NovelToon NovelToon
Red Thread

Red Thread

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Trauma masa lalu / Office Romance / Ibu susu
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: About Gemini Story

Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.

Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Althea's Birthday

Malam itu di villa megah milik keluarga Moonstone yang terletak di puncak, udara terasa sangat sejuk, menusuk kulit namun justru menambah kesan hangat karena mereka semua berkumpul. Di ruang keluarga yang luas dengan perapian marmer elegan. Villa bergaya Eropa klasik itu dihiasi lampu taman yang temaram, menambah kesan tenang dan intim. Angin sejuk puncak membawa aroma pinus yang menenangkan.

Di ruang keluarga villa, Al, Thea, baby Cio, serta sahabat-sahabat mereka — Rose, Regan, Charlene, Cristo, Elenora, Elvan, Jovi, Stella, dan Enne — tengah duduk melingkar di sofa besar, menghabiskan malam dengan obrolan santai. Tawa pecah di sana-sini saat mereka mengenang masa-masa dulu, awal usia 20-an mereka, yang dipenuhi cerita cinta, kuliah, kerja pertama, hingga keisengan-keisengan konyol yang kini terasa begitu indah untuk dikenang.

Gelas-gelas berisi cokelat hangat dan wine sesekali bersentuhan, melengkapi suasana akrab itu. Baby monitor diletakkan di meja, memancarkan lampu hijau tenang tanda para bayi — termasuk Abercio — sudah lelap di kamar. Sesekali suara tangisan bayi terdengar lirih, namun cepat sunyi lagi.

Baby monitor diletakkan dekat Thea dan Elenora, memperlihatkan para bayi — termasuk Abercio — sudah terlelap di kamar masing-masing.

Malam itu tawa mereka pecah, suara ceria sahabat-sahabat yang dulu menghabiskan masa awal 20-an bersama.

Rose, dengan pipi memerah akibat wine, mulai membuka cerita

“Kalian ingat nggak waktu kita liburan ke Bali? Yang villa keluarga Al di Ubud? Astaga, kita semua sok anak pantai padahal begitu kena panas, gosong semua!” kata Rose sambil terkekeh keras.

Regan menimpali sambil memutar gelasnya, “Dan siapa coba yang ngotot main banana boat padahal belum makan? Al! Lo mabok air sampe minta tolong mas-mas boat-nya buat berhenti!”

Semua meledak tertawa. Bahkan Al sampai mengusap wajahnya malu, “Gila kalian, itu udah berapa tahun lalu masih aja diungkit.”

Charlene tertawa sampai memukul-mukul lutut.

“Yang paling epic tuh pas malam BBQ di tepi kolam, Thea mabok gara-gara dicekokin cocktail sama Rose sama gue! Sampe lo nangis-nangis bilang ‘aku nggak mau pulang ke Jakarta’,” ungkap Charlene sambil menirukan gaya bicara Thea dulu.

Thea langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan, pipinya merah menahan malu campur geli. “Oh my God please Charlene, stop… kalian jahat banget waktu itu.”

Cristo, yang biasanya pendiam, kali ini ikut menimpali, “Tapi itu titik balik kan? Setelah itu Thea malah makin dekat sama Al. Ingat banget gue kalian duduk di gazebo malam itu, diem-dieman tapi tangannya udah saling genggam.”

Semua menatap ke arah Al dan Thea bersamaan, lalu tertawa meledek. Al hanya tersenyum sambil merangkul bahu Thea, menariknya makin dekat.

Elvan melipat kakinya dan mencondongkan badan.

“Dulu kita selalu berpikir usia 20-an tuh paling indah, bebas kemana aja, pacaran sama siapa aja, nggak mikirin cicilan, nggak mikirin kerjaan kantor yang sampai bikin sakit lambung,” katanya, lalu menghela napas panjang.

Elenora mengangguk setuju. “Tapi ternyata umur segitu juga capek ya. Kita semua sibuk membuktikan sesuatu ke dunia. Thea jungkir balik dengan desain perhiasannya, Al dengan bisnisnya yang dari dulu udah dibebani image putra pertama Moonstone, kita semua berlomba kelihatan paling sukses.”

Tiba-tiba suasana sedikit sunyi, bukan sedih, tapi lebih dalam. Thea menatap teman-temannya satu per satu, merasa begitu disyukuri. Mereka tumbuh dewasa bersama, melalui patah hati, tawa, sakit, ambisi, sampai akhirnya kini sama-sama duduk di sini.

“Dulu kita sibuk kejar mimpi masing-masing, sekarang malah sibuk ngejar baby keliling rumah,” kata Thea, menertawakan diri sendiri.

Rose langsung tertawa keras. “Ya ampun iya banget! Dulu ngurus gala dinner, sekarang ngurus MPASI!”

Semua kembali tertawa, suasana ringan lagi.

Lalu Al mengambil gelasnya, menatap lingkaran sahabatnya satu persatu.

“Kalian tau nggak, gue bersyukur banget masih bisa duduk bareng kalian di umur segini, dengan semua keluarga kecil kita, dengan semua pencapaian dan luka yang udah kita lewatin. Kita mungkin nggak sama lagi kayak umur awal 20, tapi kita jauh lebih dewasa sekarang.”

Thea menatap Al, merasa hangat. Ia sadar Al sedang berkata itu juga untuknya — bahwa semua proses panjang mereka tidak sia-sia, dan kini mereka bisa merasakan kebahagiaan yang nyata meski jalannya tak pernah mudah.

Charlene menengadahkan gelasnya, “Untuk kita yang dulu, sekarang, dan nanti!”

Semua serempak mengangkat gelas, “Untuk kita!” lalu meneguk minuman masing-masing.

Dan tawa pun kembali memenuhi ruangan, menepis semua dingin malam di puncak. Mereka terus berbagi cerita kecil, membahas masa lalu dengan tawa, lalu memimpikan masa depan anak-anak mereka yang semoga kelak juga bisa bertumbuh bersama seperti mereka dulu.

Malam terus berjalan, lilin makin pendek, namun di sana, di tengah villa keluarga Moonstone yang dikelilingi pepohonan rindang, enam sahabat ini duduk mengukir memori baru. Bukti bahwa cinta dan persahabatan mereka tak lekang meski waktu terus berjalan.

Hingga waktu menunjukkan pukul 23.50.

Tiba-tiba — BRUK!— suara seperti listrik padam terdengar, lalu gelap total meliputi villa. Semua spontan terdiam.

“Astaga! Kenapa tiba-tiba mati lampu?” ujar Charlene kaget.

“Tenang, tenang… mungkin MCB-nya jatuh,” sahut Regan mencoba menenangkan.

Namun Thea justru semakin gelisah. Ia menoleh ke sekitar tapi tak menemukan sahabat-sahabatnya, hanya gelap dan suara hening yang terasa aneh. “Al? Rose? Regan? Dimana kalian?” panggilnya agak panik.

Tak ada jawaban.

Karena rasa penasarannya lebih besar dari rasa takutnya, Thea akhirnya memutuskan keluar, menyusuri lorong gelap, hingga ke taman belakang untuk memastikan apakah meteran listriknya bermasalah.

Namun saat ia melangkah melewati koridor kaca menuju taman, langkahnya terhenti.

Suara lembut piano terdengar samar.

Tak lama kemudian, alunan lagu "Happy Birthday to You” mengalun pelan, diiringi suara sahabat-sahabatnya yang ikut bernyanyi dari kejauhan.

Thea berdiri terpaku, matanya mulai berkaca-kaca. Di tengah taman belakang villa yang kini diterangi lampu taman kecil dan lampu-lampu gantung portable yang entah sejak kapan sudah menyala, berdiri Aleron.

Aleron tersenyum padanya, memegang baby Cio dalam gendongannya. Tangan kanan Aleron membawa sebuah kue tart cokelat bertabur stroberi, lilinnya menyala lembut menari-nari ditiup angin malam.

Abercio, yang meski baru beberapa bulan tapi tampak mengerti suasana, ikut tersenyum menatap Thea sambil memeluk dada Al erat.

Thea menutup mulutnya, terharu. Dadanya hangat sekaligus sesak karena rasa syukur dan bahagia yang menumpuk. Ia melangkah perlahan mendekati dua lelaki kecil-besar yang begitu ia cintai. Sesampainya di depan mereka, air matanya menetes pelan.

“Happy birthday, love…” bisik Aleron dengan suara dalam dan lembut, menatap Thea penuh arti.

Lalu Al mencondongkan wajahnya sedikit ke baby Cio, pura-pura menirukan suara anak kecil sambil menggerakkan bibir Abercio yang masih lugu.

“Happy birthday, my lovely mommy…” katanya gemas.

Thea terkekeh disela tangis harunya. Matanya semakin berkaca-kaca. Ia menatap Aleron dan Cio bergantian dengan senyum tipis yang menggetarkan hatinya sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara riuh. Dari balik semak-semak taman dan dari teras villa, bermunculan sahabat-sahabat mereka sambil membawa kembang api kecil yang langsung dinyalakan. Cahaya berkilat warna-warni menghiasi taman, membuat suasana kian meriah.

“SUPRISEEEE!! Happy birthday, Theaaa!!” teriak Rose paling kencang disusul Elenora yang melambai-lambaikan sparklers.

“Terima kasih… kalian luar biasa,” ucap Thea dengan suara serak menahan tangis bahagia.

Al mengangguk, kemudian berkata lembut, “Ayo sayang, berdoa dulu. Make a wish…”

Setelah Thea memejamkan mata dan berdoa, ia mengembuskan napas pelan, lalu meniup lilin di atas kue ulang tahunnya. Tepuk tangan dan sorak sorai pelan terdengar dari sahabat-sahabat mereka yang ikut hadir malam itu, bersama gemerlap lampu taman villa yang hangat.

Thea membuka mata, tersenyum malu-malu, matanya sedikit berkaca-kaca. Al yang berdiri tepat di depannya menatapnya dalam, begitu dalam, dengan tatapan yang membuat jantung Thea berdegup tak karuan.

Lalu tanpa diduga, Al perlahan merogoh saku jasnya, mengambil sebuah kotak kecil beludru berwarna hitam. Thea menatapnya kaget, sementara sahabat-sahabat mereka langsung menahan napas, menunggu. Beberapa bahkan sudah saling berbisik bersemangat.

Al berlutut di hadapan Thea. Wajahnya serius, penuh rasa sayang, dan sedikit gugup. Sementara itu Baby Cio di pangkuan salah satu sahabat mereka, tertawa kecil seolah mengerti bahwa ini adalah momen penting.

“Thea...” ucap Al pelan tapi pasti, suaranya serak menahan emosi. Ia membuka kotak itu, menampakkan cincin berlian indah yang berkilau tertangkap cahaya taman.

“Kamu sudah berjalan sejauh ini, bertahan sekuat ini... Kamu membuktikan kalau kamu bisa terbang dengan sayapmu sendiri meski banyak yang mematahkanmu dulu. Sekarang... biarkan aku yang menjagamu, menutup setiap lukamu, menguatkanmu saat kau rapuh, menjadi rumahmu, bersama dengan Abercio, selamanya...”

Tangannya sedikit gemetar menahan gugup. “Will you marry me, Thea?”

Semua mata tertuju pada Thea. Sahabat-sahabat mereka menahan napas, beberapa tersenyum penuh harap, sebagian sudah berkaca-kaca.

Namun Thea hanya menatap Al lama sekali. Ada perang hebat di dalam hatinya — antara luka lama, trauma, rasa takut kehilangan lagi, dan cinta besar yang juga tak terbantah untuk Al dan Baby Cio.

Suasana tiba-tiba menegang, terasa sunyi. Hanya terdengar desir angin malam.

Sampai akhirnya Thea mengatupkan bibirnya, air matanya jatuh satu persatu.

“Maaf...” ucap Thea sangat pelan, nyaris tak terdengar. Tapi cukup untuk membuat semua orang diam.

Al menatap Thea lama. Namun alih-alih kecewa, ia hanya menarik napas dalam, bangkit berdiri, lalu langsung meraih tubuh Thea ke dalam pelukannya. Tangannya mengusap belakang kepala Thea, menahan perempuan itu agar tetap tenggelam di dadanya.

“It’s okay... you don’t have to answer me now,” bisik Al lembut di telinga Thea. “Aku akan selalu nunggu kamu, berapa lama pun itu. Sampai kamu benar-benar siap.”

Thea terisak pelan di dada Al, tangannya balas memeluk pinggang Al, seolah takut jika lelaki itu pergi. Di sudut sana, beberapa sahabat mereka menahan haru, menepuk pelan bahu masing-masing memberi dukungan.

Setelah beberapa lama dalam diam, menenangkan diri masing-masing, mereka akhirnya perlahan berusaha mencairkan suasana lagi. Sahabat-sahabat mereka mulai menggoda kecil, Cio tertawa ceria saat diangkat tinggi-tinggi oleh salah satu om-nya, dan Thea pun akhirnya bisa mengukir senyum tipis, meski matanya masih sembab.

Malam itu, meski jawaban yang ditunggu belum datang, Al tahu satu hal pasti — ia akan terus menunggu Thea, seberapa panjang jalan yang harus mereka tempuh. Karena bagi Al, rumahnya ada di pelukan Thea dan Cio, kapan pun itu.

Al tersenyum, lalu mengecup kening Thea lama. “Aku sayang kamu.”

Mereka semua lalu berkerumun di sekitar Thea, memberikan pelukan, ucapan selamat, dan canda tawa. Dalam kebersamaan yang tulus itu, Thea merasa hatinya utuh. Seolah semua luka lama sedikit demi sedikit menutup karena cinta yang saat ini dia dapatkan.

Dan malam itu berlanjut dengan obrolan hangat, canda, dan gelak tawa — di bawah langit puncak yang bersih, bertabur bintang, seolah turut mengaminkan kebahagiaan Thea yang akhirnya menemukan rumahnya, di sisi Al, Cio, dan sahabat-sahabatnya.

Mereka pun duduk di bangku taman yang sudah dihias dengan bantal-bantal dan throw blanket. Malam semakin larut tapi tawa mereka memenuhi taman villa itu. Al duduk merangkul Thea dari samping, sementara Cio tertidur lagi di pangkuannya.

Thea menatap satu persatu wajah sahabatnya — orang-orang yang menemaninya jatuh bangun. Ia menatap Al, lalu membisik pelan di telinganya.

“Terima kasih, Al… untuk semuanya. Ini ulang tahun paling bermakna buatku.”

Al membalas dengan menggenggam tangannya erat. “Aku janji setiap tahun ulang tahunmu akan selalu begini, Thea… bahkan lebih.”

Mereka pun duduk di bangku taman yang sudah dihias dengan bantal-bantal dan throw blanket. Malam semakin larut tapi tawa mereka memenuhi taman villa itu. Al duduk merangkul Thea dari samping, sementara Cio tertidur lagi di pangkuannya.

Thea menatap satu persatu wajah sahabatnya — orang-orang yang menemaninya jatuh bangun. Ia menatap Al, lalu membisik pelan di telinganya.

“Terima kasih, Al… untuk semuanya. Ini ulang tahun paling bermakna buatku.”

Al membalas dengan menggenggam tangannya erat. “Aku janji setiap tahun ulang tahunmu akan selalu begini, Thea… bahkan lebih.”

Dan malam itu, di bawah langit puncak yang berbintang, Thea merasa benar-benar dicintai — tanpa syarat, tanpa penuntutan, tanpa harus sempurna. Hanya dicintai karena dia adalah Althea.

Setelah momen penuh kehangatan dan tawa di taman belakang villa, udara Puncak yang mulai mendingin membuat mereka perlahan kembali ke dalam. Thea masih menggenggam tangan Al, seolah belum ingin melepaskan kehangatan kejutan tadi.

“Masuk yuk, udaranya makin dingin,” ucap Al pelan, menatap wajah Thea yang masih merah karena tangis bahagia.

Cio kini tertidur kembali di pelukannya, wajah kecilnya bersandar di dada Al, napasnya tenang.

Rose menggoda pelan, “Udah nggak bisa ngelak lagi, The. Kado ulang tahun lo tahun ini manusia dua biji, yang satu kecil lucu, yang satu gede romantis.”

Semua tertawa. Thea hanya menggeleng sambil tersenyum malu.

“Udah ah, malu tahu...” bisiknya pelan.

Mereka masuk ke ruang tengah villa. Lilin-lilin aromaterapi telah dinyalakan lagi, membuat aroma kayu manis dan lavender memenuhi udara. Thea duduk di sofa besar dengan selimut di pangkuannya, masih memeluk hadiah dari Charlene — scrapbook kenangan mereka sejak awal kuliah.

Al kembali dari dapur dengan dua gelas kecil teh chamomile. Ia menyerahkannya pada Thea, lalu duduk di sebelahnya sambil merangkul pelan.

“Minum ini dulu biar tenang ya,” ucap Al, menyelipkan rambut Thea yang mengganggu wajahnya.

Thea meminum pelan. Tangannya masih sedikit bergetar. Ia mencoba menahan air mata, namun tak mampu.

Setetes jatuh di pipinya. Al langsung menarik tubuh Thea ke pelukannya, mengusap punggungnya lembut.

“Kenapa nangis lagi, hmm?” bisik Al sambil membenamkan dagunya di atas kepala Thea.

“Aku… nggak tahu kenapa aku merasa sangat dicintai malam ini, Al. Padahal aku nggak pernah merasa pantas…” suara Thea pecah.

Al menarik tubuh Thea agar bisa menatap wajahnya. “Dengar aku baik-baik, Thea. Kamu pantas. Kamu layak dicintai, dihargai, dirayakan. Kamu bukan siapa-siapa yang minta dipuja. Kamu adalah seseorang yang tumbuh dari reruntuhan dan jadi kuat sendiri. Tapi mulai sekarang kamu nggak perlu sendiri lagi.”

Thea hanya mengangguk, pelan.

Setelah itu, Al berdiri, menggendong Cio dengan satu tangan, lalu menggenggam tangan Thea.

“Yuk, kita naik. Baby kita juga udah tidur lelap. Saatnya mommy istirahat.”

Mereka melangkah naik ke lantai dua, menuju kamar utama villa. Di dalam kamar, suasana hangat menyambut — cahaya lampu tidur yang lembut, udara pegunungan yang menenangkan, dan suara angin dari sela kaca jendela.

Al membaringkan Cio di crib portable yang sudah mereka siapkan. Ia mencium dahi putranya pelan sebelum menoleh pada Thea.

“Sekarang giliran kamu,” ucapnya. Ia menarik Thea ke pelukannya lagi, kali ini tanpa berkata apa-apa.

Thea bersandar pada dada Al, mendengar detak jantung yang selama ini menjadi tempat pulangnya.

“Al…” ucap Thea pelan.

“Hm?”

“Terima kasih sudah membuat ulang tahunku begitu berarti. Ini pertama kalinya… aku nggak merasa sendirian.”

Al mengecup keningnya. “Kamu nggak akan pernah sendirian lagi, Thea. Selama aku masih hidup, aku akan terus berada di sisimu.”

Pelukan itu pun menjadi akhir dari hari ulang tahun yang mungkin tak akan pernah bisa Thea lupakan. Bukan karena pesta mewah atau kejutan besar, tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merayakan dirinya sendiri… bersama orang-orang yang mencintainya tanpa syarat.

Dan malam itu, dengan Cio yang tidur tenang di crib, serta Al yang memeluknya erat… Thea tertidur dengan hati yang utuh untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama.

1
Stella
Bagus banget, jadi mau baca ulang dari awal lagi🙂
About Gemini Story: wahhh terimakasih kak 🤗 sehat selalu ya kak🤗
total 1 replies
Jena
Ga nyesel banget deh kalo habisin waktu buat habisin baca cerita ini. Best decision ever!
About Gemini Story: wahh terimakasih kak 🤗 aku seneng ada yang suka sama cerita aku hehe ☺️ sehat dan bahagia selalu ya kak 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!