Siapa yang ingin bercerai? Bahkan jika hubungan pelik sekalipun seorang wanita akan berusaha mempertahankan rumah tangganya, terlebih ada bocah kecil lugu, polos dan tampan buah dari pernikahan mereka.
Namun, pada akhirnya dia menyerah, ia berhenti sebab beban berat terus bertumpu pada pundaknya.
Lepas adalah jalan terbaik meski harus mengorbankan sang anak.
Bekerja sebagai sekertaris CEO tampan, Elen tak pernah menyangka jika boss dingin yang lebih mirip kulkas berjalan itu adalah laki-laki yang menyelamatkan putranya.
laki-laki yang dimata Satria lebih pantas dipanggil superhero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 - BRAM DAN NOAH DITANGKAP
Malam semakin kelam, menandakan manusia-manusia waktunya berhenti beraktivitas dan menuju jam istirahat. Namun, tidak dengan Bram. Ia yang hendak melakukan transaksi dibekuk polisi sebelum sampai club malam.
"Katakan ini barang siapa?" tanya seorang komandan. Tubuh sisi kiri dan kanan Bram diapit, tangannya bahkan diborgol agar tidak bisa kabur setelah polisi berhasil mengamankan beberapa bungkus sabu yang diduga akan diberikan kepada seseorang.
Mulutnya kelu, ia tak mungkin melaporkan keterkaitan Noah. Temannya itu menjamin mahal sekali agar ia tetap menutup bibirnya rapat-rapat.
"Katakan!" tegas polisi sebelahnya menepuk keras pundak Bram hingga terhenyak.
"Punya saya,--" jawab Bram tergagap.
Polisi itu mencengram kuat kaos Bram, "punyamu? Tapi tes urin menandakan negatif! Apa kamu pikir, kami jajaran polisi orang yang bodoh," bentaknya.
"Saya belum sempat memakainya," ujar Bram.
Brakkk! Gebrakan meja membuatnya berulang kali ingin mengusap dada tapi tak bisa.
Karena larut, akhirnya polisi berhenti menginterogasi dan menggiring Bram ke sel sambil menunggu keputusan. Apakah ia akan mendekam atau masuk rehabilitasi.
***
Sementara di sebuah Club malam, Noah menatap sekeliling. Satu jam, dua jam menunggu, ia tak kunjung menemukan keberadaan Bram sesuai tempat kesepakatan.
"Ck! Dimana Bram, aku sudah membayar mahal, tak biasanya ia ingkar!" gerutunya tanpa tau apa yang menimpa Bram.
Bodohnya, Noah terus menerus menghubungi Bram hingga membuat polisi yang menyita ponsel mengerutkan kening.
"Apa keluarganya menelpon?" gumam Polisi itu, di panggilan terakhir ia mengangkatnya tanpa sepatah kata.
"Breng sek! Kau dimana sekarang? Aku butuh barang itu cepat," ujar Noah tanpa menunggu sahutan di seberang sana.
Telepon mati tanpa sepatah kata membuatnya membanting ponselnya kesal.
"Ck! Pecah lagi."
Noah yang tak tahu menahu apa yang terjadi dengan Bram pun memilih pulang dengan kecewa.
***
Pagi hari Antarna Group dihebohkan dengan kedatangan polisi.
Sekertaris Noah kelabakan saat polisi memaksa bertemu CEO Antarna group. Dengan terpaksa memberitahu Noah keadaan di bawah yang kacau.
Noah turun dengan wajah kusutnya, menghampiri langsung tanpa menyadari maksud kedatangan para polisi ke kantornya.
"Selamat siang, Pak Noah. Anda bisa ikut kami ke kantor untuk penyelidikan penggunaan obat terlarang, ini nomor ponsel anda dan kami sudah melacaknya tadi malam!"
Deg.
Noah membeku, ia terlalu bodoh hingga menyadari hal besar yang ia lakukan saat menelpon Bram adalah tidak menggunakan kode.
"Tapi, Pak?"
"Anda bisa menjelaskannya di kantor!" tegas polisi itu langsung menggiring Noah.
***
Brakkk!
"Apa kamu bilang?" bentak Djaja terkejut dengan hal yang menimpa cucu kesayangannya. Memegangi dada yang terasa nyeri hingga menit berikutnya ambruk tak sadarkan diri.
"Kakek, Pa, Ma!" Noah meratapi nasibnya saat tes urine menyatakan ia sebagai pengguna.
Bram menunduk, ia sudah berusaha menutupi agar Noah baik-baik saja. Nyatanya hal itu tak berguna karena polisi yang jauh lebih pintar.
Kabar Noah tertangkap akhirnya sampai ke telinga Wijaya dan Divine. Mereka terkejut dan syok terlebih sang kakek saat ini masuk rumah sakit karena serangan jantung.
"Ayah, apa tak sebaiknya kita mengabari Om William dan Tante Nisa perihal nasib Noah?" tanya Divine khawatir.
"Ayah sudah memberitahu Om-mu, Besok baru bisa terbang ke Indonesia."
"Keadaan kakek bagaimana?" tanya Divine.
"Masih dirawat, Bunda udah stay disana jagain. Nanti pulang kerja kita kesana."
"Boleh ajak Elen?" tanya Divine ragu-ragu.
"Tentu boleh, siapa yang akan melarang?" Wijaya mengerutkan keningnya.
"Terakhir kali kakek memakiku cucu sialan saat aku bilang Elen calon istriku," gumam Divine pelan.
Wijaya terdiam, bagaimana mungkin sosok Djaja yang selama ini jadi panutannya dan Wiliam menjadi kakek yang tidak berperasaan.
"Kakek memakimu? Kenapa?"
"Kakek bilang dimana harga diri Wijaya memiliki mantu seorang janda." Divine menghela napas, ada sakit yang mengusik saat ingat Djaja begitu arogannya memaki perihal Elen.
Wijaya menghela napas, mengusap pelan pundak Divine, "kamu yang sabar ya? Kakek memang begitu, jangan terlalu diambil hati!"
"Bukankah sudah biasa ya, Yah!"
Divine melihat jam di pergelangan tangannya. Sebentar lagi waktunya makan siang dan ia ingin mengajak Elen keluar.
"Aku ke ruangan Elen dulu, Yah!"
"Hya, hati-hati."
Divine tersenyum mendengar pesan Wijaya, padahal ruangan Elen terletak hanya bersebrangan dengan ruangannya.
Melangkah keluar ia langsung masuk begitu saja ke ruangan Elen.
"Apa aku harus kasih tau Elen yang sebenarnya, apa yang menimpa Bram dan Noah?" batin Divine bimbang.
Ia bahkan masuk tanpa mengetuk pintu, berjalan pelan kemudian menghempas tubuhnya di sofa samping kiri meja kerja Elen.
"Sayang!"
"Div, berhenti memanggilku sayang!" omel Elen.
"Iya iya, galak bener calon istri."
"Div, aku bisa melemparmu ke rawa-rawa kalau masih menggodaku? Aku sedang serius," ujar Elen.
Divine hanya terkekeh, memperhatikan Elen yang dengan cekatan memeriksa laporan membuatnya berdecak kagum dengan kinerja wanita itu.
"Elen, aku punya pertanyaan serius!"
"Div aku sedang kerja, kita bisa membahasnya nanti kan?"
"Ini penting, soal Bram!"
Deg.
Elen mematung, ingatannya menerawang pada malam dimana Ia dan Satria pulang dari rumah Divine waktu itu. Hari dimana Bram mengajak Satria pergi.
Flash back on,
Untuk Satria, putraku yang paling ku sayangi...
Maaf sudah menjadi sosok panutan yang mengecewakanmu, tapi Ayah melakukannya hanya agar kita hidup lebih layak.
Tapi, semakin melihat Momy-mu kesal, semakin membuat Ayah sadar bahwa tolak ukur kebahagiaan bukan berdasar seberapa banyak materi yang kita punya, tapi seberapa bersyukurnya kita meski dalam keadaan paling bawah sekalipun.
Selamat bertambah usia putraku, tak ada kado terbaik yang bisa mewakili rasa sayang ayah padamu. Jadilah anak pintar dan selalu sayangi Momy-mu sampai kapanpun. Semoga kamu dan Momy-mu selalu sehat, salam sayang.
Elen membaca dengan seksama kalimat demi kalimat yang ditulis Bram. Tak ada perasaan apa-apa sebab menyesal pun tak akan merubah semuanya, hubungan mereka berawal dari paksaan dan berakhir karena kesalahan. Elen hanya bisa berdoa yang terbaik untuk mereka.
"Aku pikir, Mas Bram tak akan ingat dengan ulang tahun putranya!" gumam Elen, ia menyimpan lembaran kertas itu di laci kamar. Sementara jam tangan warna hitam pemberian Bram akan ia berikan pada Satria esok harinya.
Flash back off.
Elen beranjak, melihat jam di pergelangan tangan dan mendekati Divine.
"Ada apa dengan Mas Bram, Div?"
Divine langsung terdiam melihat Elen langsung mendekat ke arahnya, berusaha menerka-nerka apakah di hati wanita itu masih menyimpan nama sang mantan suami.
Memikirkan saja membuat kepala Divine dilanda pening.
"Itu..."
"Itu apa?" tanya Elen tak sabar, membuat Divine merasakan nyeri di dadanya.
"Kenapa aku kesal, bukankah wajar jika respon Elen langsung spontan? Karena Bram adalah mantan suaminya, ayah dari anaknya?" batin Divine.
RAHIM ELEN JUGA SUBUR....