Kerajaan itu berdiri di atas darah, dusta, dan pengkhianatan.
Putri Mahkota yang logis dan penuh tanggung jawab mulai goyah ketika seorang tabib misterius menyingkap hatinya dan takdir kelam yang ia sembunyikan.
Putri Kedua haus akan kekuasaan, menjadikan cinta sebagai permainan berbahaya dengan seorang pria yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang ia kira.
Putri Ketiga, yang bisa membaca hati orang lain, menemukan dirinya terjerat dalam cinta gelap dengan pembunuh bayaran yang identitasnya bisa mengguncang seluruh takhta.
Tiga hati perempuan muda… satu kerajaan di ambang kehancuran. Saat cinta berubah menjadi senjata, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3 : Menuruti Tuntutan Orang Lain
Begitu Marius pergi, Veyra membanting busurnya ke tanah dengan kasar. Dia mengusap wajahnya dengan kesal.
“Selalu seperti ini!”
Yvaine dan Lyanna hanya berdiri diam sambil menghela nafas lelah. Sementara Celestine yang masih berdiri di tempatnya, dia memandang ketiga putrinya dengan kekecewaan.
“Sayang, jangan terlalu memikirkannya...ayah tidak akan mungkin melakukan hal sejauh itu.”
Veyra mendongak cepat, menatap ibunya dengan protes. “Tidak Bu, dia bisa melakukannya! Dulu ayah menghancurkan semua pedang kayuku...dan sekarang, dia pasti mampu melenyapkan semuanya juga.”
Celestine menghela nafas panjang. Dia melangkah menghampiri ketiga putrinya. “Anak-anakku, ini hanya ancaman. Semua ini terjadi karena kalian melanggar larangannya.”
“Kita melanggarnya karena semua itu tidak masuk akal bu.” Lyanna akhirnya berbicara. “Bagaimana bisa kami melakukan hal yang sama setiap hari, berulang-ulang? Kami juga manusia...kami pasti lelah jika dipaksa melakukan sesuatu yang tidak kami inginkan.”
Celestine terdiam. Kepalanya menunduk saat dia menghela nafas. Mencari sesuatu yang dapat membuat ketiga mengerti. Namun dia sendiri mengerti bagaimana keluhan itu sampai membuatnya hampir ragu.
“Apapun itu...tolong untuk sekarang, lakukan saja keinginannya. Jika kalian bisa menunjukkan bahwa kalian bisa atur. Aku akan berbicara dengannya, meminta untuk meringankan hukuman kalian.”
Hening, tidak ada jawaban. Celestine akhirnya berbalik dan melangkah pergi meninggalkan mereka dengan berat hati. Setelah bayangan Celestine menghilang, Veyra kembali menggeram kesal. Dia menendang kesal panah yang tergeletak di tanah.
“Mengalah lagi...mengalah lagi! Selalu begitu!”
Lyanna menghela nafas. “Ayah tidak pernah mengerti kita..”
Yvaine yang sejak tadi hanya terdiam, menoleh ke arah kedua adiknya. Matanya tajam.
“Sudahlah, kita lakukan saja apa yang mereka inginkan?”
Veyra segera menoleh. “Apa maksudmu? Apa sekarang kamu juga akan ikut-ikutan mengikuti tuntutan orang lain?”
Lyanna menahan tangan Veyra. “Hey, tenanglah dulu.” Dia menoleh ke arah Yvaine dengan bingung. “Kak, apa maksudmu?”
“Tidak jadi...aku tidak perlu bicara lagi.”
Ucapan itu membuat Lyanna tertegun. Dia segera melepaskan tangan Veyra dan menarik tangan Yvaine.
“kak, tolong jangan begini...kita sudah cukup di tekan, apa kita juga harus bertengkar satu sama lain?”
Yvaine terdiam. Dia melirik kearah Veyra dengan tajam. “Dia duluan yang memulainya.”
“Veyra...” tegur Lyanna.
Gadis itu terdiam. Menatap Yvaine sebelum memalingkan wajahnya kearah lain. Emosinya menghilang saat dia menunduk. “Maaf, aku masih emosi tadi. Apa maksudmu tadi?”
Yvaine menarik nafas dalam-dalam.
“Kita turuti saja keinginan ayah mulai sekarang. Tidak ada lagi yang memainkan alat musik di halaman istana, bermain senjata di belakang istana dan aku....juga tidak akan membawa buku lagi di perpustakaan.”
Veyra mengerutkan keningnya. “Jika bukan melakukan itu, lantas apa yang akan kita lakukan?”
“Banyak hal...” Yvaine menoleh kearah Veyra. “Bukankah ada banyak hal yang bisa di lakukan untuk menyita waktu? Tapi aku...mungkin akan kembali keingjnan ayah dulu, belajar di bidang politik.”
Lyanna mengangguk. “Aku juga...aku akan kembali belajar tentang intruk sosial dan diplomasi halus istana. Itu pun juga cukup menyita waktuku.”
Veyra mendengus kesal. Melipat kedua tangannya.
“Lalu bagaimana denganku? Hal sekecil apapun yang kukerjakan, tidak pernah di percaya ibunda. Bagaimana aku menyibukkan diri jika setiap yang kulakukan di anggap salah? Tidak mungkin aku hanya duduk diam sementara kalian mengerjakan tugas resmi dari ayah dan ibu.”
Hening sejenak, Yvaine dan Lyanna saling bertukar pandang. Mereka tersenyum saat menoleh kearah Veyra.
“kalau begitu...bagaimana jika kau melakukan sesuatu yang hanya bisa di lakukan olehmu?”