Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep.21 : Ciuman Pertama
Cakra berdiri di depan pintu rumah Dhyas berhadapan dengan Cak Din,
"Saya izin bertemu Dhyas, Pak Carik," ujar Cakra sopan.
Cak Din menatap dengan wajah datar,
"Dhyas sakit. Semalam dia demam," ucapan Cak Din yang dingin.
"Sakit?," Cakra terkejut. Terakhir dia bertemu Dhyas saat di padepokan selesai menjalankan misi di de Rozenkamer dan itu pun Dhyas masih dalam keadaan sehat.
"Ya. Itulah mengapa dia dilarang keluar dulu,"
"Pak Carik, bisakah saya bertemu Dhyas. Saya mau lihat keadaannya dan...,"
"Dia lagi istirahat. Tunggu saja dia sembuh,"
"Tapi Pak Carik, saya...,"
"Eh, ada temannya Dhyas," Nyai Rindi tiba sambil menenteng tas kecil berisi tempe tahu dan seikat kangkung.
Cakra menundukan kepalanya memberi hormat,
"Ibu.. Saya izin mau melihat, Dhyas,"
"Ohh.. Ada.. Dia di kamarnya, masuk saja,"
Cak Din menatap istrinya dengan mata besar. Nyai Rindi tidak mengerti kode mata dari Cak Din.
"Boleh, Bu? Saya masuk ya," Cakra tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia langsung menerobos masuk melewati Cak Din.
"Ibu apa-apaan sih. Kenapa diizinkan masuk," Cak Din berbisik dengan gigi rapat.
"Loh, ibu pikir ayah sudah izinkan sebelumnya," ujar Nyai Rindi dengan wajah polos, tak bersalah.
Cak Din menepuk jidatnya.
**
Dhyas beranjak dari tempat tidur,
"Cakra?," terkejut.
Cakra melangkah masuk ke dalam kamar itu. Kamar yang sempit tak seperti kamar tidurnya yang lega.
Hanya ada dipan dan sebuah lemari coklat tua yang dipintunya dipasangi kaca.
"Kata ayahmu kamu sakit?," Cakra mendekat.
"Semalam. Hanya demam biasa. Sepertinya ada sedikit radang di bekas luka tembak ku,"
Cakra menatap ke bagian dada Dhyas,
"Bagaimana lukanya? masih nyeri,"
"Tidak lagi. Tapi mungkin karena malam itu kita berkelahi dengan mereka, ada gesekan yang menyebabkan terjadi radang. Tapi ini sudah baik kan. Nanti mau minta obat lagi sama Pak De Rusdi," Dhyas menatap Cakra, "Ada apa kamu kemari?,"
"Aku mau bicara denganmu," nada bicara Cakra dari khawatir berubah menjadi lirih.
"Ada apa?,"
Cakra menunduk. Otaknya masih memproses kata yang tepat untuk diucapkan pada Dhyas.
"Cakra, kamu baik-baik saja, kan?," giliran Dhyas yang khawatir.
"Baik. Hanya saja.....aku harus berangkat ke Belanda,"
Mata Dhyas membulat,
"Belanda?,"
Cakra mengangguk lemah.
"Ayah dan ibuku ada masalah internal. Dan ayah memintaku bersekolah di sekolah militer di sana,"
"Sekolah militer? Itu kan milik mereka. Mereka tidak mengajarkan cinta ibu Pertiwi di sana,"
"Aku tahu. Aku sudah menolaknya. Tapi semalam ibu mencoba untuk bunuh diri dan...aku tidak bisa menolaknya,"
"Bunuh diri?," Dhyas menutup mulutnya. Kabar kali ini membuatnya terkejut.
"Permasalah keluargaku cukup kompleks, Yas. Aku sulit untuk menceritakan nya secara rinci. Yang jelas, kepergianku ke sana untuk keutuhan keluarga ku," suara Cakra hampir tak terdengar.
Setelah mengatasi keterkejutannya, Dhyas melangkahnlebih dekat pada Cakra. Tubuh Cakra yang lebih tinggi darinya membuatnya harus mendongak,
"Tidak ada yang lebih penting dari keluarga. Kalau kepergianmu dapat membuat keluargamu tetap utuh maka pergilah,"
Cakra menatap Dhyas,
"Kamu tidak melarang ku?,"
"Melarangmu? Apa hak ku melarangmu? Kita belum menikah. Kamu masih manusia bebas,"
"Tapi aku akan meninggalkan mu, Yas,"
"Aku akan baik-baik saja di sini dan aku akan...menunggumu,"
Cakra menatap Dhyas lamat-lamat,
"Kamu yakin akan menungguku. Mungkin itu butuh bertahun-tahun,"
"Insyaallah. Tidak ada yang tahu yang akan terjadi besok hari, tapi saat ini aku dapat berjanji bahwa aku akan menunggu,"
Cakra tersenyum getir,
"Aku tidak ingin jalannya seperti ini, Yas,"
"Ssttt. Jangan menyalahkan takdir. Kalau takdir berpihak pada kita, biarkan ia membuktikan lewat waktu. Tapi kalau pun tidak, setidaknya kita pernah saling menyayangi,"
Cakra menarik tubuh Dhyas dan memeluknya,
"Aku tidak mau kehilangan dirimu," Cakra membenamkan kepalanya di pundak Dhyas.
Dhyas mengangkat tangannya dan mengelus pundak Cakra.
Cakra melepaskan pelukannya. Dia kembali menatap Dhyas seolah-olah sedang mengumpulkan memori sebanyaknya di kepalanya akan wajah gadis yang dicintainya itu.
"Aku akan menjaga diri di sini. Kamu juga di sana," Dhyas berucap lembut menenangkan sambil mengusap lengan Cakra.
Cakra menarik tubuh Dhyas lebih rapat lagi. Kali ini dia harus melupakan prinsipnya dulu. Dia ingin mencium Dhyas sebelum berpisah. Dia harus meninggalkan kenangan itu bagi Dhyas dan bagi dirinya.
Perlahan Cakra menurunkan kepalanya. Menghampiri yang dia tuju. Sebelah tangannya merangkul pinggang Dhyas dan sebelah lagi berada di belakang kepala Dhyas.
Dhyas sudah tahu arah tujuan Cakra tapi dia memilih diam dan pasrah. Matanya mulai menutup ketika wajah Cakra semakin dekat dengan wajahnya.
Satu sentuhan lembut mendarat di bibir Dhyas. Matanya terbuka karena sentuhan itu. Sentuhan itu lambat laun berubah menjadi lumatan lembut. Mata Dhyas kembali menutup. Kedua tangannya tegang. Jantungnya berdegup kencang. Membiarkan Cakra berkreasi di sana. Lumayan lembut Cakra begitu membuainya, ditambah dengan sentuhan jemari Cakra di belakang kepalanya. Dhyas benar-benar dibawa di awan-awan.
Tepat setelah itu, Nyai Rindi menyingkap gorden pintu kamar Dhyas dan menyaksikan adegan itu tanpa diketahui kedua orang yang sedang dimabuk asmara itu.
Ciuman yang mulai mendalam itu membuat tangan Cakra sudah akan berpetualang di bagian tubuh Dhyas yang lain tapi terdengar suara keras dari luar,
"Dhyas.. Sudah mau hujan, tolong ambilkan jemuran ibu!,"
Dua orang yang sedang bermesraan itu seperti tersadar dari dunia mimpi. Ciuman itu pun harus berakhir karena jemuran.