Brakk
"Tidak becus! aku bilang teh hangat. Kenapa panas sekali? kamu mau membakar tanganku?"
Alisa tidak mengatakan apapun, hanya menatap ke arah suaminya yang bahkan memalingkan pandangan darinya.
"Tahunya cuma numpang makan dan tidur saja, dasar tidak berguna!"
Alisa menangis dalam hati, dia menikah sudah satu tahun. Dia pikir Mark, suaminya adalah malaikat yang berhati lembut dan sangat baik. Ternyata, pria itu benar-benar dingin dan tak berperasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Merasa Curiga
Paula merasa begitu kesal, dia sungguh tidak terima dirinya dilecehkann seperti ini. Ya, meskipun Mark itu suaminya. Tapi tidak juga dia boleh bertindak memaksakan kehendaknya seperti itu.
Paula mengambil nafas dalam-dalam, dia membuka mulutnya, membiarkan Mark memasukkan lidahnya kesana. Mark pikir, Paula sudah menyerah. Tapi....
"Ssshhh"
Mark segera menarik dirinya, bahkan melepaskan kedua tangan Paula. Karena harus dia segera menyentuh bibirnya yang seperti sobekk.
Ya, Paula menggigitt bibir Mark dengan sangat kuat.
"Kamu.... kenapa menggigitt seperti anjingg begitu?"
Paula segera berdiri dan menyeka bibirnya yang basah karena ulah Mark itu. Mark mendesiss menahan perih pada bibirnya yang digigitt dengan begitu kuat oleh Paula sampai terlihat cairan merah keluar dari sana.
"Rasakan itu! siapa suruh kamu melanggar janjimu. Kamu sudah setuju, kamu tidak boleh menyentuhku. Maka jangan pernah sentuh aku lagi! paham?" tanya Paula.
Dan alih-alih seperti sebuah pertanyaan, sebenarnya Paula sedang memberi peringatan pada Mark. Dia bukan wanita yang Mark temukan di rumah sakit satu tahun lalu itu lagi. Dia sudah ingat semuanya. Dan dia tidak akan biarkan siapapun menindasnya.
"Ssshh" Mark masih tampak kesal, tapi dia harus kembali pada tujuan awal dia datang ke kamar ini, "Apa yang kamu katakan pada dokter Amara? kenapa dia mem-blacklist keluarga Austin dari rumah sakitnya?" tanya Mark.
Pria itu tidak bicara dengan nada tinggi. Sepertinya, luka di bibirnya itu membuatnya tidak bisa lagi berteriak sementara waktu ini.
Paula melipat kedua tangannya di depan dada. Itu kebiasaannya. Dan Mark sedikit terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Paula itu. Sebelumnya, Alisa istrinya tidak pernah melipat kedua tangannya di depan dada seperti itu. Sedangkan wanita yang ada di hadapannya itu. Sudah dua kali melakukan hal seperti itu.
Mark juga merasa heran. Sebenarnya apa yang terjadi pada istrinya. Saat dia bertanya pada dokter, dokter bilang istrinya bahkan belum mengingat apapun. Tapi kenapa jadi kasar seperti itu.
"Aku tidak mengatakan apapun. Hanya saja dokter Amara sangat kecewa saat aku mencabut laporan itu. Hanya itu!" kata Paula.
Tentu saja dia mengatakan hal yang sebenarnya. Karena semua rencana mem-blacklist itu, dia membicarakannya dengan Joyce. Bukan dengan dokter Amara secara langsung. Jadi, hitungannya Paula juga tidak berbohong. Dia memang tidak mengatakan apapun pada dokter Amara. Tapi pada Joyce, asisten pribadinya.
"Kalau begitu telepon dia, dan katakan kalau kamu sudah tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Minta dia mengijinkan rumah sakit merawat Rena!" kata Mark memberikan ponselnya pada Paula.
Paula hanya melihat sekilas ponsel itu. Dan kembali menatap tidak senang pada Mark.
"Memangnya siapa aku? sampai dokter Amara akan mendengarkan aku?" tanya Paula.
"Harusnya kamu pikirkan hal itu sebelum memukuli Rena. Aku tidak akan buat perhitungan dengan mu tentang masalah ini. Tapi kamu harus telepon dokter Amara!"
Paula mengusap wajahnya sekali, dengan gerakan seperti orang yang sedang menahan emosi.
"Permisi, tuan Mark yang terhormat. Pernah dengar pepatah ini 'Bahkan anjingg pun tidak akan menggigitt kalau tidak di ganggu' Silahkan tanya pada bibi Dini, dan Leni. Jangan pada Maria ya, karena saat kejadian itu adanya bibi Dini dan Leni. Maria tidak ada! tanyakan pada mereka, siapa yang datang menggedor pintu kamar ini sambil membawa cambuk!" kata Paula.
Mark menatap wanita di depannya itu dengan cermat. Mark berpikir, sejak kapan wanita ini bisa bicara panjang lebar seperti ini. Alisa yang dia kenal, bahkan tidak akan bicara lebih dari beberapa patah kata saja. Tapi wanita di depannya ini, bicara sangat panjang, dan terdengar realistis. Ucapnya terdengar begitu masuk akal dan sulit di bantah.
"Aku hanya membalas apa yang dia lakukan padaku! cambuk itu miliknya, dia yang datang ke kamarku. Hanya orang bodohh yang di pukul diam saja" ujarnya lagi.
"Tapi dia terluka parah..."
"Matamu itu masih normal kan?" sela Paula membuat Mark nyaris mengepalkan tangannya.
"Aku bahkan pernah mengalami luka bakar, bengkak dimana-mana, lebam, memar. Aku pernah mengalami semua itu. Apa aku menuntut kalian? hais... kamu ini juga jadi pria menyebalkan sekali ya!"
"Apa maksudmu bicara seperti itu?" protes Mark.
"Ketika aku terluka, dipukul, ditampar, bahkan disetrika, dimana kamu? pernahkah kamu bela aku. Heboh tidak aku di rumah ini saat semua kesakitan itu menimpaku? ini cuma di balas di cambuk sedikit saja, sudah heboh sekali. Kamu itu jadi kepala keluarga bisa adil tidak? kalau tidak bisa, ceraikan saja aku... agkhh!"
Belum juga Paula menyelesaikan ucapannya. Mark kembali menarik pergelangan tangan Paula dan mencengkeramnya dengan kuat.
"Bicara cerai sekali lagi! aku akan pastikan kamu tidak punya tenaga untuk bangun besok!"
Mata Paula melotot. Dia menarik tangannya dengan cepat dan menjauh dari Mark.
'Apa maksudnya pria ini? dan kenapa aku merinding mendengar ucapannya barusan. Hais tidak baja, aku harus minta Joyce bawakan aku alat kejut listrik. Tenaga pria ini bukan lawanku' batin Paula.
"Ya sudah tidak bicara lagi! sana pergi!" kata Paula mengusir Mark dari kamar itu.
Dan tentu saja, apa yang dilakukan oleh Paula itu membuat Mark membuka lebar matanya, nyaris melotot.
"Aku suruh kamu hubungi dokter Amara, kamu malah mengusirku? Alisa, aku bisa..."
"Oke oke, aku akan hubungi dokter Amara. Tapi, jangan masuk ke kamar ini tanpa ijinku. Setuju?" tanya Paula.
"Apa kamar ini milikmu? apa kamu yang membangun dan membeli rumah ini?" tanya Mark dengan dingin.
'Hehh, bahkan perusahaanmu bisa aku beli. Brengsekkk!' batin Paula kesal.
"Kalau setuju aku akan telepon dokter Amara, tidak setuju adikmu mau terkena radang kulit bukan urusanku ya!" balas Paula dengan sedikit gertakan halus.
Mark mendengus kesal.
"Baiklah, aku tidak akan masuk tanpa ijin. Telepon dokter Amara, sekarang!" ujar Mark memberikan ponselnya pada Paula.
***
Bersambung...