Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.
Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.
Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENGEMIS DI ISTANA
Langkah berat menggema di lorong istana yang panjang. Duk… dukk …. Dukk…,
Suara sandal kulit yang sudah retak memijak lantai marmer, bergetar menggaung, seperti tamparan di tengah keheningan megahnya Istana.
Dinding marmer istana putih berkilauan, dihiasi ukuran naga dan ukuran garuda emas, lambnang kebesaran yang diwariskan ratusan tahun silam. Lentera kristal di kiri kanan lorong berayun pelan, memantulkan cahaya ke ubin pualam yang membuat pantulan gemerlap.
Di tengah kemegahan itu, sosok begitu kontras. Sultan Al-Fariz dengan jubahnya yang lusuh, berdebu dan kusam akibat perjalanan panjang, robek-robek di ujung pakainnnya. Sandalnya benangnya sudah terburai. Rambut yang sedikit acak-acakan, menempel oleh keringat.
Beberapa bangsawan yang baru keluar dari ruang persidangan spontan menoleh. Alis mereka menggernyit, lalu wajah-wajah congkak dan angkuh itu berubah mimik penuh cemooh dan cerca, dengan bibir yang di singgingkan.
“Dia Sultan….?”, bisik seorang bangsawan yang berperawakan gemuk, suaranya bergetar tawa dan ejekan yang dikulum, “Atau pengemis yang tersesat dalam Istana ini ?”
Spontan tawa lirih terdengar. Heh… heh… heh
Yang lainnya menutup mulutnya dengan kipas emas, serak menawan cekikikan.
“Kalau bukan karena darah keturunan raja, sudah dari tadi ku usir orang ini ke pasar, bahkan ku suruh pengawal membuangnya ke lembah hitam!”
Ha…ha…ha! Kali ini tawa mereka bergema lepas, memantul di seantero istana
Sultan Al-Fariz berhenti sejenak. Ia menoleh, matanya yang teduh enatap tajam. Hening, dengan tatapan itu membuat du bangsawan tadi langsung pura-pura sibuk membetulkan jubah mereka.
Tapi Tawa sinis penuh kecongkakan sudah terlanjur meninggalkan bekas dan jejak di lorong sempit itu.
Dalam hatinya, suara sumpah lama kembali bergeming seolah-olah menggema di kepalanya
Kekuatanmu akan disegel. Kau hanya boleh mengalaminya kembali ketika kau benar-benar mengerti apa itu wibawa sejati !!
Sultan Al-Fariz tersenyum tipis. Hinaan ini, rasa sakit ini ….. Adalah bagian dari jalan panjangnya. Ia terus melangkah.
Ruang Sidang Istana
Kraak !, pintu kayu jati yang tinggi terbuka, suuara engselnya memecak kesunyian. Semua kepala menoleh.
Ruang sidang yang luas, lantainya berlapis ubin permata hijau yang berkilaian seperti permukaan danai. Tiang-tiang emas menjulang menopang langit-lagit yang megah. Kursi-kursi besar para bangsawan berderet melingkar, berhiaskan ukiran gading dan permata. Para bangsawan seperti burung merak yang mengembangkan bulunya, saling bersaing dalam keindahan pakain mereka.
Di tengah-tengah berdiri Sultan Al-Fariz, dengan jubah yang kusut dan berdebu yang masih menempel sangat kontras dengan suasana disekeliling, jangankan dengan para bangsawan, dengan para pelayan saja Sultan Al-Fariz tanpak jauh ketinggalan dari sisi pakaian dan perhiasan yang dipakai.
Terdengar disekeliling bisik-bisik para bangsawan
“Memalukan sekali…. “
“Sultan kita kah ??, Astaga”
“Bagaimana pandangan Rakyat terhadap kita, kalau melihat pemandangan ini, pasti kita di tertawakan”
Bisik-bisik meletup di udara.
Beberapa orang menutup mulut, tapi bahu mereka terguncang menahan tawa. Ada yang tidak peduli. Tertawa lepas sambil menepuk paha. Ha Ha Ha !!!!
Salah satu pajabat tua dengan janggut yang sudah memutih. Ia sedikit membungkuk, nada suaranya manis tapi mengandung siasat yang beracun
“Apumpun Tuanku…… Apakah anda benar benar Sultan, tetapi.. Kenapa penampilan anda seperti ini ?.
Bagaimana rakyat akan percaya, bila seorang Sultan berpenampilan seperti seorang pedagang yang bangkrut ?
Tawa pecah lebih keras hahaha, hihihihi!!!
Ada yang sampai menepuk nepuk meja, Duakk!!! Membuat gelas emas bergetar.
Sultan Al-Fariz tetap diam. Ia tetap berdiri dan berucap dengan suara rendah tapi menggema
“Apakah kejayaan seorang Sultan hanya diukur dari pakaian yang melekat ?, apakah seorang Sultan bisa diukur dari tampilan luar dan zahir ?
Sontak mendadak sunyi Hanya bunyi api dari obor yang terdengar menyala.
Tiba-tiba seorang bangsawan yang lebih muda, wajah tampan dengan sombongnya, bangkit dari kursinya. Tangan nya menghetak meja. Dummmm!!
“Jika bukan dari pakaian dan tampilan luar, lalu dari mana Tuanku??!” dengan suara lantang. “Dengan jubah lusuh bahkan pengemispun malu memakainya ? Rakyat butuh simbol kemewahan, rakyat butuh tampilan, bukan Sultan yang mirip orang buangan dan gelandangan !”
Serentak bersorak setuju. “Benar, hahaha !! benar sekali.
SUltan Al-Fariz tidak bergeming. Justri tersenyum dingin, tajam, lebih menusuk daripada sebilah pedang tajam.
“Kalau begitu aku memang pengemis, pengemis yang datang untuk menuntut kembali martabat negerinya.”
Kata-kata itu menghujam keseluruh ruangan seperti petir. Semua wajah berubah. Sebagian terdiam, sebagian terperanjat, dan semakin merah padam wajah wajah yang ada di ruang sidang.
Seorang penasihat senior mencoba menenangkan , suara lirihnya bergetar. “Tuanku… bukan maksud hamba merendahkan. Tapi istana ini punya tata krama. Ada adab ada wibawa. Penampilan Tuanku… tidak mencerminkan sebagai seorang Sultan yang Agung dan berwibawa;
Sultan Al-Fariz menoleh. Tatapannya tajam, suaranya naik setingkat “Adap bukanlah pakaian yang melekat, atau tapilan fizik!! Wibawa bukanlah kain yang mewah dan berkilau! Kalian kira leluhur kita memimpin dan menaklukkan negeri ini dengan emas berlian ? tidak, sekali kali tidak !! mereka berjuang dengan darah, keringat dan keberanian, serta dengan keadilan.
Suara sultan menggema, mengguncang dinding balairung. Beberapa bangsawan yang hendak tertawa tiba-tiba bungkam, kakinya kaku dan hening seraya duduk di kursi mewah meraka.
Tapi mereka belum puas. Mereka berdiri lagi, kali ini menepuk meja dengan kerasnya DUAKK!!, hingga cawan emas dan gelas gelas terlempar jatuh berkelontangan ke lantai.
“Mulutmu tajam, AL-Fariz !! tapi apakah bisa kau buktikan, bahwa seorang sultan tanpa kemewahan bisa tatap disegani ?!!!
Sultan Al-Fariz melangkah maju, dengan langkat berat, setiap pijakannya berbunyi, Duk Duk.
Dan berhenti tepat di hadapan bangsawan itu, menatapnya lurus tanpa berkedip.
“Bukan hanya bisa dan mampu”, suara rendah dan membara
“Akan ku buktikan. Bukan dengan baju, bukan dengan harta. Tapi dengan tindakan dan keadilan. Bila waktunya tiba … kalian akan menunduk kepada ku. Bukan pada pakaian yang aku kenakkan dan pada keberanian seorang Sultan yang sejati
Hening ……
Deting perhiasan di leher seorang bang sawan terdengar jelas saking heningnya. Tidak ada yang berani menanggapi. Bahkan bangsawan muda tai hanya mendengus ringan, wajahnya memerah dan kembali duduk di kursinya.
“Ini baru awal. Hinaan demi hinaan akan terus datang” Sultan Al-Fariz bergumam dalam hati. Tapi api yang ia nyalakan hari ini, suatu saat akan membakar semua keragu-raguan
Ia duduk di sudut aula, seorang pengawal menunduk, menyembunyikan senyumnya, ini baru Sultan sejati… tidak goyah dengan hinaan, tapi menyulut api yang membara di dalam dadanya.
Di tengah riuhnya tawa para bangsawan di Balairung agung, Sultan Alfariz berdiri teggak. Tatapannya tajam, wajahnya diterangi cahaya mentari yang menempus dari kaca patri berwarna warni. Seolah langit memilihnya sebagai pusat perhatian
“Cukup!”
Suara Sultan Al-Fariz meledak bagaikan gelegar guruh
Tawa terhenti seketika,
Sultan Alfariz melangkah maju, sepatu kulitnya beradu dengan lantai pualam, menggema berat dan membuat dada-datar bergemuruh.
“Apakah kalian lupa siapa yang berdiri diadapan mu?” suara menyapu sepeerti cambuk “Apakah pakaian lusuhku lebih hina dari hati kalian yang kotor?”
Para bangsawan menunduk, tapi ada sebagian yang mendengus, tidak rela dihantam kata-kata Sultan Al-Fariz
Datuk Malik, pejabat tua dan senior, bangkit dengan hati-hati. Ia menekan tongkat nya kelantai agar suara terdengar tegas.
“Tuan, tiada maksud kami menghinakan, “katanya dengan nada pura-pura. “Namun penampilan tuan di hadapan rakyat tentulah memberi kesan kurang baik. Seorang Sultan yang Agung dan di puja rakyat seperti seorang pengemis ?” dengan menekankan nadanya agar terdengar begitu terhina.
“Pengemis?”, ulang Sultan Al-Fariz, dengan suara rendah tapi penuh ancaman. “Andai dengan pakaian ini aku dibilang pengemis, aku lebih memilih jadi pengemis yang jujur, daripada jadi bangsawan berlapis kemewahan tapi berhatik busuk dan bejat”
“Kurang ajar!”, teriak Tengku Razak seorang bangsawan muda. Ia memukul meja dengan kuatnya Duakk””. “Beerani sekali tuan menyamakan kami dengan kebusukan dan ini sangat menghina kami!!”
“betul , benar sekali !!”, seru yang lainnya, “seorang Sultan tidak boleh bicara begitu!”
SUltan Al-Fariz melangkah maju, menembus kerumunan, dengan tatapan yang penuh amarah. Dia berhenti di hadapan Tengku Razak. Begitu dekatnya hingga nafas mereka hampir bertemu. “Kau bicara soal martabat?” . martabat negeri ini tidak terletak pada emas dan kemewahan yang kau pakai. Katakan padaku, apa yang kau sudah lakukan untuk negeri ini selain hanya menumpuk kemewahan dengan keserakahanmu
Tengku Razak terdiam, wajahnya memerah kehitaman. Tangannya mengepal gemetar menahan amarah.
Di sisi lain, seorang perempuan, Puan Aisyah . bangkit dengan kipas emas ditangannya. “Namun tuan paduka… tentu rakyat akan bertanya-tanya. Kenapa Sultan tidak tampil gagah seperti dahulu? Apakah ini tanda kekalahan dan kelemahan ?. bahwa istana ini sudah runtuh dari dalam ?”
Yang lainnya mengangguk-angguk, tanda setuju. “Benar tuan !!”, mereka serempak
“Kekalahan sejati tidak diukur dari pakaian yang dipakai. Ucap Sultan Al-Fariz. “Tapi ketika hati kita dikuasai kesombongan dan keserakahan. Kalian mentertawakan aku karena lusuh, sementara aku menangisi kalian yang berkilau dengan kemewahan semu.
“Paduka, izinkan hamba Berbicara !”, “Jika Paduka datang dengan pakaian lusuh.. Hamba yakin, itu bukan karena Paduka tak mampu. Pasti ada pesan yang ini paduka sampaikan !”. Terdengar suara dari sudut ruangan, seorang pengawal muda menyela , sontak para bangsawan menoleh dengan mata tajam seolah olah hendak membungkam
Sultan Al-Fariz menatap pemuda itu, lalu tersenyum samar.
“Benar. Kau lebih mengerti dari mereka yang duduk di kursi-kursi emas ini,”Aku datang untuk mengingatkan kalian semua. Kekuasaan bukanlah dengan gemerlap dan penuh ketamakan, serta penuh kemewahan. Kekuasaan itu berdiri dengan berani bersama rakyat dan menegakkan keadilan. Walau terlihat hina dihadapan orang congkak dan serakah”
Beberapa bangsawan tertunduk sambil mengertakkan giginya.
Duakk!!, Datuk Malik menghentakkan tongkatnya, yang dari tadi menahan ketegangan.
“Cukup sudah! Jika itu pilihan Tuan Paduka… mari kita teruskan sidang. Negeri ini tidak bisa menunggu perselisihan kata-kata dan urusan yang sepele ini.
“Ya. Sidang belum usai. Dan mulai saat ini …” suara Sultan Al-Fariz meninggi, dan bergemuruh. “Aku akan membuka kedok siapa yang benar-benar peduli terhadap negeri ini. Dan siapa yang hanya peduli dengan kekuasaan dan kemewahan semata.
Balairung hening. Tidak ada yang bersuara dan tidak ada yang bernafas lega. Karena mereka tahu bahwa kata-kata itu bukan hanya sekedar ancaman. Ini awal dari badai bagi mereka.