Meninggal dalam kekecewaan, keputusasaan dan penyesalan yang mendalam, ternyata membawa Cassie Night menjalani takdir kehidupannya yang kedua.
Tidak hanya pergi bersama kedua anaknya untuk meninggalkan suami yang tidak setia, Cassie juga bertekad membuat sahabatnya tidak bersinar lagi.
Dalam pelariannya, Cassie bertemu dengan seorang pria yang dikelilingi roh jahat dan aura dingin di sekujur tubuhnya.
Namun, yang tak terduga adalah pria itu sangat terobesesi padanya hingga dia dan kedua anaknya begitu dimanjakan ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsme AnH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Tidak Akan Mengkhianatimu
Felix memasuki rumah dengan wajah kusut, bahkan lebam dan luka pemberian Adam Night sedikit pun tidak menyentuh obat.
Nyonya Besar Murphy sudah membujuknya untuk mengobati luka-lukanya, tetapi Felix tidak bersedia dan memilih kembali ke rumah.
Penampilannya sangat berantakan dan kacau dengan kemeja putih yang kotor, sementara di lengannya menenteng sebuah jas hitam.
Dia tidak lagi seperti Felix yang dikenal dunia, berkharisma, gagah dan tampan.
Felix mencampakkan jas di lengannya ke samping, membuat setelan malang itu tergeletak di lantai yang dingin.
Dia terpaku di tempat dengan tatapan kosong, ingatannya seketika melayang pada hari-hari di mana Cassie masih bersamanya.
"Suamiku, kamu pulang."
Cassie akan menyambut kepulangan Felix dengan senyum hangat, meraih jas di tangannya dan mengambilkan sendal rumah untuknya.
Tidak hanya itu, Cassie juga akan menyuguhkan minuman dingin dengan senyum terbaiknya dan menanyakan bagaimana harinya dilalui, atau apakah ada masalah di perusahaan.
Jika ada, Cassie juga akan menawarkan diri untuk mengatasi masalahnya.
Sekarang, hanya kekosongan dan kesunyian yang menyambut kepulangan Felix.
Padahal Felix sempat berpikir, dia masih bisa merasakan sosok Cassie ketika berada di rumah dan mengobati sedikit rasa rindunya.
Namun, dia justru merasa kehilangan arah seolah-olah sebagian dirinya ikut pergi bersama Cassie.
Menghela nafas kasar, Felix melangkah gontai menyusuri rumah yang terasa hampa.
Ke mana pun dia pergi, ada saja bayangan Cassie bermain di ingatannya.
Saat di ruang tengah, sosok Cassie sedang menghentikannya minum alkohol.
"Felix, kenapa kamu minum terlalu banyak? Ini tidak baik untuk kesehatanmu." Cassie mengambil alih botol alk0hol dari tangan Felix, lalu membersihkan kekacauan yang dibuat sang suami.
Kemudian, dia bangkit berdiri sambil berkata dengan lembut. "Tunggu sebentar, aku akan membuatkanmu sup pereda mabuk."
Ketika memasuki dapur, Felix melihat Cassie menyuguhkan makanan untuknya.
"Felix, kemarilah. Aku belajar menu baru, kamu harus mencobanya." Senyuman Cassie terasa hangat dan teduh, membuat Felix merasa nyaman berada di rumah.
"Baik, aku akan mencicipi apa pun masakan yang kamu buat untukku."
Felix menghampiri meja makan, tetapi bayangan Cassie tiba-tiba lenyap tak berjejak.
"Sisie, bisakah kamu kembali? Selama kamu bersedia kembali, aku akan menuruti semua keinginanmu." Felix menelan kesedihan dan kepahitan yang membuat tenggorokannya sakit, seolah-olah ada sebuah batu besar tersangkut di sana.
Pada akhirnya, Felix kembali ke kamar tidurnya.
Lagi dan lagi, bayangan Cassie muncul di benak Felix.
Bayangan Cassie memang ada di mana-mana, tetapi semua barang-barang sang istri sudah tidak tersisa satu pun seakan wanita itu tidak pernah tinggal bersamanya.
Melihat ke arah dinding, Felix baru menyadari foto pernikahannya dengan Cassie sudah tidak terpajang di sana lagi.
Foto keluarga mereka yang beranggotakan empat orang juga sudah menghilang, bahkan jejak Cassie dan anak-anaknya tidak ada lagi di mana-mana seakan mereka tidak pernah tinggal di rumah itu.
Felix ingat, bagaimana raut kebahagiaan menghiasi wajah cantik Cassie saat memajang foto mereka.
Dia jadi bertanya-tanya, bagaimana pula perasaan Cassie ketika melepas semua pajangan itu.
Tiba-tiba, Felix teringat pada percakapannya dengan Cassie beberapa hari lalu.
"Kenapa aku merasa rumah akhir-akhir ini terasa kosong? Ke mana perlengkapan mandimu?"
"Aku menyukai merk lain, jadi yang sebelumnya aku berikan kepada anak bibi."
Felix terduduk lemah, kekuatannya seolah-olah ditarik secara paksa dari tubuhnya.
"Sisie, ternyata kamu sudah tahu segalanya dan telah bersiap meninggalkan aku!" Felix tergugu menyedihkan, membuat tubuhnya bergetar hebat.
***
Malam harinya, Felix yang berbaring di atas ranjang berusaha keras membawa rohnya berpindah ke Pulau Kapuk. Namun, dia tidak bisa tidur meski berguling-guling ke kanan dan kiri.
Felix menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar, lalu bangun sambil berteriak, "Bibi Sun!"
"Iya, Tuan, saya di sini." Bibi Sun segera memasuki kamar Felix.
"Ke mana aroma terapi yang biasa diletakkan di atas nakas?" Felix bertanya dengan ketus, raut ketidaksenangan menghiasi wajahnya. "Bukankah kamu tahu aku tidak bisa tidur tanpa aroma terapi itu?"
Bibi Sun mengelap keringat dingin di dahinya dan menjawab dengan takut-takut. "Tuan, aroma terapi itu disiapkan secara pribadi oleh nyonya. Saya ingin mengambil stok yang biasa nyonya letakkan di lemari, tetapi semua minyak itu tidak ada di sana."
"Ya sudah, pergilah!" Felix melambaikan tangannya untuk mengusir Bibi Sun.
"Sisie, kamu benar-benar telah mempersiapkan diri untuk meninggalkan aku, bahkan minyak aroma terapi pun tidak kamu tinggalkan untukku." Wajah Felix sangat menyedihkan, hatinya terasa nyeri seperti ada tangan tak kasap mata yang merematnya.
Pada akhirnya, Felix bangkit dari tempat tidur hanya untuk berjalan menuju rak alk0hol dan duduk bersandar di sana.
Demi menghalau kesedihan di hatinya, Felix membuka satu demi satu botol dan menghabiskan isinya dalam hitungan menit, seolah-olah cairan yang dia tenggak hanya air putih biasa.
Pikiran tentang Cassie dan kedua putranya serta kenangan tentang mereka silih berganti muncul di benak Felix, itu membuat rindunya terobati.
Felix justru merasa dadanya terasa sesak dan sakit seperti ada yang menikam tepat di jantungnya, itu terasa sangat menyakitkan.
"Sisie, kembalilah padaku ...." Felix memegang dadanya, berharap rasa sesak dan sakit yang mendera bisa berkurang walau sedikit saja.
"Aku janji, aku akan memperlakukan kamu dan anak-anak kita dengan baik."
"Aku ... uhuk, uhuk, uhuk ...." Felix terbatuk hingga memuntahkan seteguk darah, tetapi dia mengabaikannya seakan darah gelap dan kental itu tidak berhubungan dengan nyawanya. "Tidak akan mengkhianatimu."
"Aku juga tidak akan ...." Tubuh Felix tiba-tiba ambruk ke lantai, dia melanjutkan kata-katanya dengan sungguh-sungguh sebelum matanya tertutup rapat. "Mengecewakan kalian lagi."