NovelToon NovelToon
MANTAN TENTARA BAYARAN: IDENTITAS ASLINYA SEORANG MILIARDER

MANTAN TENTARA BAYARAN: IDENTITAS ASLINYA SEORANG MILIARDER

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Mata-mata/Agen / Trauma masa lalu / Action / Romantis / Crazy Rich/Konglomerat
Popularitas:10.3k
Nilai: 5
Nama Author: BRAXX

Mereka memanggilnya Reaper.

Sebuah nama yang dibisikkan dengan rasa takut di zona perang, pasar gelap, dan lingkaran dunia bawah.

Bagi dunia, dia adalah sosok bayangan—tentara bayaran tanpa wajah yang tidak meninggalkan jejak selain mayat di belakangnya.

Bagi musuh-musuhnya, dia adalah vonis mati.

Bagi saudara seperjuangannya di The Veil, dia adalah keluarga.

Namun bagi dirinya sendiri... dia hanyalah pria yang dihantui masa lalu, mencari kenangan yang dicuri oleh suara tembakan dan asap.

Setelah misi sempurna jauh di Provinsi Timur, Reaper kembali ke markas rahasia di tengah hutan yang telah ia sebut rumah selama enam belas tahun. Namun kemenangan itu tak berlangsung lama. Ayah angkatnya, sang komandan, memberikan perintah yang tak terduga:

“Itu adalah misi terakhirmu.”

Kini, Reaper—nama aslinya James Brooks—harus melangkah keluar dari bayang-bayang perang menuju dunia yang tak pernah ia kenal. Dipandu hanya oleh surat yang telah lusuh, sepotong ingatan yang memudar, dan sua

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TERHARU

James duduk di samping ranjang rumah sakit tempat Julian berbaring. Sisa-sisa dari pertempuran brutal masih menempel di pakaiannya, darah di tangannya, noda di mantelnya, memar di buku-buku jarinya. Suara bip pelan dari monitor menjadi satu-satunya bunyi di ruangan itu.

Julian menatapnya, inii bukan anak laki-laki yang selalu diceritakan oleh Sophie.

"Aku berumur tujuh tahun," ucap James. "Saat pertama kali ada darah di tanganku."

Julian berkedip.

"Aku mencoba mencucinya selama berhari-hari. Mungkin berminggu-minggu. Tapi tidak hilang. Tidak dengan air. Tidak dengan sabun. Aku masih bisa melihatnya... masih bisa mencium baunya. Aku ketakutan."

Jari-jarinya perlahan menggenggam erat, darah di buku-buku jarinya mulai retak kering.

"Aku telah mengambil nyawa, Julian. Seorang pria. Mereka mengatakan dia telah membunuh banyak keluarga. Membom desa-desa. Meninggalkan anak-anak seperti aku tanpa rumah, tanpa orang tua. Tapi itu tidak membuatnya lebih mudah saat itu. Aku menangis setiap malam."

Akhirnya dia menatap ke atas dan melanjutkan ucapannya. "Lalu aku menyadari sesuatu. Orang-orang yang kutumbangkan... mereka bukan hanya musuh. Mereka adalah monster. Tidak ada penyesalan. Tidak ada belas kasihan. Aku mulai menyimpan darah itu. Secara metaforis. Aku berhenti mencoba untuk mencucinya."

Mata Julian tidak beralih, dia mendengarkan dengan seksama.

"Mungkin aku akan masuk neraka," kata James, dengan senyum pahit. "Tapi kalau keluargaku selamat... aku bisa menerima itu."

Setelah James mengatakan itu, Julian mengulurkan tangan untuk menyentuh bahu James.

"Tidak apa-apa, Nak," kata Julian lembut.

"Tidak ada yang menyalahkanmu. Bukan aku. Bukan Sophie. Kau sudah kembali. Itu saja sudah cukup."

Julian tersenyum tipis.

"Aku tahu aku bukan ayahmu. Tapi sejak Sophie menceritakan tentangmu... menunjukkan foto-fotomu... cara dia berbicara tentangmu—aku merasa seolah-olah sudah memiliki seorang anak laki-laki."

"Kau tetap anak baik, James. Hanya saja... anak yang telah berjalan melalui neraka."

Pemuda itu berkedip, dia tidak mengatakan apa pun sebagai balasan, dia hanya duduk di sana... di samping pria yang dicintai ibunya, pria yang memanggilnya anak.

James berdiri perlahan, menepuk-nepuk kain bajunya yang masih bernoda darah.

Lalu ia berbicara pelan, "Ayo pulang, Ayah."

Julian menatap ke atas dengan bingung. "Apa...?"

James menampilkan setengah senyum. "Mama tidak akan senang kalau aku terus memanggilmu Julian."

Untuk sesaat, Julian tidak berkata apapun dia tersenyum lalu mengangguk.

Di luar, seorang petugas rumah sakit datang membawa kursi roda. James langsung membantu Julian duduk di kursi itu.

Saat hendak melewati koridor ponsel James bergetar.

Nomor Tidak Dikenal.

James mengangkatnya, lalu sebuah suara familiar terdengar.

"Reaper... aku baru saja menerima email konfirmasi. Dari orang itu. Orang yang mempekerjakan kami. Dia ingin laporan perkembangan."

Nikos.

Ekspresi James tidak berubah. Tapi suaranya mengeras. "Nikos... yang kau inginkan hanya uang, bukan?"

Ada jeda. "Y-ya..."

"Aku akan penuhi rumahmu dengan uang. Tapi kau harus melakukan dua hal untukku."

"...Apa?"

James melangkah menjauh dari Julian dan bersandar pada dinding koridor.

"Pertama—balas email orang itu. Dan katakan padanya misinya menjadi lebih rumit. Dan setelah itu katakan kalau Julian Parker sudah tiada... saat proses pemindahan. Buat agar terlihat meyakinkan."

Julian, yang masih di dekatnya, menatap terkejut—tapi James mengangkat tangan dengan tenang, memberi isyarat percayalah padaku.

Nikos tergagap, "Tapi... itu kebohongan yang berisiko—"

"Tapi?" potong James, suaranya nyaris berbisik.

"...Baik, Reaper. Aku akan melakukannya. Apa hal kedua?"

Nada suara James turun. "Bubarkan BlackLotus."

"...Apa?"

"Apakah kau mau mendengarkanku. Bakar semuanya. Kau mau uang? Sekarang kau akan bekerja untukku."

Nikos tertawa gugup. "Tapi The Veil tidak menerima orang luar."

"Siapa yang mengatakan kau akan bekerja untuk The Veil?"

"Kau akan bekerja untukku, Nikos. Timku. Aturanku."

"A—apa maksudmu—"

"Kau akan mengerti. Setelah ini aku akan mengirimkan kontak seseorang. Seorang wanita. Bersikaplah sopan padanya. Dia yang akan mengatur operasimu, pembayaranmu, dan langkah selanjutnya."

"...Dan kalau aku menolak?"

"Kau tidak akan menolak permintaanku," jawab James. "Karena kau tahu aku selalu menepati janjiku. Bahkan janji yang mematikan."

Hening.

Lalu—

"...Baik, Bos. Aku akan ikut denganmu."

James tersenyum tipis. "Bagus. Selamat datang di dunia baru, Nikos."

James menutup panggilan.

Julian menatap James saat kembali mendekat.

"Itu terdengar... serius," katanya dengan senyum miring.

James menatap ke bawah padanya, lalu menjawab, "Sudah beres."

Mereka berjalan menuju pintu keluar rumah sakit. Seorang petugas datang membawa setelan pakaian bersih yang terlipat rapi di tangannya.

"Kau sebaiknya mengganti pakaianmu," kata Julian, menatap kain berlumur darah yang masih menempel di tubuh James.

James mengangguk, mengambil bungkusan itu tanpa sepatah kata pun. Beberapa menit kemudian, dia keluar dari kamar mandi sudah bersih, darahnya sudah hilang. Mengenakan hoodie dan celana jeans sederhana, ia tampak seperti pemuda 21 tahun pada umumnya.

Di luar, mobil hitam sudah menunggu di gerbang rumah sakit.

James membantu Julian duduk di kursi penumpang, berhati-hati dengan kakinya. Lalu dia berkeliling, masuk ke kursi pengemudi, dan menyalakan mesin.

Dokter Calvin berdiri di pintu masuk, mengawasi mereka pergi.

James menatapnya melalui jendela yang terbuka. "Selamat tinggal, Dokter. Kau juga sebaiknya tinggalkan tempat ini. Kembalilah. Kau sudah melihat cukup banyak darah."

Calvin mengangguk hormat. "Ya, Bos. Aku akan menyelesaikan semuanya di sini lalu aku kembali. Hati-hati di jalan."

James membalas anggukan itu, lalu menekan pedal gas, mobil perlahan melaju ke jalan.

Julian menatap James lalu bertanya. "Kau juga yang mengatur Dokter Calvin?"

"Ya."

"Dia memanggilmu Bos. Kenapa?"

James tersenyum tipis. "Dia bekerja untukku. Bisa dibilang... semacam dokter keluarga."

Julian berkedip, masih berusaha mencerna semua yang ia pelajari. "Dan rumah sakit ini? Bagaimana dengan pihak berwenang? Bukankah mereka akan tahu?"

James melirik padanya, lalu kembali menatap jalan. "Mereka tidak akan tahu."

"Bagaimana kau bisa begitu yakin?"

James merogoh saku jaketnya dan menyerahkan sebuah kartu identitas militer berwarna merah—tampak resmi, bertepi emas, dengan lambang Angkatan Bersenjata di bagian atasnya.

James Brooks

Pangkat: Jenderal

Otorisasi Kompleks Kepresidenan

Julian menatap kartu itu lalu mulutnya perlahan terbuka. "Kau... Benarkah ini?"

James mengangkat bahu dengan santai. "Mereka menyebutnya Jenderal Kehormatan. Itu diberikan langsung oleh Presiden."

Julian menatapnya, terkejut.

Mereka terus melaju hingga saat ban mobil berputar memasuki jalan masuk rumah, hari sudah hampir malam.

Dia turun, berjalan mengitari mobil, dan membuka pintu penumpang. Dengan lembut, dia membantu Julian duduk di kursi roda dan menyesuaikannya dengan hati-hati. Lalu, ia mendorong kursi itu ke arah pintu.

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka—dan di sanalah Sophie berdiri terkejut begitu melihatnya.

Julian menatap ke atas, "Aku pulang, Sayang."

Tangan Sophie terangkat ke mulutnya saat air mata menggenang di matanya. Bibirnya bergetar, tak mampu berbicara, diliputi kebahagiaan yang tak terlukiskan.

James mendorong kursi itu masuk ke dalam rumah, lalu dia berseru keras, sambil tersenyum, "Anak-anak—kemari sebentar! Lihat siapa yang kubawa pulang!"

Setelah mendengar itu Chloe dan Felix berlari keluar dari kamar mereka seperti roket kecil—Felix menyeret Robot mainan, Chloe masih memegang krayon di tangannya.

Mereka berhenti mendadak di tepi ruang tamu.

Lalu—

"AYAH!!!" teriak Chloe.

"AYAHHH!!" sambung Felix, suaranya tinggi karena tak percaya.

Dalam sekejap, mereka berlari ke depan, tangan terbuka lebar. Chloe melompat, melingkarkan lengannya di leher Julian, hampir membuat kursi rodanya oleng. Felix memeluk pinggangnya, menenggelamkan wajahnya di perut Julian sambil menangis.

Julian mengulurkan tangan di kepala keduanya setelah itu air matanya mengalir.

"Aku merindukan kalian... Sangat merindukan kalian," bisiknya.

"Aku tahu Ayah akan kembali! Aku tahu!" seru Chloe sambil menangis.

.....

Di suatu tempat di negeri itu...

Di sebuah ruangan terpencil yang remang, dikelilingi buku-buku tua dan peta, seorang pria tua duduk di kursi kulit, secangkir teh panas tak tersentuh di meja di sampingnya. Jendela-jendela tertutup rapat.

Ponselnya bergetar.

Ia mengangkat tanpa sapaan.

Sebuah suara di ujung sana berbicara tenang. "Tuan... Julian Parker sudah tiada."

Mata pria tua itu menyipit.

"Apa? Bagaimana?" tanyanya.

"Dia terlalu sakit untuk dipindahkan. Tiada saat penculikan. BlackLotus mengkonfirmasi."

Lalu perlahan pria tua itu menjawab sambil bersandar di kursinya. "Tidak apa-apa... Itu menguntungkan bagi kita juga. Orang mati tidak bisa bicara. Sekarang dia tidak akan mengungkap apa pun."

Dia meraih cangkir tehnya, lalu berhenti sejenak. "Terus awasi Sophie. Untuk berjaga-jaga. Dia lebih pintar dari yang kita lihat."

Terdengar ketukan pelan saat jari-jarinya menepuk sandaran kursi.

"Dan katakan pada bajingan-bajingan Aethel Club itu untuk mulai bekerja. Aku sudah muak menunggu ketidakmampuan mereka."

1
Zandri Saekoko
author
kapan lanjutan sistem kekayaan itu author tiap hari saya liht tapi blm ada lanjutan
Rocky
Ternyata ini misi terakhir secara tersirat yang dimaksudkan Sang Komandan..
Zandri Saekoko
mantap author
lanjutkan
Zandri Saekoko
mantap author
king polo
up
king polo
update Thor
king polo
up
king polo
update
july
up
july
update
Afifah Ghaliyati
up
Afifah Ghaliyati
lanjutt thorr semakin penasaran nihh
eva
lanjut thor
eva
up
2IB02_Octavianus wisang widagdo
upp lagi broo💪
Zandri Saekoko
lanjut thor
Wulan Sari
lanjut Thor semangat 💪👍❤️🙂🙏
Coffemilk
up
Coffemilk
seruu
sarjanahukum
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!