NovelToon NovelToon
Reany

Reany

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Wanita Karir / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aerishh Taher

Selama tujuh tahun, Reani mencintai Juna dalam diam...meski mereka sebenarnya sudah menikah.


Hubungan mereka disembunyikan rapi, seolah keberadaannya harus menjadi rahasia memalukan di mata dunia Juna.

Namun malam itu, di pesta ulang tahun Juna yang megah, Reani menyaksikan sesuatu yang mematahkan seluruh harapannya. Di panggung utama, di bawah cahaya gemerlap dan sorak tamu undangan, Juna berdiri dengan senyum yang paling tulus....untuk wanita lain.

Renata...
Cinta pertamanya juna
Dan di hadapan semua orang, Juna memperlakukan Renata seolah dialah satu-satunya yang layak berdiri di sampingnya.

Reani hanya bisa berdiri di antara keramaian, menyembunyikan air mata di balik senyum yang hancur.


Saat lampu pesta berkelip, ia membuat keputusan paling berani dalam hidupnya.

memutuskan tidak mencintai Juna lagi dan pergi.

Tapi siapa sangka, kepergiannya justru menjadi awal dari penyesalan panjang Juna... Bagaimana kelanjutan kisahnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Reany : Palsu?

Keesokan paginya.... saat Reani membuka mata dengan perasaan yang anehnya… ringan.

Ia bangun di kamar yang sama, tapi tidak lagi merasa terikat olehnya.

Namun saat ia keluar dari kamar, suasana apartemen terasa jauh lebih kosong daripada biasanya.

Bukan hanya sepi—tapi hilang.

“Juna?” panggilnya singkat.

Tidak ada jawaban.

Tidak ada suara shower.

Tidak ada aroma kopi pagi yang biasa Juna buat untuk dirinya sendiri.

Hanya hening.

Hening yang telak.

Reani memeriksa dapur, lalu ruang tamu.

Tidak ada koper Juna.

Tidak ada jaket Juna.

Tidak ada sepatu pria itu.

Pria itu sudah pergi.

Ponsel Reani berbunyi pelan.

Satu pesan masuk.

Juna:

Aku harus pergi. Aku menemani Renata beberapa hari untuk liburan. Sampai jumpa Minggu depan.

Reani terdiam lama.

Kemudian ia tertawa kecil—tawa getir yang tak sedetik pun menyentuh matanya—sebelum menekan tombol delete dan memblokir nomor Juna.

Cihh. Aku tak peduli, bisiknya tajam.

Ia meletakkan ponsel itu di meja, berjalan menuju kamar mandi, dan mandi dengan tenang.

Untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun… ia mandi tanpa memikirkan Juna akan pulang atau tidak.

Setelah keluar, ia berdiri lama di depan cermin.

Hari ini bukan hari biasa.

Hari ini ia menguburkan semua yang pernah ia perjuangkan.

Reani mengenakan dress hitam selutut,

topi hitam,

kacamata hitam,

dan high heels hitam.

Warna duka, namun langkahnya justru terasa seperti kebangkitan.

Seolah ia sedang menghadiri pemakaman—pemakaman untuk pernikahannya yang sudah lama mati.

Ia membawa map berisi dokumen yang Juna tanda tangani tanpa membaca.

Dengan kepala tegak, ia keluar dari apartemen sambil menarik koper hitamnya.

___

Setengah jam kemudian Reany telah sampai di tempat tujuan.

Suasana kantor sangat ramai namun tertata.

Reani melangkah menuju loket dengan aura elegan yang membuat beberapa orang menoleh.

Wanita petugas di balik meja tersenyum sopan.

“Ada yang bisa saya bantu, Bu?”

Reani menyerahkan map itu.

“Saya ingin mengajukan proses perceraian. Ini dokumen yang sudah ditandatangani.”

Petugas itu membuka map dan mulai memeriksa isi dokumennya satu per satu.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang menegangkan.

Hingga akhirnya wanita itu mengerutkan dahi.

“Maaf, Bu… bisa saya tanya sesuatu?”

Reani mengangguk. “Tentu.”

“Surat nikahnya tidak ada?”

Reani menarik napas panjang. “Ada, saya bawa.”

Ia menyerahkan lembar itu.

Petugas tersebut melihatnya dengan seksama.

Wajahnya berubah.

Cemas.

Takut salah bicara.

“Bu… surat ini…”

Reani menahan napas. “Ya?”

“Ini… tidak valid.”

Petugas itu menatapnya lemah.

“Nomor registrasinya tidak terdaftar di sistem kami.

Tanda tangan pejabat juga bukan tanda tangan resmi.

Ini… palsu.”

Dunia Reani berhenti berputar.

Apa…?

“Apa maksud Anda palsu?” suaranya pecah, meski ia berusaha tegar.

“Saya sudah cek berkali-kali, Bu.”

Petugas itu menurunkan suaranya.

“Pernikahan ini… tidak pernah tercatat di sistem negara. Secara hukum Anda dan suami—”

“Kami bukan suami istri?” Reani menyelesaikan kalimat itu dengan suara yang bergetar marah.

Petugas itu menelan ludah.

“Secara resmi… tidak. Maafkan kami.”

Konyol! Konyol sekali!!!

Reani mundur satu langkah, memegang dadanya yang terasa sesak, seakan seseorang meremas paru-parunya dari dalam.

Pernikahan tujuh tahun?

Pengorbanan?

Kesetiaan?

Semua itu… bahkan tidak sah?

“Sialan kau, Juna…” gumamnya pelan, namun penuh amarah yang tak bisa dibendung.

Tatapan orang-orang mulai beralih padanya.

Reani mengerti sekarang.

Juna tidak hanya tidak mencintainya.

Dia tidak pernah berusaha mengikatnya secara layak.

Reani mengambil ponsel dari tasnya.

Tangannya bergetar halus—bukan ragu, tapi marah.

Ia menekan nomor seseorang.

“K—halo?” suara di seberang terdengar hati-hati.

Reani menggenggam ponsel erat-erat.

“Lacak. Cari kemana Juna pergi liburan dengan jalangnya itu. Aku ingin tahu di mana mereka sekarang.”

Nada suaranya cukup keras hingga membuat semua kepala di ruangan itu menoleh.

Beberapa orang memandangnya dengan terkejut.

Beberapa lagi dengan kasihan.

Tapi Reani tidak peduli.

Ia sudah kehilangan segalanya.

Tidak ada lagi yang perlu ia sembunyikan.

Wanita di petugas loket masih menatapnya, bingung sekaligus takut.

Sementara Reani menyimpan ponselnya kembali.

Hari ini bukan hanya tentang perceraian Yang membuatnya kaget! Tapi juga tentang kenyataan bahwa pernikahan yang Reany anggap segalanya adalah kepalsuan.

Apakah Juna hidup denganku sambil menertawakan diriku...

Atau mereka berdua merendahkan ku di banyak waktu luang mereka. Ah sialan... Aku ingin menangis tapi ini terlalu menggelikan untuk ku tangisi.

Reani berdiri di depan loket itu beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya.

Tidak ada air mata.

Tidak ada jeritan.

Hanya detak jantung yang menggema keras seperti palu godam di dadanya.

Ia merapikan rambutnya pelan—gestur sederhana yang terasa seperti usaha terakhir untuk tetap terlihat utuh.

“Terima kasih,” katanya kepada petugas dengan suara dingin yang memotong udara.

Ia tidak marah pada wanita itu.

Dia hanya pembawa kabar buruk, bukan penciptanya.

Reani berbalik.

Tumit high heels-nya mengetuk lantai kantor catatan sipil itu dengan ritme yang stabil, menghantam setiap sentimeter lantai seperti dentum perang.

Setiap langkah adalah penghinaan.

Penghinaan untuk pernikahan palsunya.

Untuk tujuh tahun yang sia-sia.

Untuk kebodohannya sendiri—atau lebih tepatnya, untuk keahlian Juna berbohong.

Begitu pintu utama terbuka, udara panas kota langsung menerpa wajahnya.

Anehnya, ia justru merasa semakin tenang.

“Aku tidak akan menangis,” gumamnya pada diri sendiri.

“Karena ini tidak pantas untuk ditangisi.”

Ponselnya bergetar.

Notifikasi baru.

Reyzel:

Sudah saya lacak. Lokasi Juna terdeteksi di sebuah vila pribadi di Beril. Bersama… Renata.

Apakah Anda ingin saya kirimkan foto-fotonya?

Reani terdiam.

Angin kota mengibaskan ujung topinya.

Matanya mengecil.

Dadanya menghangat oleh sesuatu yang bukan lagi kesedihan—

tetapi amarah…

amarah yang mendidih perlahan seperti lava.

Ia mengetik balasan pendek:

Reani:

Kirimkan semuanya.

Sekarang.

Beberapa detik kemudian foto-foto itu masuk.

Juna sedang memeluk Renata di tepi kolam renang.

Renata mengenakan bikini putih.

Juna… terlihat bahagia.

Bahagia seperti seorang pria yang sama sekali tidak punya istri.

Bahagia seperti pria yang tidak pernah membuat seseorang menunggu tujuh tahun dalam kebodohan.

Reani menatap layar itu lama.

Begitu lama sampai gambarnya buram oleh cahaya matahari.

Lalu…

Ia tertawa.

Tawa pelan yang pecah dari dadanya, getir, dingin, berbahaya.

“Bagus,” bisiknya.

“Bagus sekali.”

Ia menghapus semua foto itu setelah mengirimkannya ke folder khusus—folder yang akan ia buka kembali saat waktunya tiba.

Reani menarik koper hitamnya.

Langkahnya mantap.

Ia menyusuri trotoar menuju mobil online yang baru tiba.

Pintu mobil terbuka, dan sebelum masuk, ia menatap pantulan dirinya di kaca jendela.

Seorang wanita dengan dress hitam.

Kacamata hitam.

Topi hitam.

Aura kematian.

Bukan kematian orang lain.

Tapi kematian dari semua yang pernah ia percaya.

“Juna…” gumamnya sangat pelan, hampir seperti doa terbalik.

“MATI KAU BAJINGAN!!!”

bersambung.....

1
Noor hidayati
wah saingan juna ga kaleng kaleng
Noor hidayati
ayahnya juna tinggal diluar kota kan,waktu ayahnya meninggal juna balik kampung,ibunya juna itu tinggal dikampung juga atau dikota sama dengan juna,ibunya juna kok bisa ikut campur tentang perusahaan dan gayanya bak sosialita,aku kira ibunya juna tinggal dikampung dan hidup bersahaja
drpiupou: balik Lampung bukan kampung beneran kak, maksudnya kita kecil gitu.
ibunya Juna itu sok kaya kak 🤣
total 1 replies
Noor hidayati
mereka berdua,juna dan renata belum mendapatkan syok terapi,mungkin kalau juna sudah tahu reani anak konglomerat dia akan berbalik mengejar reani dan meninggalkan renata
drpiupou: bener kak
total 1 replies
Noor hidayati
lanjuuuuuuuut
Aulia
rekomended
drpiupou
🌹🕊️🕊️👍👍👍👍
Noor hidayati
apa rambut yang sudah disanggul bisa disibak kan thor🙏🙏
drpiupou: makasih reader, udah diperbaiki/Smile/
total 2 replies
Noor hidayati
juna berarti ga kenal keluarga reani
drpiupou: bener kak, nanti akan ada di eps selanjutnya.
total 2 replies
Noor hidayati
definisi orang tidak tahu diri banget,ditolong malah menggigit orang yang menolongnya,juna dan renata siap siap saja kehancuran sudah didepan mata
Noor hidayati
lanjuuuuuuut
Noor hidayati
kok belum up juga
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!