Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.
Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.
Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.
Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.
"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"
Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
No Way Out
Tujuh tahun lalu… Sara pernah berada di pelukan ini, terperangkap, memohon, dan berusaha lepas.
Bedanya, dulu ia masih punya ruang untuk lari.
Kini, tak ada lagi jalan keluar.
Ia sudah terikat secara sah..menjadi istri Nicko.
Bukan karena cinta, tapi karena jebakan yang dirancang bertahun-tahun, perlahan, seiring obsesi gelap pria itu tumbuh sejak malam sialan itu.
Nicko tahu kelemahan Sara.
Prosopagnosia membuatnya sulit mengenali wajah, dan Nicko memanfaatkannya dengan sabar, menyusup kembali ke hidupnya tanpa disadari, hingga Sara tak pernah tahu siapa sebenarnya pria di hadapannya... sampai semuanya terlambat.
Dan sekarang, saat lengannya kembali mengurung tubuh Sara, ia tahu rencana yang ia tanam tujuh tahun lalu akhirnya tiba di ujungnya.
“Turunkan aku.. Nick!”
Nicko tak menggubris, ia berjalan tanpa ragu, gerakannya tenang tapi penuh kendali. Ia membawa Sara masuk ke kamar yang tertutup rapat.
Ia menurunkannya perlahan ke atas ranjang, gerakannya terukur, bukan untuk menghibur, tapi untuk menunjukkan bahwa kendali ada di tangannya.
Nicko berdiri di sisi ranjang, menatap Sara tanpa bicara. Tatapan itu tajam dan tidak memberi ruang untuk melawan.
Sara mulai gemetar. Ia bergeser ke ujung ranjang, menjauh sejauh mungkin, tapi ruang itu terlalu sempit.
Ada sesuatu yang sangat salah. Nada suara pria itu, cara dia bergerak, bahkan bagaimana udara di ruangan terasa berbeda, semuanya memicu alarm di kepalanya.
Tubuhnya seperti mengingat sesuatu yang pikirannya tak bisa tangkap. Dingin menjalar di telapak tangan.
Ia memang tak bisa mengenali wajah orang dengan mudah karena prosopagnosia, tapi rasa takut yang pernah tertanam tujuh tahun lalu kini muncul lagi tanpa peringatan.
Dan di detik itu, ia tahu… pria di depannya adalah orang yang sama.
Nicko atau Nathaniel menatapnya tanpa ekspresi. Tapi justru dari diam itulah bahaya memancar.
Bukan seperti monster yang mengamuk, tapi pemangsa yang sudah menang.
Yang tak perlu bergerak cepat, karena ia tahu mangsanya tak punya tempat untuk lari.
Di mata Nicko, Sara bukan sekadar masa lalu.
Ia adalah sesuatu yang pernah lolos... dan kini, tak akan ia lepaskan lagi.
“Mulai sekarang, tak ada lagi penolakan, Sara.”
Suara Nicko terdengar tenang, nyaris lembut, tapi justru dari kelembutan itulah tekanannya terasa mengerikan. “Kita sudah menikah. Kau tidak akan keluar dari sini. Hidupmu sekarang… milikku. Sepenuhnya.”
Sara hanya menatapnya. Tubuhnya kaku, napasnya terasa berat dan terhenti di tenggorokan. Ia ingin menolak, ingin memprotes pernikahan ini, kendali yang diambil darinya, dan ketakutan yang terus menghantuinya. Tapi kata-kata itu tidak keluar. Pikirannya seperti terkunci, tidak tahu harus mulai dari mana.
Nicko berdiri di depannya, seperti penghalang yang tidak bisa ia lewati.
Dan ia tidak tahu bagaimana caranya keluar dari situasi ini.
Nicko melirik jam tangannya sejenak, seolah ada sesuatu di luar sana yang mengharuskannya pergi, entah kewajiban, atau sekadar naluri samar untuk menahan dirinya dari tinggal lebih lama.
Tapi ia belum beranjak.
Sebaliknya, ia kembali menatap Sara.
Tatapan itu berubah.
Lebih lembut, lebih pelan... namun bukan kelembutan yang menawarkan kenyamanan.
Bukan jenis kelembutan yang membebaskan.
Ini kelembutan yang dingin, yang membungkus ketertundukan dalam lapisan kasih yang semu.
Kelembutan yang hanya muncul dari seseorang yang tahu, bahwa ia telah menang tanpa harus bertarung lagi.
Aku beri kau ruang," ucapnya perlahan, nyaris seperti bisikan yang jatuh di antara keheningan.
"Kau bisa beristirahat di sini. Tidak ada yang mengganggumu… selama kau tidak mencoba pergi."
Lalu, jeda.
Tatapannya menurun pada tubuh Sara yang gemetar tipis, dan dari sana, suaranya kembali terdengar.
Lebih rendah. Lebih pasti.
“Tapi satu hal, Sara…”
Napasnya mengalir seperti ancaman yang dibungkus sutra.
“Mulai sekarang, semua yang kau lakukan, semua yang kau miliki…ada di bawah kendaliku.”
Kata itu lagi. Milik.
Sara menahan napas, merasakan tekanan itu mengunci seperti rantai tak kasat mata
di sekelilingnya.
Nicko menunduk perlahan. Bibirnya nyaris menyentuh kening Sara. Bukan untuk mencium, tapi untuk menandai. Seolah mengukuhkan sesuatu yang telah ia klaim sebagai miliknya.
Tapi Sara langsung memalingkan wajah. Tubuhnya bergeser menjauh, seolah sentuhan udara pun terasa seperti ancaman.
Nicko tak memaksa. Ia hanya berdiri di sana, menatap Sara dengan sorot yang sulit dibaca, campuran antara luka lama, keinginan yang tak pernah padam, dan obsesi yang semakin mengeras karena terlalu lama dipendam.
Tangannya sempat terangkat, seolah ingin menyentuh wajah Sara… tapi berhenti di udara. Rahangnya mengeras.
“Aku akan kembali,” ucapnya singkat, nada suaranya datar tapi menyimpan sesuatu yang tak terucap.
Senyum tipis muncul di wajahnya. Bukan senyum kemenangan, melainkan ekspresi seseorang yang sudah terlalu lama menahan diri… dan mulai kehilangan kesabaran.
Ia akhirnya berbalik. Langkahnya tenang, terukur, meninggalkan ruangan.
Namun, meski pintu telah tertutup, keberadaannya masih terasa. Membekas seperti bau asap yang menempel di udara, mengisi setiap tarikan napas Sara dengan rasa takut yang tak kunjung reda.
...----------------...
Tok… tok… tok.
Suara ketukan pelan terdengar dari pintu.
Sara tidak menjawab. Pandangannya kosong, tubuhnya kaku. Sisa tangis sejak pagi masih terasa di matanya yang perih.
Bip. Ceklek.
Pintu terbuka dengan bunyi sistem kunci digital. Seorang wanita paruh baya berseragam krem masuk pelan, membawa nampan berisi makan siang dan segelas air hangat.
“Permisi, Nona Sara. Saya bawakan makan siang,” ucapnya sambil meletakkan nampan di meja kecil di samping ranjang.
Sara hanya melirik sebentar, lalu kembali menatap jendela. Di luar langit cerah, tapi pikirannya berat.
“Silakan dimakan, Nona. Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu, yang belakangan Sara tahu bernama Sofia.
Sara menggeleng pelan. Suaranya serak ketika menjawab, “Tidak. Terima kasih.”
Sofia memperhatikannya sejenak. Wajah pucat, bahu sedikit gemetar, tatapan kosong.
“Kalau nanti ingin keluar sebentar, ke lounge atau ruang privat, saya bisa menemani,” katanya hati-hati. “Ada pengawasan, tapi udara segar mungkin bisa membantu.”
Sara tidak langsung menjawab. Senyum tipis terbit di bibirnya, lebih mirip reaksi tanpa tenaga daripada benar-benar tersenyum.
“Nanti saja. Aku mau mandi dulu.”
“Baik, Nona. Saya menunggu di luar,” Sofia mengangguk dan keluar menutup pintu.
Keheningan kembali.
Sara duduk diam beberapa detik, lalu bangkit perlahan. Tubuhnya terasa lemas. Tangannya menyentuh bagian dada, napasnya semakin pendek.
Bisikan keluar dari mulutnya, nyaris tanpa suara. “Dia Nathaniel… dia Nathaniel…”
Kepalanya berdenyut hebat. Kakinya goyah. Ia berpegangan pada meja, mencoba melangkah ke kamar mandi. Baru satu langkah, pandangannya mulai berkunang-kunang.
Keringat dingin membasahi pelipis. Napasnya tersengal, lalu tubuhnya limbung dan jatuh ke lantai.
***
Beberapa menit kemudian…
Sofia berdiri gelisah di depan pintu kamar. Sudah hampir lima belas menit berlalu sejak ia keluar. Tak ada suara. Tak ada gerakan.
“Nona Sara?” panggilnya sambil mengetuk pelan.
Tak ada jawaban.
“Nona?” Ketukannya kali ini lebih keras.
Tetap hening.
Sofia membuka pintu perlahan. Tak terkunci.
Begitu masuk, napasnya tercekat.
Sara tergeletak di lantai, tubuhnya tak bergerak.
Wajahnya pucat. Bibirnya nyaris tak berwarna. Napasnya sangat pelan.
Sofia mendekat cepat dan berlutut.
“Ya Tuhan… Nona Sara?” Suaranya gemetar. Ia menyentuh pipi Sara, dingin.
Tanpa pikir panjang, Sofia berlari keluar. Menekan tombol darurat. Dalam waktu singkat, koridor yang sebelumnya tenang berubah jadi lintasan langkah-langkah cepat.
Tim medis internal bergerak cepat. Perintah dilontarkan dalam suara tenang tapi tegas. Alat dipasang. Data dicek.
Sofia berdiri di sudut lorong. Tak bersuara. Tangannya saling menggenggam erat. Matanya tetap tertuju pada pintu kamar yang setengah terbuka.
Tapi tidak ada yang tahu pasti...
Karena luka paling dalam...
seringkali tak terlihat,
dan tak bisa disembuhkan hanya dengan penjagaan.
es batu ...
lama" juga mencair...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
thor