NovelToon NovelToon
Perempuan Kedua

Perempuan Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.

kisah ini diangkat dari kisah nyata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Satu minggu berlalu, namun bagi Maya, waktu seolah berhenti berputar. Hari-harinya masih sama, tidak ada yang berubah, sebuah rutinitas pahit yang mulai menggerogoti jiwanya.

Saat di giliran Maya—di rumah kontrakan yang sunyi itu—waktu Riski banyak terpotong. Dia datang setelah isya, pergi setelah adzan subuh, makan siang terburu-buru, dan menghilang lagi ke area proyek atau rumah dinasnya yang menyatu dengan lingkungan perusahaan.

Sementara saat di giliran Umma Fatimah, Riski utuh berada di sana. Keadilan yang pincang, sebuah kenyataan yang menyakitkan.

Meskipun begitu, Maya mencoba memahami. Ia mencoba membenarkan situasi itu dengan logika, karena tempat kerja Riski yang sebagai manajer proyek menyatu dengan tempat tinggal Riski yang juga berada di satu lingkungan rumah perusahaan. Aksesnya terlalu mudah untuk pulang ke rumah dinas.

Soal bepergian pun masih selalu bersama-sama dalam satu mobil yang sama, entah itu saat giliran Maya atau saat giliran Umma Fatimah. Selalu ada Umma Fatimah di kursi depan, selalu ada anak-anak di belakang.

Maya tidak tahu apakah hal tersebut memang keinginan Riski, atau ada sebuah rahasia di balik hal tersebut yang Maya tidak ketahui. Sebuah perjanjian tak tertulis, atau mungkin rasa takut Riski pada istrinya yang pertama.

Tapi Maya sekali lagi mencoba memahami, dan berpikir baik. Ia berusaha menguatkan hatinya, menepis keraguan yang muncul, berharap ini semua hanya fase awal pernikahan poligami yang penuh penyesuaian, dan keadilan yang utuh itu akan datang pada waktunya.

.....

Maya berbaring di kasur setelah membalas pesan Riski yang terakhir, sebuah pesan singkat basa-basi sebelum suaminya kembali ke kehidupan utamanya. Ia bersiap untuk tidur, malam ini Riski sedang berada di giliran Umma Fatimah. Maya mulai bersiap, meletakkan ponselnya ke meja yang ada di samping tempat tidur.

Baru saja akan memejamkan mata, sebuah notifikasi pesan masuk. Layar ponselnya menyala, memecah kegelapan kamar. Maya pun kembali duduk di tepian kasur dan membuka isi pesan yang ternyata dari Umma Fatimah.

Isi pesan itu dibacanya dengan saksama, dan setiap kata terasa seperti serpihan kaca yang menusuk ulu hatinya.

[Dari Ummu Fatimah]:

Assalamu'alaikum Maya, saya harap kamu bisa menjaga adab ya. Tolong jangan ganggu jatah giliran Riski ketika sedang bersama saya di rumah. Tolong saling menghargai.

Tubuh Maya bergetar hebat. Ia tidak bisa lagi menahan gejolak emosinya. Amarah, sakit hati, dan rasa ketidakadilan bercampur aduk menjadi satu. Ingin sekali Maya marah dan menuntut keadilan, menuntut haknya, apalagi ustadzah tempatnya bertanya ilmu agama mengatakan dalam Islam status istri pertama, kedua, dan seterusnya semuanya sama di mata agama, tidak ada yang lebih rendah atau sebaliknya.

Maya menangis tersedu-sedu, memukul dadanya sendiri yang terasa sesak. Isi pesan tersebut berisi sebuah teguran yang menusuk, menuduhnya mengganggu jatah giliran Riski.

Hati Maya benar-benar sakit karena teguran tersebut, ia menganggap Umma Fatimah egois dan tidak tahu diri. Kenyataannya, saat Riski di giliran Maya, malam hari setelah Isya, waktunya bersantai, membangun komunikasi berdua, saling mengenal lebih dalam, Riski justru selalu disibukkan oleh ponselnya. Riski bahkan pernah bertukar pesan dengan Umma Fatimah saat dirinya sedang mengobrol dan duduk di samping Maya. Dan hal tersebut bukan hanya sekali.

Maya melihat dengan jelas nama Umma Fatimah di ponsel tersebut, tapi Maya hanya diam tanpa berani menegurnya, menelan kepedihan itu sendiri. Dan yang Maya lakukan barusan bukan bermaksud membalas perlakuan Umma Fatimah, Maya hanya bertindak sebagaimana mestinya seorang istri ketika suaminya mengirimkan pesan kemudian dibalas pesan tersebut. Maya tidak pernah mempermasalahkan, lalu kenapa sekarang Umma Fatimah menegurnya dengan cara sepihak seperti ini?

Malam itu, di kamar kontrakan yang sunyi, Maya menangis dalam keputusasaan. Rasa ketidakadilan itu kini bukan lagi samar, melainkan nyata, menghantamnya telak, membuatnya merasa sendirian dalam perjuangan menegakkan haknya sebagai seorang istri yang juga sah meskipun hanya di mata agama.

Setelah meredakan sendiri gejolak emosinya, berusaha sekuat tenaga menekan amarah yang memuncak, Maya membalas pesan tersebut. Balasan yang singkat, hanya untuk menghargai Umma Fatimah sebagai madu sekaligus lebih tua darinya, dan sebagai jalan keluar damai dari konflik yang baru dimulai ini.

[Dari Maya]:

Maafkan saya, Kak. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Maya meletakkan kembali ponselnya. Ia membaringkan tubuhnya, meringkuk di bawah selimut, dengan tubuhnya yang masih bergetar sisa tangisannya tadi. Di dalam keheningan yang mencekam, bibirnya menggumamkan doa pilu:

"Ya Allah... benarkah ini takdirku? Jika benar, tolong kuatkan hamba Mu ini."

Malam itu, di kamar kontrakan yang sunyi, Maya memeluk dirinya sendiri, pasrah pada takdir yang terasa begitu berat, dan memohon kekuatan dari Sang Pencipta untuk melalui setiap detik perjuangan barunya.

...............

Pagi itu, aktivitas Maya terasa hambar, bayang-bayang teguran semalam masih menghantui. Ketika Riski mengiriminya pesan singkat, Maya membaca isi pesan itu, hatinya dipenuhi keraguan. Teringat teguran pedas Umma Fatimah semalam, Maya memilih untuk tidak membalas pesan tersebut, sebuah keputusan sepihak demi menjaga perdamaian yang rapuh itu.

Riski, yang pesannya tidak kunjung dibalas selama beberapa menit yang terasa lama, langsung menelepon. Nadanya terdengar seperti raungan amarah yang tertahan.

"Kenapa nggak balas pesan saya? Kamu ngapain aja sih sampai nggak bisa balas pesan saya?" bentaknya.

Maya menjauhkan ponselnya sejenak dari telinga, napasnya tertahan. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungnya yang kacau balau. Dirinya merasa seperti terjebak di antara Umma Fatimah dan Riski, di antara dua belah pihak yang saling menuntut keadilan masing-masing. Maya pun mulai berbicara dengan suara yang lembut, penuh kehati-hatian, seolah berjalan di atas pecahan kaca.

"Maaf, Mas," ucap Maya, mencoba menjelaskan posisinya dengan sabar. "Mas kan lagi di rumah Umma Fatimah, sebaiknya Mas fokus di sana saja. Aku di sini baik-baik aja, Mas, nggak perlu khawatir. Aku cuma nggak mau nantinya karena hal ini kesalahpahaman terjadi di antara aku dan Umma Fatimah."

Mendengar hal tersebut, Riski justru seperti semakin marah. Nadanya meninggi, terdengar jelas dari suaranya yang membentak, menusuk telinga Maya.

"Kenapa tiba-tiba kamu bicara kayak gitu, hah? Apa ada yang salah? Apa saya salah menghubungi istri saya sendiri, sudahlah."

Tut.

Riski memutuskan sepihak teleponnya, menyisakan keheningan yang memekakkan di kamar kontrakan itu.

Maya terdiam, menatap ponselnya nanar, air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia beristigfar dalam hati, mencoba menenangkan kekalutan.

Tiba-tiba ingatannya tentang Hana yang menilai Riski emosional pun terlintas di benaknya, sebuah firasat yang kini terbukti nyata. Riski marah saat ia mencoba bersikap bijak dan adil. Maya merasa semakin terasing dan tidak dimengerti, ditinggalkan sendirian dalam pusaran konflik emosi yang baru dimulai ini.

Bersambung...

1
Arin
Kalau udah kayak gini mending kabur...... pergi. Daripada nambah ngenes
Eve_Lyn: setelah ini masih banyak lagi kisah maya yang bikin pembaca jadi gedeg wkwkwk
total 1 replies
Arin
Kalau rumah tangga dari awal sudah begini..... Apa yang di harapkan. Berumah tangga jadi kedua dan cuma jadi bayang-bayang. Cuma dibutuhkan saat suami butuh pelayanan batin baru baik......
Eve_Lyn: hehehe....banyak kak kisah-kisah istri yang demikian...cuma gak terekspos aja kan,,,kalo kita menilainya dari sudut pandang kita sendiri, ya kita bakalan bilang dia bego,bodoh, tolol, dan lain-lain hehehe...intinya gak bisa menyamaratakan semua hal dari sudut pandang kita aja sih gtu hehehe...awal juga aku ngerasa gtu,,, tapi setelah memahami lebih dalam, dalam melihat dari sudut pandang yang berbeda, kita jadi bisa sedikit lebih memahami, walawpn kenyataannya berbanding dengan emosinya kita...hihihihi...makasih yaa,kakak setia loh baca novelku yang ini hehehehe
total 1 replies
kasychan04-(≡^∇^≡)
MasyaAllah
kasychan04-(≡^∇^≡)
mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!