Entah kesalahan apa yang Malea lakukan, sehingga dia harus menerima konsekuensi dari ibunya. Sebuah pernikahan paksa, jodoh yang sang ayah wariskan, justru membawanya masuk dalam takdir yang belum pernah ia bayangkan.
Dia, di paksa menikah dengan seorang pengemis terminal. Tapi tak di sangka, suatu malam Malea mendapati sebuah fakta bahwa suaminya ternyata??
Tak sampai di situ, dalam pernikahannya, Malea harus menghadapi sekelumit permasalahan yang benar-benar menguras kesabaran serta emosionalnya.
Akankah dia bisa bertahan atau memilih berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draft
Entah apa yang memicunya, tapi aku merasa sesi sarapan pagi ini terasa begitu canggung. Aku melihat gestur tak tenang dari Belinda dan aku tak tahu apa yang membuatnya gugup seperti itu. Padahal sebelum Arga datang, dia terlihat sangat ceria, sangat santai, namun ketika Arga ada di sini, ekspresinya benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat, ia lebih banyak diam dan hanya tersenyum kaku saat aku mencoba mengajaknya bicara.
Ada apa dengannya?
Pertanyaan yang hanya bisa aku ucapkan dalam hati.
Mendesah lirih, ngomong-ngomong aku sendiri juga gugup, tak terlalu fokus dengan sarapanku, merasa minder sendiri karena suamiku tak sehebat calon suami Belinda.
Namun ada hal yang membuatku semakin tidak bisa fokus sekaligus heran. Perhatian serta konsentrasi ku sedari tadi tak lepas dari Arga yang amat fasih dan juga lihai dalam berdialog menggunakan bahasa inggris saat bercakap-cakap dengan Wilson.
Ternyata ada sisi lain dari Arga yang belum banyak aku ketahui. Ku pikir dia akan membuatku malu karena dia orang kampung dengan status sosial di kelas paling bawah, tapi tidak. Dia justru terlihat berwibawa, tak seperti seorang kuli panggul di pasar, apalagi pengemis. Sangat jauh dari kesan itu, penampilannya juga berbanding terbalik dengan saat dia menikahiku beberapa bulan lalu. Ku kira cupu, nyatanya ahlinya suhu, aku bahkan kalah telak darinya.
Kamu harus menjelaskan semua ini, Ga!
Aku membatin, memasukkan suapan terakhir ke mulutku.
Sampai kurang lebih tiga puluh menit, Belinda bersuara.
"Malea, sorry! Aku harus pergi, MUA baru saja mengirim pesan untuk segera bersiap-siap"
"Okay!" Balasku dengan perasaan heran.
"Enjoy your day, dan nikmati hari-harimu selagi di sini"
"Makasih, Bel. Kamu juga, bahagia selalu" Aku tersenyum tulus, beda dengan Belinda di mana senyumannya terkesan terpaksa.
Tak berapa lama setelah Belinda beranjak dari meja makan kami, Wilson menyusul kepergian Belinda karena sebelumnya Belinda memang memberi kode pada calon sang calon suami untuk segera menyusul.
Kini tinggalah aku dan Arga.
Aku duduk dengan jantung berdebar, rasanya gugup sekali berada dalam situasi ini, padahal sebelumnya aku merasa biasa saja jika berdekatan dengan Arga.
Ini sungguh membuat jantungku tidak baik-baik saja.
"Kamu masih ingin di sini?" Tiba-tiba ku dengar suara Arga.
"Tidak" Jawabku singkat.
"Acara temanmu masih nanti sore, kan?"
"Iya"
Jika sebelumnya aku tenang saat bicara dengan Arga, tapi kali ini seakan kondisi itu berlawanan. Kini ganti aku yang merasa gugup, takut, ataupun canggung, sementara Arga justru terlihat sangat santai.
"Sepertinya di luar ada taman, kita bisa jalan-jalan dan melihat-lihat area sini dulu kalau kamu mau. Dari pada di kamar, kamu pasti akan bosan hanya berdua saja denganku"
"Kenapa berfikir seperti itu?" Kataku pelan.
"Kamu tidak suka jika berdua saja di kamar, jadi kita bisa menghabiskan waktu dengan berkeliling di sekitar hotel sambil menunggu acara temanmu"
"Tapi bukan karena aku tidak suka atau bosan" Pungkasku berusahan menampik kalimat pria di sampingku. "Tidak ada yang kita lakukan di dalam kamar, jadi sepertinya idemu bagus. Kita bisa menghirup udara segar di sini"
"Baik, ayo kita turun" Ajak Arga.
Aku mengangguk.
Kami lantas bangkit dari duduk, lalu berjalan ke arah lift.
Dengan pikiranku yang masih kalut memikirkan perubahan sikap Belinda.
****
Acara akad berjalan lancar, tapi alih-alih aku melihat binar bahagia di wajah pengantin wanita, aku malah melihat kesan sedih dalam diri Belinda.
Akan tetapi sisi batinku yang lain segera mengatakan bahwa mungkin Belinda terharu karena detik itu dia sudah tidak lagi lajang. Ada tanggung jawab besar yang ia pikul sebagai seorang istri, ada kewajiban yang harus ia penuhi pula.
Hingga malam tiba, pesta meriah kembali di adakan di sebuah ball room hotel.
Pesta ala-ala luar negri yang di penuhi dengan musik disko, wine, dan juga gemerlapnya lampu-lampu mewah berkelip.
Semua yang ada di sini tampak menikmati pesta, namun tidak denganku, pasalnya aku justru bingung karena tak mendapati Belinda ada di samping Wilson.
Padahal beberapa saat lalu, aku melihat dia dan suaminya tengah tersenyum menyambut tamu, dan sekarang aku hanya melihat Wilson tanpa di dampingi Belinda.
"Kemana Belinda?" lirihku sembari melempar pandangan ke seluruh arah. Mencari sosok di mana Belinda berada.
Sedangkan Arga yang berpamitan sekitar lima menit lalu untuk ke toilet, belum juga kembali.
Melangkahkan kaki, aku berjalan menuju toilet, namun alangkah terkejutnya aku, malah memergoki Belinda dan Arga tengah mengobrol.
Mengerutkan kening, dengan perlahan aku melangkah mendekat.
Kakiku reflek terhenti saat mendengar sebuah kalimat yang keluar dari mulut Belinda.
"Aku nggak nyangka, ternyata pria yang kami bicarakan saat aku ke Surabaya adalah pria yang sama, yaitu kamu, Ga"
Jujur aku tak paham maksud ucapan Belinda itu.
masih pengen di peyuk2 kan sama Arga
hormon bumil tuh Dede utunya masih pengen di manja2 sama ayah nya,,
kebat kebit ga tuh hati kmau
Ayo thor lanjut lagi yg byk ya...penanasaran bgt kelanjutannya...
kenapa ga jujur aja seh.
tapi Lea takut ngomongnya,takut ga di akui sama mas arga
ayo Lea jujur aja aaah bikin gemes deeh