Aruna Mayswara terpaksa menerima pernikahan yang digelar dengan Jakson Mahendra-mantan kakak iparnya sendiri, lelaki yang sempat mengeyam status duda beranak satu itu bukan tandingan Aruna. Demi sang keponakan tercinta, Aruna harus menelan pahitnya berumah tangga dengan pria yang dijuluki diam-diam sebagai 'Pilot Galak' oleh Aruna dibelakang Kinanti-almarhumah kakak perempuannya. Lantas rumah tangga yang tidak dilandasi cinta, serta pertengkaran yang terus menerus. Bisakah bertahan, dan bagaimana mahligai rumah tangga itu akan berjalan jika hanya bertiangkan pengorbanan semata.
***
"Nyentuh kamu? Oh, yang bener aja. Aku nggak sudi seujung kuku pun. Kalo bukan karena Mentari, aku nggak mungkin harus kayak gini," tegas Jakson menatap tajam Aruna.
"Ya, udah bagus kayak gitu dong. Sekarang tulis surat kontrak nikah, tulis juga di sana perjanjian Mas Jakson nggak akan nyentuh tubuhku," ujar Aruna menggebu-gebu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21. HAMIL
"Kenapa harus segitu marahnya sih? Padahal biasa saja meminjam baju orang lain," kata Viera saat Aruna baru saja ke luar dari dalam kamarnya.
Langkah kaki Aruna berhenti, dahinya berlipat melihat kehadiran Viera. Aruna pikir awalnya Viera sudah pulang bersama yang lainnya, siapa yang menyangka jika wanita itu masih ada di rumah.
Kedua bola mata Aruna berotasi malas, tidak ingin melayani Viera. Sepupu Jakson satu ini memang sangat menyukai adu urat dengannya, Aruna melewati Viera begitu saja menuju ruangan meja makan. Viera terlihat mengikuti Aruna dari belakang, berhenti tepat di belakang tubuh Aruna.
"Aku dengar kalau Mentari bukan anak dari Mbak Kinanti," lanjut Viera memancing reaksi Aruna.
Benar saja, air yang baru saja dituangkan dari teko ke dalam gelas langsung tumpah di meja makan, Aruna meletakkan teko ke atas meja membalikkan tubuhnya yang tadinya membelakangi Viera menjadi berhadapan dengan Viera.
"Nah, gini dong dari tadi. Kenapa? Kamu syok ya, kenapa aku bisa tau jika Mentari bukan putri Mbak Kinanti dan Mas Jakson," lanjut Viera tersenyum menyeringai.
"Apa maksudmu? Sejak kapan pula Mentari bukan putrinya Mbak Kinanti dan Mas Jakson. Jangan mengada-ada," tukas Aruna terdengar tenang, meski kedua manik matanya terlihat bergetar.
Lidah mungkin bisa berdusta namun, tidak dengan kedua matanya. Viera melipat kedua tangannya di bawah dada, menarik sebelah alis matanya ke atas.
"Ah, benarkah? Lantas kenapa bisa mereka tidak memiliki golongan darah yang sama. Oh, ngomong-ngomong soal ini, bahkan tempat lahiran mbakmu itu fiktif. Bukan rumah klinik bersalin di daerah itu, melainkan rumah panti asuhan. Bukankah ini rahasia yang teramat besar," tutur Viera mengutarakan apa yang dia ketahui.
Ujung jari jemari Aruna terasa sedingin es, kedua matanya berkedip dua kali dengan degup jantung begitu keras. Lidahnya kelu tidak mampu membantah perkataan Viera, sekarang apa yang harus Aruna lakukan. Harusnya Aruna menghubungkan Mia—sahabat kakaknya, hanya wanita dewasa satu itu yang bisa mencari solusi terbaik. Jika rahasia ini telah berada di tangan Viera cepat atau lambat sudah pasti Jakson akan mengetahui rahasia besar ini, tawa Viera melambung ia terbatuk-batuk melihat ekspresi wajah Aruna yang terlihat memucat.
Derap langkah kaki mendekati keduanya membuat tubuh Aruna semakin bergetar hebat, rasa mual langsung mengobok-obok perutnya. Peluh dingin mendiami dahi dan punggung belakang Aruna, tepat ketika Jakson menginjakkan kakinya di ruangan meja makan. Aruna mengatup mulutnya, berlarian ke arah kamar mandi tak jauh dari meja makan.
Tawa Viera berhenti mendadak saat melihat Aruna berlarian ke kamar mandi, Viera dan Jakson saling adu lirikan mata. Keduanya mendengar suara Aruna muntah, Jakson lebih dahulu bereaksi melangkah terburu-buru mendekati pintu kamar mandi yang terbuka. Aruna terlihat berjongkok di closet mengeluarkan muntah cairan air tanpa ada makanan yang keluar.
Jakson ragu-ragu memasuki kamar mandi ikut berjongkok di samping Aruna telapak tangan besarnya menepuk-nepuk punggung belakang Aruna. Baju belakang Aruna basah kuyup karena peluh, jari jemari bergetar menyeka mulutnya.
"Hei! Ada apa denganmu? Kenapa mendadak muntah-muntah begini," tutur Jakson terlihat khawatir.
Ia membatu Aruna berdiri melangkah ke arah wastafel mencuci mulut dan tangannya, Jakson menarik beberapa lembar tisu memberikan pada Aruna. Wanita cantik itu mengusap bibirnya dan tangannya, sebelum membuangnya ke tong sampah tepat di samping wastafel.
Keduanya melangkah ke luar dari dalam kamar mandi, Aruna terlihat dipapah oleh Jakson. Seluruh persendian tubuh Aruna terasa kehabisan tenaga, Viera menatap intens wajah Aruna yang pucat.
"Mas! Dia kenapa?" tanya Viera.
Jakson dan Aruna berhenti tepat di depan Viera, jari jemari lentiknya Aruna bergetar ia menyandarkan kepalanya di dada bidang Jakson.
"Mas, anterin aku ke kamar dulu. Kepalaku pusing banget," sela Aruna lebih dahulu berbicara tanpa mengindahkan pertanyaan Viera.
Saat ini ia harus menjauhkan Viera dan Jakson, hingga Viera tidak akan memiliki kesempatan untuk berbicara dengan Jakson perihal Mentari. Kepala Jakson mengangguk ia membantu Aruna melangkah mendekati kamar, Viera masih memperhatikan punggung keduanya yang menjauh.
Pupil mata Viera melebar, "Jangan-jangan dia hamil? Gila! Ini benar-benar gila jika memang dia hamil. Menarik banget, pertunjukan menarik akan segera bisa aku saksikan."
...***...
Mia memeriksa keadaan Aruna, beberapa kali ia terlihat mengerutkan dahinya. Bertanya beberapa pertanyaan pada Aruna, dijawab dengan jujur tanpa ada yang ditutupi. Jakson yang berdiri di samping ranjang hanya memperhatikan apa yang dilakukan oleh Mia—dokter spesialis kandungan satu ini, Aruna bersikeras meminta bantunya menelepon Mia malam-malam kerena mempercayai Mia.
Mia mengangkat tangan kanannya melirik ke arah arloji yang melingkar ke arah tangannya, lalu mendongak menoleh ke arah Jakson.
"Jak! Bisa ke apotek di tikungan depan. Tolong beliin tespek tiga aja cukup," titah Mia terlihat memasang ekspresi serius.
Mata Jakson melotot mendengar perkataan Mia, bukannya membeli obat melainkan tespek. Bukan hanya Jakson saja yang melotot syok, Aruna tak kalah terkejutnya.
"Te—tespek?" tanya Jakson memastikan pendengarannya tidak salah.
Kepala Mia mengangguk, "Ya, tespek."
Rasanya dunia yang Jakson pijak mendadak goyang, bagaimana bisa hamil. Kenapa wanita di atas ranjang itu harus hamil di saat seperti ini. Jakson tidak menginginkan anak dari Aruna, apalagi saat ini Jakson ingin serius dengan Elena. Wanita itulah yang dinginkan hamil anaknya, memiliki keluarga yang harmonis dengan Elena.
Jari jemari dingin Aruna menyentuh pergelangan tangan Mia dengan lemah, Mia membawa atensinya ke arah Aruna.
"Mbak! Keknya Mbak salah deh, aku nggak mungkin hamil." Aruna menjawab dengan suara bergetar.
Mia menipiskan bibirnya, dan berkata, "Kamu udah nikah, apakah hamil sebuah ketidak mungkinan?"
Mia melirik Jakson dari ekor matanya menatap sinis Jakson, manik matanya kembali bergerak ke arah Aruna mengusap lembut telapak tangan Aruna yang menyentuh pergelangan tangannya.
"Tunggu apalagi, Jak? Beli sekarang. Biar besok pagi bisa langsung dites," lanjut Mia menyentak Jakson dari lamunannya.
Jakson linglung ke luar dari kamar yang ditempati oleh Aruna, menutup perlahan pintu kamar. Ekspresi wajah Mia yang terlihat tenang langsung berubah, ia menatap khawatir ke arah Aruna.
"Giman bisa kamu dan dia...." Mia bahkan tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
Kepala Aruna mengeleng lemah, ini bukan atas kemauannya. Aruna tidak pernah melakukan dengan sadar, apalagi trauma di masa lalunya masih sulit untuk ia sembuhkan.
"..., Mbak! Aku nggak mungkin bisa melakukan itu secara sadar Mbak. Mbak jelas tau gimana aku harus melawan rasa takutku bersentuhan lebih intim dengan lawan jenis, pengaruh obat yang dimasukan ke minumanku dan Mas Jakson. Ceritanya cukup panjang buat aku jelasin ke Mbak. Yang pasti kami melakukannya tidak atas dasar sama-sama sadar," jawab Aruna pelan namun tegas tidak ada kebohongan yang dia tutup-tutupi.
Mia memijit pangkal hidungnya, susah payah Kinanti di masa lalu. Apakah semuanya tetap akan berakhir sama, Kinanti membantu Aruna untuk terapi kejiwaan. Mia tidak bisa menyalahkan Aruna saat ini, ia menatap iba ke arah Aruna.
"Siapa yang menjebakmu?" tanya Mia melembutkan suaranya.
"Sahabatku, Mbak," jawab Aruna lirih.
Mia mendesah kasar, menggenggam jari jemari tangan Aruna yang dingin. Memberikan kekuatan untuk Aruna, berharap Aruna akan berdiri dengan tegak seperti dulu.
"Meskipun Kinanti udah nggak ada di sampingmu, Mbak yang akan berada di sampingmu buat membela dan membantumu." Mia tersenyum lembut.
Kedua mata Aruna berkaca-kaca, ia sungguh ketakutan saat ini. Baik itu tentang Mentari ditambah dengan keadaannya saat ini.
Bersambung...