“Sadarlah, Kamu itu kunikahi semata-mata karena aku ingin mendapatkan keturunan bukan karena cinta! Janganlah menganggap kamu itu wanita yang paling berharga di hidupku! Jadi mulai detik ini kamu bukan lagi istriku! Pulanglah ke kampung halamanmu!”
Ucapan itu bagaikan petir di siang bolong menghancurkan dunianya Citra.
“Ya Allah takdir apa yang telah Engkau tetapkan dan gariskan untukku? Disaat diriku kehilangan calon buah hatiku disaat itu pula suamiku yang doyan nikah begitu tega menceraikan diriku.”
Citra meratapi nasibnya yang begitu malang diceraikan oleh suaminya disaat baru saja kehilangan calon anak kembarnya.
Semakin diperparah ketika suaminya tanpa belas kasih tidak mau membantu membayar biaya pengobatannya selama di rawat di rumah sakit.
Akankah Citra mampu menghadapi ujian yang bertubi-tubi menghampiri kehidupannya yang begitu malang ataukah akan semakin terpuruk dalam jurang putus asa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 21
Citra berjalan ke arah kamar baby twins Jaylani dan Jianira dan melupakan waktu makan malamnya.
Dia berjalan sambil misuh-misuh ngomel-ngomel tidak jelas,” kenapa orang-orang selalu mencari ribut denganku! Padahal aku ini orangnya paling malas mencari masalah apalagi memancing huru hara dengan orang lain.” kesalnya yang keheranan.
Citra sesekali membuang nafasnya dengan kasar, dia kebingungan karena dihari pertama datang dan bekerja sebagai baby sitter di rumah itu, sudah banyak orang yang memusuhinya dan mencari keributan dengannya.
“Ya Allah… oh Tuhan… mereka sungguh membangonkan! Aku nggak habis pikir, apa salah dan dosaku kepada mereka?” Sungutnya.
“What the hell.. apa yang sebenarnya terjadi padaku? Kenapa semua kekesalan dan rencana balas dendam yang sudah kususun matang-matang hilang begitu saja hanya karena bertemu dengannya lagi?” batin Ardhanza berkecamuk.
Ia menatap punggung Citra yang semakin menjauh, bingung dengan dirinya sendiri. Padahal sejak siang hingga sebelum bertemu Citra tadi, ia masih dipenuhi kemarahan dan rasa benci.
“Kenapa aku tidak meluapkan amarahku? Padahal perempuan kampungan itu sudah ada tepat di depan mata… dan aku malah diam begitu saja,” geramnya dalam hati.
Ia bahkan sudah bersumpah untuk membalas perlakuan Citra yang dulu mempermalukannya di depan umum saat kunjungannya ke rumah sakit pemerintah.
“Sihir apa yang membuatku kehilangan kendali? Sampai tadi sore pun aku sempat tidur siang yang selama ini hampir tidak pernah terjadi bukan hampir lagi tapi itu mustahil hanya mengingat wajahnya yang menyebalkan,” gumamnya frustrasi.
Sementara itu, Inara menyaksikan Citra berlalu dengan tatapan tajam yang penuh kebencian. Kedua tangannya semakin mengerat memeluk tubuh calon suaminya.
“Oh My God… kenapa ada perempuan seperti itu muncul di rumah ini? Apa lagi maksud kedatangannya? Aku nggak akan biarkan dia atau siapapun yang merusak rencana besarku yang selangkah lagi akan sukses,” desis hatinya penuh kecurigaan.
Ia tidak akan membiarkan rencana pernikahan sempurnanya terusik oleh kedatangan orang yang tidak diundang itu.
“Semua harus tetap berjalan lancar. Malam ini dosis ramuan cinta harus kutambah. Tidak boleh ada satupun yang luput meminum dan memakannya,” tekadnya membara dalam batin.
Wanda sempat melirik Citra yang sudah menghilang di ujung lorong.
“Syukurlah… dia bukan tipe perempuan yang mudah diinjak. Setidaknya aku tidak perlu terlalu khawatir kepada sahabatku itu,” batinnya tenang, meski tetap waspada jika ada lagi yang berani macam-macam dan berniat jahat kepadanya.
Berbeda dengan Wanda, rahang Jannah mengeras. Tangannya mengepal hingga terdengar gemeretak giginya menahan emosi.
“Dia berani juga rupanya membalas kami dengan ucapannya padahal jebakan itu sudah kukalkulasikan dan prediksi dengan baik. Kenapa bisa-bisa dia lolos begitu saja?” geramnya penuh amarah seraya merapatkan kepalan tinjunya.
Amelia mengerling ke arah pintu yang baru saja tertutup tempat dimana Citra pergi.
“Heran… perempuan itu bisa selamat terus. Seolah hidupnya punya banyak keberuntungan dan nyawa. Dan entah kenapa setiap laki-laki di rumah ini terlihat tertarik padanya padahal hanya gadis kampung saja dan benar-benar menyebalkan,” umpatnya dalam hati.
Melati menahan napasnya panjang, hatinya terasa panas.
“Abang Amri itu kenapa sih… selalu pasang badan membela Citra? Apa yang sebenarnya dia punya sampai semua orang terpikat padanya?” keluhnya dalam hati dengan getir.
Citra memasuki kamar tidur baby twins dan melihat kedua bayi berusia enam bulan itu tertidur pulas di ranjang mungil bersebelahan. Lampu temaram membuat pipi chubby mereka terlihat makin menggemaskan.
“Kalian sangat ganteng dan cantik gimana besarnya kalian nanti. Hemph kayaknya kalian akan jadi rebutan deh kalau besar nanti. Tapi wajah kalian sebenarnya buat jengkel kalau ingat siapa ayah kalian,” Citra tertawa kecil mendengar perkataannya sendiri.
Citra tak bosan-bosannya memainkan pipi tembem baby Jia.
“Pantesan waktu lihat wajah kalian kayak pernah lihat dimana gitu,” gumamnya sambil tersenyum kecil. “Ternyata kalian anaknya CEO arogan, songong dan jutek itu, tapi sayangnya gantengnya nggak ketulungan.”
Ia terkekeh pelan, takut membangunkan mereka sehingga spontan menutup mulutnya. Jemarinya kemudian menyentuh lembut hidung mancung baby Jay, membuat bayi itu meringis sedikit tapi masih terlelap.
Tanpa sadar, suara Citra berubah lembut seperti seorang ibu yang menenangkan anaknya.
“Bismillahirrahmanirrahim…”
Citra duduk di kursi kecil dekat ranjang, lalu membaca surat-surat pendek yang diyakininya baik untuk bayi agar tumbuh menjadi anak yang sholeh dan sholehah, penurut, berhati lembut dan dijauhkan dari kejahatan dunia.
Dengan penuh ketulusan, ia mulai membaca pertama Surat Al-Fatihah
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
Al-ḥamdu lillāhi rabbil-'ālamīn
Ar-raḥmānir-raḥīm
Māliki yaumid-dīn
Iyyāka na'budu wa iyyāka nasta'īn
Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm
Ṣirāṭal-lażīna an‘amta ‘alaihim ghoiril maghḍūbi ‘alaihim waladh-dhāllīn — Aamiin.
Surat Al-Ikhlas
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
Qul huwallāhu aḥad
Allāhus-ṣamad
Lam yalid wa lam yūlad
Wa lam yakun lahu kufuwan aḥad.
Surat Al-Falaq
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
Qul a‘ūdhu birabbil-falaq
Min sharri mā khalaq
Wa min sharri ghāsiqin iżā waqab
Wa min sharri an-naffāṡāti fil ‘uqad
Wa min sharri ḥāsidin iżā ḥasad.
Surat An-Nas
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
Qul a‘ūdhu birabbin-nās
Malikin-nās
Ilāhin-nās
Min sharril waswāsil khannās
Allażī yuwaswisu fī ṣudūrin-nās
Minal-jinnati wan-nās.
Selesai ia membaca Alquran dengan tartil yang baik, Citra mengangkat kedua tangannya dan berdoa dengan mata berkaca-kaca, meski ia sendiri tak tahu kenapa terasa begitu terharu.
Mungkin disebabkan karena dia kembali teringat dengan kedua calon anak kembarnya yang meninggal dunia di dalam kandungannya yang berusia delapan bulan waktu itu.
Citra juga membacakan doa untuk anak agar menjadi sholeh/sholehah, “Ya Allah, jadikanlah mereka anak yang sholeh dan sholehah, anak yang penurut kepada orang tua, lembut hatinya, jujur lisannya, terjaga kehormatannya, sehat akalnya, dan kuat imannya.
Lindungi mereka dari kejahatan manusia dan gangguan jin. Berkahi hidup mereka dunia dan akhirat.”
Ia lalu mengusap lembut kepala kedua bayi itu sambil melanjutkan doanya dengan suara lirih.
“Ya Allah… jadikan mereka sumber kebahagiaan bagi siapa pun yang mencintai mereka dan jauhkan mereka dari orang-orang yang ingin menyakiti.”
Setelah itu Citra mengecup dahi keduanya perlahan, satu per satu tanpa menyadari bahwa di luar pintu, seseorang sedang memperhatikannya diam-diam dan mendengar setiap doa yang ia panjatkan.
Tanpa Citra sadari, pintu kamar sedikit terbuka. Cahaya dari koridor memantul pada wajah seseorang yang berdiri diam memperhatikan adegan menyentuh itu.
“Perempuan ini memang sangat berbeda dengan perempuan di luaran sana yang pernah aku kenal. Dia sungguh begitu tulus mengasuh kedua baby twins,” pujinya.
Dari sana terlihat Citra mengusap pelan ubun-ubun baby twins dengan kasih sayang yang bahkan seorang ibu kandung pun belum tentu mampu memberikannya.
Lelaki itu sosok yang selama ini dikenal dingin, arogan, dan sulit disentuh secara emosional dibuat terdiam dan membeku di tempatnya.
Citra kemudian menarik nafas panjang dan tersenyum kecil pada kedua bayi yang mulai menggeliat. Baby Jianira merengek manja, matanya sedikit terbuka seolah meminta untuk ditenangkan.
“Shhh… shhh… sayang… sini aunty nyanyikan lagu,” ucap Citra lembut.
Ia mengalihkan baby Jia ke pelukannya dan mulai mengayun perlahan. Suaranya keluar dengan irama yang halus, khas Makassar yaitu sebuah lagu yang ia sering dengar dari neneknya sejak kecil, lagu daerah yang dipercaya menenangkan anak kecil yang sedang rewel.
Anak kukang di atas para’
Ma’guncang-guncang ku guncangngi
Turu’ sayang turu’ dulu
Jangangko’ menangis, ku jagangi…
Turu’ sayang turu’ nyanyi
Ada’mi tante di sisimu
Turu’ dulu, turu’ sayang
Sampe besok pagi…
Ia menyanyikan bait itu dengan suara paling lembut yang ia punya. Baby Jia perlahan menutup matanya lagi, sementara baby Jay tetap pulas tanpa terganggu.
Sosok di balik pintu tak lagi mampu berpindah. Kaca matanya sedikit turun karena terkejut dengan pemandangan yang tak pernah ia bayangkan.
“Aku pikir perempuan itu hanya berisik, keras kepala, dan suka membantah,” gumamnya sangat pelan. “Tapi ternyata kamu punya hati selembut kapas.”
Ia menelan ludahnya dengan kasar, ada rasa asing menusuk dadanya cemburu pada kehangatan yang tidak pernah ia dapatkan dalam hidupnya, sekaligus takjub pada wanita yang selama ini ia anggap hanya masalah baru.
“Citra…” ucapnya lirih, nyaris tak terdengar. “Kamu luar biasa. Kayaknya kamu akan menjadi rebutan di rumah ini”
Begitu Citra menurunkan nada lagu menjadi senyap, kedua bayi itu kembali tenang sepenuhnya.
Ia mencium kedua pipi mereka lalu berbisik dengan sangat pelan, “Aku nggak tahu kapan aku jatuh cinta kepada kalian sayang, tapi aku janji selama aku di sini, kalian nggak akan pernah sendirian.” tuturnya Citra penuh kelembutan.
“Sudah banyak baby sitter yang bekerja menjaga mereka tapi hanya dia yang terlihat tulus menjaganya dan seolah menganggap mereka adalah anak kandungnya sendiri,” cicitnya.
Pintu berderit pertanda ada yang membukanya dari luar, masuklah seseorang dan terlihatlah orang itu membawa sebuah nampan yang berisi beberapa piring dan mangkok berisi macam-macam makanan.
Citra sontak mengalihkan pandangannya ke arah kedatangan orang itu sambil menautkan kedua alisnya karena belum pernah melihat orang itu.
Citra reflek berdiri dari duduknya,” maaf kayaknya Tuan ehh bapak salah kamar deh. Di sini itu kamarnya si kembar bukan kamar tamu.”
Orang itu tersenyum lebar mendengar celotehan spontan Citra,” hahaha! Aku bukan tamu dan jelas-jelas aku nggak salah masuk kamar kok.”
“Tapi masalahnya aku nggak kenal bapak loh, jadi kemungkinannya bapak salma salah masuk kamar,” tukasnya Citra.
Pria itu menyimpan nampan tersebut ke atas meja sofa beludru,” makanlah, kamu kayaknya kelaparan karena tadi belum sempat makan.”
Citra semakin kebingungan karena tidak mengerti darimana orang yang baik hati ini mengetahui kalau dia belum makan gara-gara insiden di dapur umum khusus pekerja.
Pria itu terkekeh,” nggak usah pasang tampang bengong gitu. Makan saja, insha Allah makanannya aman tanpa sianida ataupun guna-guna.”
Pria itu sempat-sempatnya bercanda padahal Citra sudah menatapnya tajam.
Sedangkan di tempat lain masih di area yang sama…
Seseorang berjalan sedikit mengendap-endap memperhatikan sekitarnya kemudian menaikkan jari jempolnya sebagai tanda aman.
“Yes! Nggak lama lagi sepuluh juta akan masuk ke dalam rekeningku. Untungnya aku sudah memberikan jatah kepada chef Arman seperti biasanya pelayanan plus-plus sehingga aku bebas keluar masuk malam ini ke dapur khusus untuk nyonya besar Hilda dan anak-anaknya.” Cicitnya sembari berjalan ke arah meja dapur.
Orang itu mengambil sebuah botol plastik kecil dari dalam saku celananya kemudian membuka sebuah tutup panci dan memasukkannya cairan bening ke dalam panci tersebut.
“Dengan ramuan cinta ini, jalan aku menjadi kaya raya akan menjadi kenyataan. Nggak peduli dengan siapapun termasuk Citra si janda gatel itu. Dengan tubuhku ini chef Arman nggak bisa menolak keinginanku,” batinnya sambil merogoh saku celananya mencari benda keramat yang selalu membuahkan uang banyak mengalir ke dalam rekeningku.
“Mulai malam ini semua orang yang ada di rumah ini akan merestui hubunganku dan tak akan ada yang menolak bahkan mereka akan mempercepat rencana pernikahan kami bulan ini,” cicitnya sambil memandangi orang suruhannya itu.
berjalan meninggalkan area dapur setelah kaki tangannya menjalankan rencananya.
Sepeninggal keduanya, tidak terduga seseorang masuk ke dalam dapur dan mengambil beberapa panci yang berisi makanan.
“Kayaknya ini makanan pasti disukai oleh Abang Amri, dingin-dingin gini kan enaknya makan makanan yang berkuah asem, pedes dan hangat,” ucapnya kemudian mengisi makanan yang masih mengepul asapnya ke dalam rantang susun.
“Nona muda, aku sudah menjalankan tugas sesuai dengan keinginan nona, gimana nih dengan transferannya?” Tanyanya orang itu.
“Tenang saja, aku pasti akan TF 10 juta ke nomor rekeningmu seperti biasanya,” sahut orang itu kemudian mengambil ponselnya di dalam tas pouchnya lalu melakukan transaksi m banking di aplikasinya.
“Ingat baik-baik kamu harus mengawasi siapapun perempuan yang mendekati tuan Muda jika ada yang berani macam-macam langsung lapor kepadaku,” timpalnya perempuan itu sebelum masuk ke dalam mobil mewahnya.
“Tentu saja, hati-hati bosku,” balasnya sambil tersenyum puas karena kembali mendapatkan upah lumayan gede.
itu suami kayak bagaimana ya ga ada perasaan dan hati nurani kpd istrinya yg baru saja keguguran.