Kehidupan Amori tidak akan pernah sama lagi setelah bertemu dengan Lucas, si pemain basket yang datang ke Indonesia hanya untuk memulihkan namanya. Kejadian satu malam membuat keduanya terikat, dan salah satunya enggan melepas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Giant Rosemary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gagal Move On
“Perkenalkan Pak, nama saya Amori.” mereka berjabat singkat. Tidak ada yang aneh, Ari bersikap sopan dan meresponnya seperti ia merespon Dara.
“Salam kenal, Amori.” Ari tersenyum. Perawakannya seperti orang-orang yang sering keluar masuk tempat gym. Wajahnya tirus, dengan rambut yang klimis dan warna kulit yang agak gelap. Mirip orang-orang yang bekerja sebagai angkatan.
“Salam kenal Pak Ari, mohon bimbingannya.” Ari tersenyum, terlihat puas.
“Mungkin Bu Dara sudah menjelaskan beberapa poin tentang Tuan Walsh, klien yang nantinya akan kamu layani. Sebenarnya tidak semenakutkan itu, hanya saja Tuan Walsh memang agak disiplin soal waktu pribadinya.” Dara terlihat tersenyum sungkan. Amori pun hanya mengangguk singkat sambil mempertahankan senyum profesionalnya.
“Kamu bisa membiasakan diri sambil berjalannya waktu. Kalau kamu mulai kerja sore ini, bisa? Kebetulan Tuan Walsh baru saja pulang dari dinas panjangnya. Jadi dia mau makan di rumah.” Amori menoleh pada Dara, seolah meminta persetujuan. Padahal dia berteriak dalam hati, meminta bantuan agar memiliki waktu lebih banyak untuk mempersiapkan diri.
“Bisa, Pak Ari. Amori bisa mulai bekerja sore ini. Untuk menunya, apakah ada permintaan khusus dari Tuan Walsh?”
“Oh, Tuan Walsh sempat bilang mau makan Clamp Chowder. Kamu bisa, buatnya?” Amori mengangguk langsung. Ia memang sudah pernah beberapa kali buat untuk mantan kliennya yang lama.
“Perfect, then. Kita bisa sekalian belanja kalau begitu.” Ari dengan sumringah menatap bolak-balik pada Dara dan Amori, yang masih tersenyum profesional. Meski terlalu beresiko untuk langsung bekerja tanpa mempelajari lebih jauh profile kliennya yang terkenal keras itu, Dara dan Amori sama-sama tidak bisa menolak. Jadi keduanya mengangguk mengiyakan dan menyiapkan segala keperluan.
***
Amori tidak menyangka, bahwa mereka akan berbelanja semua bahan makanan yang dibutuhkan untuk membuat makanan Tuan Walsh di sebuah resoran bintang lima yang 90% pengunjungnya adalah ekspatriat. Sepanjang menunggu semua bahan makanan yang ia butuhkan disiapkan, Amori dihidangkan Amuse-bouche lengkap dengan segelas champagne.
“Tuan Walsh ini mantan atlet, yang sekarang sedang melatih timnas basket Indonesia untuk FIBA Basketball World Cup. Makannya banyak. Jadi nanti, kamu bisa buat beberapa hidangan lain dari bahan yang sudah kita pesan. Jangan takut makanannya kebuang, karena pasti habis.”
“Baik, Pak.”
“Nggak usah terlalu kaku, Amori. Saya hanya asisten keduanya Tuan Walsh. Lagipula, kita akan sering kerja sama. Jadi akan lebih enak kalau kita bisa bicara sedikit lebih santai.” Amori tersenyum sungkan, tapi tetap mengiyakan.
Pengalamannya sebagai private chef memang belum lama. Selama 2 tahun ia berkarir di bidang ini, Amori baru berganti klien tiga kali sebelum akhirnya melayani Tuan Walsh ini. Hubungannya dengan klien sebelumnya juga tidak sedekat itu. Jadi agak canggung rasanya ketika Ari memintanya untuk bersikap santai.
“Oh, sudah siap. Ayo, Mor.” kata Ari setelah mengecek ponselnya. Pria itu kemudian berdiri dan melenggang ke arah pintu keluar.
“Itu, Pak, bahan makanannya?”
Melihat kebingungan Amori, Ari tersenyum maklum. “Sudah dikirimkan langsung ke rumah supaya nggak rusak. Karena setelah ini kita masih harus mampir untuk membeli beberapa hal.” Amori mengangguk, dan mereka kembali mengelilingi beberapa restoran di Jakarta untuk memesan banyak bahan makanan.Amori hampir-hampir tertidur selama perjalanan saking lamanya mereka berbelanja. Namun kesadarannya kembali penuh ketika mobil yang Ari kendarai masuk ke dalam sebuah komplek apartmen mewah di daerah Kuningan.
Tak banyak bertanya, Amori mengikuti Ari yang berjalan tenang dengan satu tangan yang masuk ke dalam kantong.
“Nanti malam kartu akses buat kamu siap. Jadi besok pagi kamu bisa langsung kesini, nggak usah nunggu saya.”
“Baik, Pak.” Ari tergelak.
“Sudah saya bilang ngga usah terlalu formal. Panggil Ari saja nggak apa-apa. Usia saya nggak jauh dari kamu, kok.” walau masih sangat sungkan, Amori mengiyakan.
“Ini area kerja kamu.” kata Ari sesaat setelah mereka masuk ke dalam sebuah Excecutive Suite bergaya modern-elit. Pasalnya tak jauh dari lift pribadi Tuan Walsh, sebuah dapur luas dengan peralatan profesional yang lengkap terpampang luas.
“Tuan Walsh, bisa masak? Peralatan dapurnya lengkap banget.” tanya Amori tanpa sadar. Ia terlalu takjub dengan kitchen island berbahan marmer putih Calacatta, dengan peralatan dapur built-in merk Miele. Dapur model begitu, adalah impian banyak orang yang gemar masak.
“Nggak, tapi dia suka makan. Makanya sengaja dibuat seperti ini, biar siapapun yang kerja sama dia nggak ada alasan untuk nggak bisa masak makanan yang dia mau.” Ari lalu membuka sebuah pintu yang masih berada di area dapur. “Ini seharusnya digunakan untuk kamar asisten rumah tangga. Tapi karena Tuan Walsh nggak suka ada orang luar yang tinggal satu rumah sama dia, ruangan ini kami alih fungsikan untuk menyimpan bahan makanan.”
Amori benar-benar tidak diberikan kesempatan untuk mengagumi apa yang ia lihat, karena isi di dalam ruangan penyimpanan itu benar-benar di luar nalar. Isinya, bahkan mengalahkan walk-in-chiller di tempat Amori dulu bekerja sebagai helper.
“Ada pertanyaan, Amori? Jam 5 nanti saya harus jemput Tuan Walsh di bandara.” Amori ikut melirik jam dinding yang ada di dapur. Sudah setengah lima sore, dan Amori sudah berencana untuk membuat emapt hidangan termasuk Clamp Chowder yang Tuan Walsh mau.
“Nggak ada, kalau gitu saya bisa mulai masak sekarang?” Ari tersenyum, manis sekali sampai Amori hampir-hampir dibuat naksir. Jika saja sisa perasannya sudah tidak nyangkut pada mantan bang—. Sudah, Amori takut kehilangan fokus jika mengingat si bangs—. Oke, ini beneran udah.
“Oke, silahkan. Kalau begitu saya mau menyiapkan kamar Tuan Walsh.” setelah kepergian Ari, Amori langsung menghela napas panjang. Ia menoleh ke kanan dan kiri, lalu berjalan ke sebuah lemari kayu kecil yang kata Ari bisa ia gunakan untuk menyimpan barang-barangnya.
Ketika membuka lemari itu, Amori tidak hanya menemukan lemari kosong. Isinya bahkan bisa dibilang penuh dengan seragam masak, alat kebersihan dan bahkan, sikat gigi yang masih baru. “Amori, what had you done in life?”
***
“Lo belom cerita soal klien baru lo. Gimana? Beneran serem nggak, kayak yang Dara bilang?” Amori mengurungkan niatnya untuk langsung mengeringkan rambut. Jika sudah sampai melakukan panggilan video begini, Nora tidak akan mau dibuat menunggu. Apalagi kondisinya, mereka sedang berjauhan karena Nora yang sedang dinas kerja ke luar kota.
“Gue belom ketemu orangnya, Ra. Tapi sejauh ini, dia nggak rewel sih. Buktinya makanan gue belum ada yang di komplain.”
“Jadi yang kemarin itu, hiperbolanya si Dara doang?”
“Ya, nggak tau. Tapi yang pasti, Yura nggak mungkin sampe resign kalau emang teguran dari Tuan Walsh nya biasa-biasa aja.” Nora terdengar sepakat di seberang sana. Wanita itu mulai menceritakan pengalamannya untuk pertama kali pergi ke benua biru. Walaupun hanya untuk urusan pekerjaan, Nora terdengar senang karena bisa menyelam sambil minum air.
“Ih, lo serius berangkat kerja nggak pake make up?”
“Buat apa? Masih pagi buta begini, nggak bakal ketemu siapa-siapa disana.”
“Seenggaknya pake lipstick, sedikit aja Mor. Biar nggak pucet.” Amori menggulirkan matanya malas, namun mengiyakan ucapan Nora. Wajahnya memang kelewat polos jika tidak dipoles warna. Jadi ia meraih sebuah liptint dan memakainya tipis.
“Nah, mendingan.” mereka kemudian sama-sama berpamitan sebelum menutup telepon. Amori keluar dari apartemennya dan berkendara ke area Kuningan dengan menggunakan motor matic kesayangannya.
Sesampainya di kediaman Tuan Walsh, Amori langsung berganti pakaian dan mulai menyiapkan bahan makanan yang sudah ia siapkan sejak kemarin sore. Di hari keenamnya bekerja untuk Tuan Walsh, Amori sudah mulai menemukan pola kerja yang nyaman dan memudahkan untuknya.
Setelah semua bahakan makanan yang ia butuhkan siap, Amori mulai memasak satu persatu hidangan yang sudah ia susun. Sebuah lagu terputar lewat airpods-nya. Sesekali bibirnya ikut bergumam, menyanyikan lagu-lagu yang berganti setiap tiga menit sekali.
Pekerjaannya cukup menyenangkan. Memasak makanan enak setiap harinya, dengan bahan makanan berkualitas yang selalu tersedia, dan peralatan yang lengkap juga professioanl, siapa yang tidak suka. Amori bahkan bertah berlama-lama di dapur hanya untuk membuat setiap hidangan yang orang minta untuk ia buatkan.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Langit di luar juga sudah sangat terang walau hanya bisa Amori intip di balik gorden tebal nan mahal milik Tuan Walsh yang belum dibuka. Dalam beberapa menit, pekerjaannya selesai. Amori hanya tinggal memarinasi daging untuk hidangan yang akan ia masak nanti sore.
Baru saja kembali dari ruang penyimpanan, langkah Amori terhenti. Pemandangan di depannya sungguh bukan sesuatu yang nyaman untuk dilihat.
“Selamat pagi, Amori. Belum selesai masaknya?” mulut Amori agak gagu. Entah apa yang harus ia lakukan ketika habis melihat sepasang pria bercumbu pagi-pagi.
“E–eh, selamat pagi, Mas Ari.” Amori berusaha keras untuk bersikap normal, meski caranya bicara terdengar seperti orang yang baru saja minum segelas air lemon setelah tahu kalau Ari gay.
***
Bersambung....