Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Elira menatap lama, hingga akhirnya tersenyum manis.
"Tapi sebelumnya," tukas Axel cepat sebelum Elira berbicara. "Apa kau baik-baik saja?"
Gemuruh amarah di hati Elira perlahan menyurut. Sudah berapa lama ia tak mendengar pertanyaan semacam itu? Harusnya, kalimat itu masuk ke deretan dialog membosankan. Namun sial, entah kenapa hatinya begitu sesak mendengarnya.
"Aku melihat berita yang cukup populer akhir-akhir ini di jagat maya." Axel berusaha merebut atensi, supaya Elira sadar bahwa pertanyaannya bukanlah sekadar basa-basi.
Elira tersenyum samar. "Jadi, kedatanganmu ke sini hanya ingin memastikanku baik-baik saja?"
Axel terdiam, sekadar memastikan sekali lagi, jika ekspresi Elira benar-benar menandakan dirinya sungguh baik-baik saja.
"Aku baik-baik saja, Axel. Aku sudah bangkit dari kematian." Elira tersenyum miring membanggakan diri. "Elira yang lemah telah mati. Jadi tak usah mengkhawatirkanku sejauh itu."
Bagaimana bisa, perempuan yang selalu berlemah lembut dan selalu menghindar darinya dengan gestur pemalu itu, kini justru terlihat sebaliknya? Bagi Axel, perubahan ini terlalu ekstrim.
Jangankan memberi ruang mengobrol berdua di kamar seperti ini. Setiap kali Axel menyapa, Elira tak pernah mau melakukan hal yang sama. Perempuan itu hanya mengangguk sekali, lalu pergi menghindarinya.
Axel belum mengerti alasan Elira melakukan itu. Namun, kebingungan baru kini menambah pikirannya.
"Kau tampak begitu berbeda." Akhirnya Axel menyahut. "Apa imbas dari insiden kala itu?"
Elira mengangguk. "Sepertinya."
Helaan singkat keluar dari mulut Axel. Lelaki itu memainkan sebelah jemari dalam kepalan. "Secara medis?"
Yang ditanya mengedikkan bahu. "Mereka saja kebingungan."
Axel mengangguk-angguk samar, sorotannya meneliti wajah Elira seakan mencari jawaban yang lebih jujur. “Jadi kau tidak tahu pasti penyebabnya?”
“Kenapa hari ini orang-orang selalu bertanya hal yang sudah jelas aku katakan?" Elira sedikit kesal, mengingat kejadian sepele sebelumnya yang membuatnya naik pitam.
Axel sampai tersenyum samar. Sedikit lucu melihatnya terus marah-marah sejak tadi. Mungkin, ini efek terlalu lama diabaikan, sampai perasaan amarah seseorang menjadi momen indah yang membuat hatinya menghangat.
Elira menyungging miring dengan angkuh. “Sepertinya ada begitu banyak pertanyaan di benakmu."
"Ya. Tapi aku sangat bersyukur karena masih bisa melihatmu, meski kau tampak jauh berbeda." Axel menyentuh rambut Elira dengan ragu, hingga berhasil mengusapnya. "Tolong jangan nekat lagi."
"Terdengar menggelikan. Tapi kenapa aku merasa tersentuh?" Elira menggeleng, membuyarkan pikirannya.
"Harus kukatakan berapa kali? Elira yang bodoh telah mati." Kedua alis Elira menukik, seolah tak sudi disamakan. "Aku harus membantu Ayah untuk menyingkirkan lelaki brengsek itu."
Axel berdehem saat Elira membiarkan perlakuannya. Ia pun kembali menarik tangannya. "Siapa yang dirimu maksud?"
"Keluarga Vaelric." Senyuman licik tercetak sinis di bibirnya. "Bantu aku untuk mewujudkan itu, Axel."
Senyum itu bukanlah senyum yang sama milik Elira dulu. Meski beberapa hal menguntungkan dirinya, tetapi Axel bisa merasakan, bahwa yang ada di dekatnya ini bukanlah orang yang sama.
"Ingatanku sedikit bermasalah akhir-akhir ini. Membuatku kebingungan harus memulainya dari mana."
Axel mendengarkan secara saksama, dengan perasaan yang entah kenapa semakin curiga.
"Aku ingin kau menulis sesuatu tentang diriku. Apa pun yang kau tahu, meski hanya buah bibir yang terlontar dari gosip murahan." Elira bangkit dari tempat duduknya, lalu merogoh sesuatu di dalam laci.
"Aku akan melakukannya untukmu," Axel menerima buku catatan dari Elira.
"Jangan khawatir. Selama aku masih bisa melihatmu, maka selama itu pula aku akan selalu ada di sisimu."
Elira tersenyum manis. "Dia sangat manis."