Dibawah langit kerajaan yang berlumur cahaya mentari dan darah pengkhianatan, kisah mereka terukir antara cinta yang tak seharusnya tumbuh dan dendam masa lalu yang tak pernah padam.
Ju Jingnan, putri sulung keluarga Ju, memegang pedang dengan tangan dingin dan hati yang berdarah, bersumpah melindungi takhta, meski harus menukar hatinya dengan pengorbanan. Saudari kembarnya, Ju Jingyan, lahir dalam cahaya bulan, membawa kelembutan yang menenangkan, namun senyumannya menyimpan rahasia yang mampu menghancurkan segalanya.
Pertemuan takdir dengan dua saudari itu perlahan membuka pintu masa lalu yang seharusnya tetap terkunci. Ling An, tabib dari selatan, dengan bara dendam yang tersembunyi, ikut menenun nasib mereka dalam benang takdir yang tak bisa dihindari.
Dan ketika bunga plum mekar, satu per satu hati luluh di bawah takdir. Dan ketika darah kembali membasuh singgasana, hanya satu pertanyaan yang tersisa: siapa yang berani memberi cinta di atas pengorbanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurfadilaRiska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Lu Jianhong
Di lapangan utama Junwei Jun, terik matahari mulai naik perlahan, memantulkan cahaya pada bilah-bilah tombak dan busur yang tersusun rapi. Derap langkah prajurit terdengar teratur, diselingi teriakan instruksi dan suara anak panah yang menembus udara.
Di tengah lapangan, Lu Jianhong, pasukan elit Junwei Jun dengan julukan Bintang Penjaga Junwei—datang dengan langkah ringan namun penuh wibawa. Usianya tak jauh berbeda dari Jingnan dan Jingyan, wajahnya masih muda, tapi sorot matanya tajam.
Begitu ia melihat Jingnan berdiri tegak mengawasi latihan, Jianhong segera mendekat, berniat membantu mengoreksi gerakan beberapa prajurit baru yang masih terlihat kaku.
Namun belum sempat ia membuka mulut, Jingnan sudah menoleh. Alisnya terangkat, tatapannya dingin dan tegas.
“Lu Jianhong!”
“Jangan ganggu mereka! Biarkan aku melatih mereka sendiri!”
“Tapi Jenderal, kalau aku tidak bantu, mereka selalu salah,” ucap Jianhong, berusaha menahan senyum kecil. Ia sudah hafal betul tabiat Jingnan—serius, disiplin, dan keras pada dirinya sendiri, apalagi jika ia sudah melatih prajurit.
Lu Jianhong adalah salah satu pasukan elit Junwei Jun termuda. Dalam banyak hal, ia dan Jingnan sudah seperti sahabat seperjuangan. Saat Jingnan kembali ke Istana Zhenhua bersama pamannya Wei Yu dan juga Weifeng, Jianhong-lah yang sering ditugaskan melatih prajurit baru. Mereka tumbuh di medan yang sama, berdarah di tanah yang sama.
Namun hari ini, Jingnan jelas sedang marah padanya.
Bisa-bisanya menikah tanpa memberi tahu aku, batin Jingnan dingin.
Sementara itu, tak jauh dari mereka, Weifeng berdiri diam. Ia memperhatikan Jingnan dari kejauhan, seolah dunia di sekitarnya meredup. Setiap gerakan Jingnan—cara ia berdiri, memberi perintah, bahkan cara matanya menyapu barisan prajurit—membuat jantung Weifeng berdegup lebih cepat.
Ia tahu perasaannya tak pantas.
Perasaannya bukan sekadar rasa kagum biasa melainkan, Ia jatuh cinta pada adek sepupunya sendiri...
Weifeng mengepalkan tangan, berusaha menekan perasaan yang tak seharusnya ada.
Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundaknya.
“Kau kenapa?” tanya ayahnya Wei Yu, dengan nada heran.
“Tidak apa-apa, Ayah,” Weifeng tersenyum kecil, menundukkan pandangan.
“Nannan sudah kembali ya,” ucap Wei Yu sambil menatap lapangan.
“Lalu Yanyan dan Tabib Ling an?” lanjutnya, melirik Weifeng.
“Mereka bertiga semalam berteduh di gua yang sama, Ayah. Tadi pagi mereka bertiga kembali bersama,” jawab Weifeng.
“Mereka tidak apa-apakan?”
“Hanya Tabib Ling an yang terluka sedikit. Katanya Nannan tak sengaja melukainya saat masuk ke gua. Nannan mengira yang datang itu musuh.”
Wei Yu mengangguk pelan, seolah sudah menduga.
Sepertinya ada yang disembunyikan Nannan… batin Wei Yu.
Apa mereka kekasih? Atau… saling menyukai? Dan Yanyan juga dekat dengan tabib Ling an… Aiyaa… kisah anak muda memang rumit.
Di lapangan, Jingnan kembali bersuara lantang.
“Ingat! Kepala tetap tegak! Fokus pada sasaran! Tarik busur dengan seluruh tenaga!”
Seorang prajurit terlihat kesulitan menahan busur. Tanpa sadar, Lu Jianhong melangkah mendekat dan membetulkan posisinya.
Jingnan langsung menoleh.
“Aku bilang jangan ganggu!”
“Aku hanya membantu, Jenderal… hehehe…” Jianhong menggaruk tengkuknya, mencoba mencairkan suasana.
Namun tatapan Jingnan begitu tajam hingga Jianhong langsung mundur selangkah. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar bingung bagaimana cara menghadapi Jingnan yang sedang kesal saat ini.
Hingga sebuah ide muncul.
“Jenderal! Besok aku akan datang lagi!” serunya tiba-tiba.
Belum sempat Jingnan membalas, Jianhong sudah berlari menuju kudanya, dan pergi meninggalkan lapangan dengan kecepatan penuh.
Jingnan mendengus pelan.
“Pengecut…” gumamnya, meski sudut bibirnya nyaris terangkat.
Di sisi lain lapangan, Mei Yin mondar-mandir sambil memunguti daun kering dan ranting. Wajahnya masam, matanya sesekali melirik ke arah Jingnan yang tampak gagah memimpin latihan.
“Apa salahnya sih aku belajar juga,” gumamnya kesal.
“Aku juga mau jadi jenderal wanita seperti Nannan jiejie!”
Ia mengibaskan ranting di tangannya.
“Ini malah disuruh mungutin daun kering… huwaaaaa!”
Teriakannya menggema, membuat beberapa prajurit menoleh menahan senyum.
Wei Yu tertawa kecil dan menghampiri putrinya.
“Baru diberi tugas seperti ini saja sudah mengeluh,” ucapnya lembut.
“Bagaimana mau menjadi jenderal wanita yang gagah seperti kakakmu?”
“Tapi Ayah, kan—”
Belum sempat Mei Yin menyelesaikan protesnya, Jingyan muncul.
“Sudah, Mei Yin. Setiap putri punya jalannya masing-masing,” ucap Jingyan lembut.
“Kalau kau tak jadi jenderal, ikut saja denganku belajar pengobatan kembali pada Shifu Sen Liang bersamaku dan Qing Lang.”
“Tidak mau! Tidak asik!” Mei Yin langsung menggeleng.
Bukan tanpa alasan. Setiap kali berada di sana, Mei Yin lebih sering menjahili Shifu Sen Liang dan teman-temannya daripada benar-benar belajar. Akibatnya, ia pun kerap menerima hukuman dari Sen Liang.
“Tapi…” Mei Yin berhenti sejenak, bibirnya melengkung nakal. “Kalau shifunya seperti Qing Lang gege, aku mau… hehehe. Dia tampan, soalnya.”
Ia melirik Jingyan dengan senyum penuh arti. Sebenarnya, baik Mei Yin maupun Shifu Sen Liang sama-sama mengetahui ke mana arah perhatian Qing Lang tertuju. Tatapan itu bukan sekadar pandangan seorang sahabat, melainkan rasa suka yang disembunyikan Qing Lang rapat-rapat di balik sikap tenangnya.
Namun rahasia yang terjaga itu tak sepenuhnya tersembunyi. Shifu Sen Liang dan Mei Yin mengetahuinya dengan jelas, karna mereka selalu mengamati Qing Lang dan Jingyan.
Lalu matanya berbinar nakal.
“Atau Tabib Ling an!”
Kini giliran wajah Jingyan yang memerah.
“Ah… ahaha… tentu saja,” ucapnya terbata-bata sambil melirik Ling an.
“Iyakan, Ling an?”
“Saya siap mengajari putri-putri,” jawab Ling an dengan senyum lembut.
Hari itu berlalu cepat.
Latihan semakin berat. Sasaran bergerak. Formasi bertahan, dan simulasi serangan mendadak. Jingnan terlihat sepenuhnya tenggelam dalam perannya sebagai jenderal—tegas, dingin, dan penuh kendali.
Namun setiap kali pandangannya bertemu dengan Ling an, ada sesuatu yang mengganggu ketenangannya tapi Jingnan berusaha tetap dingin.
Ling an pun merasakan hal yang sama, namun Ling An tetap berusaha mengingat dendamnya.
Tatapan Jingnan membuat dadanya terasa hangat… sekaligus berbahaya.
Di antara mereka, Jingyan tertawa kecil, bercanda dengan Ling an, kadang membantu prajurit yang terluka ringan. Keakraban mereka tumbuh alami, ringan, dan tulus.
Sementara itu, Mei Yin dengan senyum nakal terus mengamati semuanya, seolah menonton sandiwara yang sangat menarik.
Menjelang sore, latihan selesai. Para prajurit berbaris rapi.
Jingnan melangkah maju.
“Hari ini kalian menunjukkan kemajuan.”
“Ingat—disiplin dan fokus adalah kunci bertahan hidup.”
“Tapi jangan lupakan kekompakan. Kita bukan individu. Kita satu keluarga.”
Para prajurit membungkuk hormat.
Jingnan menoleh ke arah Ling an, Jingyan, dan Weifeng. Hatinya terasa hangat… namun juga rumit.
Ling an menatap Jingnan sesaat. Hangat. Bingung. Dan sedikit takut—karena perasaan itu nyata.
Jingyan tertawa di sampingnya.
Mei Yin bersorak riang.
Dan Weifeng menunduk, jantungnya berdetak cepat, menyimpan perasaan yang tak berani ia ucapkan.
Hari itu berakhir, namun yang tertinggal bukanlah hanya ketenangan. Benih perasaan, konflik, dan rahasia telah tertanam dalam-dalam, menunggu saatnya merobek keheningan.
Di bawah langit Junwei Jun, busur-busur diturunkan dan anak panah kembali ke tempatnya, sementara medan latihan tenggelam dalam sunyi yang menyesakkan. Rahasia tetap tersembunyi di balik tatapan yang tak berani saling bertemu, dan hati-hati yang terikat mulai bergetar—bukan oleh harapan, melainkan oleh luka yang belum berdarah.
Perlahan, tanpa suara, perasaan terlarang itu tumbuh, bagai anak panah beracun yang telah dilepaskan dan tak mungkin ditarik kembali. Dan ketika kelak kebenaran terungkap, tak seorang pun akan keluar tanpa kehilangan.
semangat teruslah aku dukung🔥❤️