Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamera yang Membisu
Ruang kontrol rekaman itu dingin dan pengap, meski pendingin ruangan menyala tanpa henti. Layar-layar monitor berjajar di dinding, menampilkan potongan waktu yang seharusnya menyimpan jawaban—tapi justru membisu.
Andre berdiri dengan tangan bersedekap, menatap layar utama tanpa berkedip. Wajahnya keras, rahangnya menegang sejak sepuluh menit lalu. Di layar, rekaman dari kamera depan rumahnya berhenti tepat pukul 06.41 pagi.
Lalu gelap.
“Cut-nya bersih,” ujar petugas IT forensik sambil memutar ulang rekaman. “Bukan mati mendadak. Ada perintah off dari sistem.”
“Dari dalam?” tanya Andre.
Petugas itu menggeleng. “Remote. Dan pakai akses admin.”
Erlang yang berdiri di belakang Andre langsung melangkah maju. “Akses admin itu cuma ada di tiga tempat. Server pusat, ponsel pemilik, sama satu backup di komputer rumah.”
Andre menoleh tajam. “Komputer itu ada di rumah. Dan sudah dibongkar.”
“Artinya,” sambung Erlang pelan, “pelaku pernah ada cukup lama di sekitar rumah. Atau… sudah mengamati jauh sebelum hari kejadian.”
Kalimat itu menggantung berat di udara.
Toni duduk di kursi putar, memeriksa layar lain. “Kamera tetangga?”
“Sudah dicek,” jawab petugas IT. “Satu rusak. Dua menghadap ke arah sebaliknya. Satu lagi… rekamannya hilang di jam yang sama.”
Andre menghembuskan napas keras, lalu menoleh ke layar lagi. Jemarinya mengepal, lalu membuka, lalu mengepal lagi.
“Kalian mau bilang ke gue,” ucapnya dingin, “bahwa semua kamera di sekitar rumah ini tiba-tiba ‘bisu’ di waktu yang sama?”
Tak ada yang menjawab.
Karena semua tahu jawabannya.
“Itu bukan kebetulan,” gumam Toni.
Andre memejamkan mata sejenak. Wajah Rima terlintas di benaknya—tergeletak di lantai rumah mereka, darah mengalir, napas nyaris putus. Lalu bayangan Feni yang gemetar di rumah sakit, dengan baju penuh darah kakak iparnya.
“Kita berhadapan sama orang yang tahu cara menghilang,” kata Andre akhirnya. “Dan tahu persis apa yang harus dihapus.”
Erlang menggeser posisi, mencondongkan tubuh ke layar. “Ada satu kemungkinan,” katanya. “Bukan dari kamera rumah.”
Andre menoleh. “Maksud lo?”
“Jalur pelarian,” jawab Erlang. “Orang secerdik ini nggak akan mengandalkan satu titik. Dia pasti punya rencana keluar tanpa terekam.”
Petugas IT memutar peta digital lingkungan sekitar. Gang sempit di belakang rumah Andre muncul di layar.
“Gang ini,” kata Erlang sambil menunjuk. “Blind spot.”
Andre mengangguk pelan. “Gang yang jarang dilewati. Dan gelap.”
“Tapi tetap aja,” sela Toni, “nggak ada wajah. Nggak ada kendaraan. Bahkan nggak ada suara.”
Sunyi kembali mengisi ruangan.
Andre menatap layar yang gelap itu lebih lama dari seharusnya. Kamera yang seharusnya menjadi saksi, memilih diam.
“Kalau kamera nggak mau bicara,” katanya lirih, “berarti kita harus cari yang lain.”
“Apa?” tanya Toni.
Andre menoleh. Tatapannya tajam. “Motif.”
—
Di rumah Bunda Erlang, suasana jauh berbeda.
Aroma masakan sore memenuhi dapur. Feni berdiri di samping Bunda Erlang, membantu mencuci sayuran. Gerakannya masih kaku, tapi ada ketenangan kecil yang tumbuh perlahan.
“Kamu nggak perlu bantu,” kata Bunda.
“Gapapa, Bun,” jawab Feni. “Aku pengin.”
Bunda tersenyum tipis. “Dulu, mama kamu juga begitu?”
Tangan Feni berhenti sesaat. “Iya,” jawabnya pelan. “Mama selalu bilang… kalau dapur itu tempat paling jujur di rumah.”
Bunda Erlang mengangguk, seolah mengerti sesuatu yang tak perlu dijelaskan.
Di ruang keluarga, ponsel Feni bergetar. Pesan dari Erlang.
**Erlang:**
*CCTV nihil. Pelakunya rapi.*
Feni membaca pesan itu berulang kali. Jantungnya berdebar tak nyaman.
Ia membalas singkat.
**Feni:**
*Kamu hati-hati. Aku nunggu di rumah.*
Ia meletakkan ponsel, tapi rasa tidak aman itu kembali merayap.
Malam semakin turun ketika Erlang akhirnya pulang. Wajahnya lelah, matanya redup. Feni langsung berdiri begitu melihatnya.
“Gimana?” tanyanya pelan.
Erlang menggeleng. “Kameranya mati di waktu yang pas. Terlalu pas.”
Feni menelan ludah. “Berarti… mereka masih di luar sana.”
Erlang mendekat, menggenggam tangan Feni. “Iya. Tapi sekarang kamu di tempat aman.”
Feni mengangguk, meski di dalam hatinya, kata *aman* terasa rapuh.
—
Di ruang kerjanya malam itu, Andre duduk sendiri. Lampu meja menyala, menerangi foto-foto cetakan TKP, peta, dan catatan kecil yang ditempel acak.
Ia menatap satu foto lebih lama—kamera CCTV di sudut rumahnya.
“Kamu mati bukan karena rusak,” gumamnya pelan. “Tapi karena dibungkam.”
Ia berdiri, berjalan mondar-mandir.
“Pelaku datang dengan tujuan jelas. Nyari sesuatu. Dan gagal,” katanya pada dirinya sendiri. “Kalau gagal, mereka pasti balik.”
Andre berhenti di depan papan. Menatap nama-nama yang sudah ia tulis.
Firman.
Diki.
Flash drive.
Dan satu nama yang belum ia tulis.
“Dalangnya belum kelihatan,” ucapnya lirih. “Tapi bayangannya sudah ke mana-mana.”
Di luar, malam menelan kota.
Dan kamera-kamera yang seharusnya menjaga, tetap diam.
Seolah ada tangan tak terlihat yang menutup mata mereka—
sambil menunggu langkah berikutnya.
...****************...