Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17 SABOTASE DI YAYASAN
Pagi itu, Amara duduk di ruang rapat kecil yayasan, menyiapkan bahan untuk pertemuan lanjutan. Program kelas desain minggu pertama berjalan lancar, tapi ia tahu pihak-pihak yang ingin melihatnya gagal tidak akan tinggal diam.
Benar saja, kepala logistik membuka rapat dengan wajah tegang. “Bu Amara, ada kendala. Donasi alat tulis dari sponsor utama dibatalkan mendadak. Mereka bilang menerima laporan bahwa kegiatan kita tidak aman bagi anak-anak.”
Amara terkejut. “Laporan dari siapa?”
Kepala logistik menggeleng. “Anonim. Ada foto anak-anak memegang cutter dan lem di blog gosip. Mereka bilang yayasan ceroboh.”
Amara mengepalkan tangan. Ia tahu ini ulah Meylani. Mereka ingin menjatuhkan program lewat jalur donor.
Bagas datang beberapa menit kemudian. Wajahnya dingin, tetapi matanya tajam. “Saya sudah lihat beritanya. Apa penjelasanmu, Amara?”
Amara berdiri. “Foto itu jelas diambil tanpa izin dan dipotong untuk terlihat berbahaya. Faktanya, tidak ada anak yang memegang cutter. Kami pakai gunting tumpul. Guru mendampingi setiap kelompok.”
Ia mengeluarkan dokumentasi lengkap yang disimpannya: foto, video, dan laporan tertulis dari guru. Ia meletakkannya di meja rapat. “Semua bukti ada di sini.”
Bagas menatap dokumen itu, lalu menoleh ke staf. “Kirimkan laporan ini ke sponsor dalam satu jam. Tambahkan testimoni guru. Jangan biarkan fitnah berdiri lebih lama.”
Kepala logistik mengangguk, wajahnya lega.
Siang itu, Amara kembali ke sekolah mitra. Anak-anak menyambutnya dengan ceria, tidak tahu ada badai yang sedang menimpa. Ia menenangkan diri, lalu kembali mengajar. Hari ini mereka membuat kolase bertema “rumah masa depan.”
Seorang anak berkata polos, “Bu, kenapa ada kamera orang dewasa di luar pagar kemarin?”
Amara menelan ludah. Jadi benar, ada yang sengaja memotret secara diam-diam. Ia berjongkok di depan anak itu. “Kalau ada orang asing yang memotret, jangan hiraukan. Tugas kalian hanya belajar dan bersenang-senang.”
Meski suaranya lembut, dalam hatinya Amara semakin yakin: ada tangan licik yang bermain.
Sore, ia kembali ke kantor yayasan. Meylani sudah menunggu di lobby, dengan senyum tipis penuh kemenangan.
“Capek ya, Amara?” tanyanya manis. “Sayang sekali, sponsor besar kita hampir saja pergi. Untung masih ada waktu memperbaiki.”
Amara menatapnya lurus. “Kau kira aku tidak tahu ini ulahmu? Kau boleh atur fitnah, tapi aku punya bukti. Dan setiap kali kau menjatuhkan, aku akan bangkit lebih kuat.”
Meylani mendekat, berbisik dingin. “Kau berani bicara karena kau pikir Bagas akan selalu membelamu. Tapi ingat, dukungan orang bisa habis. Saat itu terjadi, kau sendirian.”
Amara menahan amarahnya, lalu menjawab pelan, “Mungkin. Tapi kebenaran tidak akan pernah habis.”
Malamnya, Bagas masuk ke kamar membawa laporan sponsor yang sudah beres. “Mereka menerima klarifikasi. Donasi tetap berjalan.”
Amara menghela napas lega. “Syukurlah.”
Bagas menatapnya lama. “Aku tahu ini bukan kali terakhir mereka menyerang. Tapi kau menunjukkan kau bisa berdiri sendiri. Terus lakukan itu.”
Amara menunduk, senyum samar muncul di bibirnya. “Aku akan terus melangkah, Bagas. Tidak peduli seberapa sering mereka mencoba menjatuhkan.”
Ia menulis di catatannya malam itu:
“Hari ini aku hampir kalah oleh fitnah. Tapi bukti menyelamatkanku. Selama aku punya kebenaran, aku tidak akan pernah runtuh.”
Setelah menutup buku catatan, Amara berdiri di balkon kamarnya. Lampu kota berkelip di kejauhan, tapi pikirannya masih sibuk. Ia tahu kemenangan hari ini hanya langkah kecil. Musuhnya tidak akan berhenti di sini.
Tak lama, pintu diketuk. Arman masuk membawa map. “Bu, ini laporan IT lengkap. Ternyata perangkat yang dipakai mengirim email palsu kemarin identik dengan milik staf administrasi yang dekat dengan Risa. Kemungkinan, ada arahan dari atas.”
Amara membaca cepat, dadanya terasa sesak. Mereka terus menanam orang di sekitarku.
“Teruskan investigasi, tapi jangan gegabah,” katanya. “Kalau kita menuduh tanpa bukti kuat, mereka bisa balik menyerang.”
Arman mengangguk. “Saya mengerti.”
Keesokan harinya, Amara kembali ke sekolah mitra. Anak-anak sudah menunggu. Namun kali ini, suasana agak berbeda. Di pagar, dua orang tak dikenal berdiri dengan kamera tele, memotret diam-diam. Guru pendamping berbisik, “Bu, mereka sudah di sini sejak pagi.”
Amara menahan amarah. Ia mendekati anak-anak, berusaha membuat suasana tetap normal. “Hari ini kita belajar melipat kertas jadi bangunan sederhana. Ayo buat rumah, gedung, bahkan menara impian kalian.”
Suasana kelas riuh rendah. Anak-anak tertawa, melipat kertas dengan semangat. Amara mengambil foto mereka sendiri, memastikan dokumentasi lengkap. Ia sudah belajar: setiap fitnah hanya bisa dipatahkan dengan bukti.
Di luar, ia melihat Arman berbicara dengan pria-pria berkamera itu. Tak lama mereka pergi, wajah Arman tegang. “Mereka menolak menyebut media apa. Hanya bilang sedang ‘meliput bebas.’”
Amara mengangguk. Taktik baru lagi.
Sore itu, saat pulang ke kantor yayasan, Amara kembali berhadapan dengan Meylani. Wanita itu sudah menunggu di lobby dengan gaun elegan, seolah tahu kapan Amara akan datang.
“Kau pintar juga, Amara,” katanya sambil tersenyum miring. “Bisa membalik keadaan dengan video dan laporan guru. Tapi kau tahu, permainan ini belum selesai.”
Amara menatap lurus, tidak gentar. “Permainan? Hidup anak-anak bukan permainan, Meylani. Aku akan pastikan yayasan ini menjalankan tugasnya, entah kau suka atau tidak.”
Meylani mendekat, berbisik dingin, “Kau bisa main cantik sekarang karena Bagas masih berdiri di sampingmu. Tapi suatu hari nanti, aku akan membuatmu terlihat tidak berguna di matanya.”
Amara menahan napas, lalu menjawab singkat, “Cobalah.”
Malamnya, saat makan malam di ruang keluarga, suasana hening. Hanya suara sendok dan garpu beradu. Selvia menatap Amara dengan tatapan penuh benci, sementara Meylani bersandiwara ramah.
“Aku dengar Amara cukup sibuk di yayasan,” katanya manis. “Semoga tidak terlalu melelahkan. Bagas, kau harus jaga kesehatan istrimu ini.”
Bagas hanya mengangguk singkat. Tapi Amara tahu, kata-kata itu penuh sindiran. Ia tidak membalas. Ia memilih menyimpan tenaga untuk langkah berikutnya.
Di kamar, Bagas masuk membawa laporan sponsor terbaru. “Donor justru terkesan karena transparansi. Mereka ingin menambah dukungan untuk sekolah mitra.”
Amara tertegun. “Serius?”
“Ya. Kadang serangan bisa berbalik jadi kekuatan, kalau kau tahu cara menghadapinya,” jawab Bagas. Ia menatap Amara lebih lama dari biasanya. “Kau sudah menunjukkan kalau kau bukan hanya tahan banting, tapi juga cerdas menghadapi jebakan.”
Amara menunduk, bibirnya melengkung samar. Malam itu, ia kembali menulis di bukunya:
“Hari ini aku hampir dijatuhkan, tapi justru berdiri lebih kokoh. Selama aku punya bukti, aku tidak bisa dikalahkan.”
Malam semakin larut, tapi Amara belum juga bisa tidur. Ia duduk di ranjang dengan lampu meja menyala redup. Laporan-laporan yayasan berserakan di depannya, bersama buku catatan kecil yang selalu ia bawa.
Ia memandangi tulisan terakhirnya, lalu menambahkan satu kalimat lagi:
“Mereka boleh mengatur fitnah, tapi aku akan selalu lebih cepat menyiapkan kebenaran.”
Tangannya berhenti sejenak. Lalu ia menutup buku itu rapat-rapat, menaruhnya di laci. Saat ia merebahkan tubuh, ia tahu esok hari akan datang dengan serangan baru. Namun kali ini, ia tidak lagi merasa gentar.
Di luar, angin malam berhembus, membawa suara pohon bergesekan. Amara menutup mata, membiarkan dirinya beristirahat dengan satu keyakinan sederhana: besok, ia akan lebih siap.