sini.”
Cahaya menyilaukan menyapu sekeliling mereka. Wanita itu mulai memudar.
“Kalau begitu, bangunlah, Rere. Dan bersiaplah pada hari ketika dunia lama dan dunia baru bersinggungan.”
Satu minggu setelah hari kelahiran itu.
Pagi di mansion terasa lebih suram dari biasanya. Langit mendung, dan bunga biru di taman seketika menunduk. Marissa duduk memandangi ranjang Zareena dengan mata yang tampak lelah karena terlalu banyak menangis.
Andra masih di samping Zareena, matanya sembab. Ia mengusap pipi istrinya, lalu membisikkan kata-kata yang nyaris tak terdengar.
“Sayang… kalau kamu dengar aku… tolong bangun…”
Detik itu juga, kelopak mata Zareena bergerak. Andra menegang. “Zareena?!”
Kelopak itu membuka perlahan. Mata yang sembab menatapnya, lalu suara serak pelan keluar dari bibirnya. “Mas… anak-anak… gimana mereka?”
Andra terisak. Ia mencium kening Zareena berulang-ulang, menekan tombol alarm, lalu berkata dengan air mata jatuh. “Mereka sehat. Tapi dunia ini nggak akan utuh tanpa kamu.”
Dokter dan keluarga berlarian masuk. Kamar VVIP itu seketika penuh keharuan. Marissa menangis memeluk Alaska. Seluruh keluarga yang ada dimansion mendapatkan kabar tentang sadarnya Zareena.
Hal itu membuat mereka pergi ke rumah sakit. Orianna kembali ke kamar sepupunya dan berseru memanggil Elvano, mendapat kabar mommy nya sadar bocah kecil itu berlari keluar mansion dan masuk ke arah pintu mobil yang terbuka. Untungnya Baimond melihat keberadaan keponakannya itu.
“Unkel Bai, mommy El bangun. El halus ikut pelgi ke cana !!”.
“Iya ayo !!”. Mobil itu segera meninggalkan mansion Andra dan menyisakan Orianna yang bersama bundanya untuk menjaga Maureen dan bayinya disana. Sesampainya di rumah sakit, Elvano dan Sandra berlari kencang menuju kamar Zareena. Baimond dan Raimond menggelengkan kepala mereka.
“Mommy… mommy bangun… mommy bangun!!” teriak Elvano saat tiba dikamar milik Zareena. Bocah itu meminta daddy nya untuk membawanya naik ke atas ranjang Zareena.
Elvank langsung memeluk mommy nya. Zareena tersenyum lemah, menyentuh kepala anak sulungnya.
“Maafkan mommy…” Dan di luar jendela, angin siang berhembus samar. Tanpa mereka sadari di balik pintu ada sosok tak dikenal menatap Zareena dengan tatapan tersenyum sinis.
“Semuanya akan dimulai dari sekarang, Zaree..”