Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Atau Perang?
Sudah tiga hari sejak Leon datang ke kamarku malam itu.
Tiga hari sejak pengakuannya yang membingungkan. Sejak tatapan matanya yang tidak lagi sepenuhnya dingin, tapi juga belum cukup hangat untuk disebut cinta.
Dan selama tiga hari itu pula… pikiranku kacau.
Bagaimana bisa seorang pria yang membeliku, mengancamku, menghancurkan kehormatanku,juga menjadi pria yang mengisi ruang-ruang kosong dalam benakku?
Aku membenci diriku karena membiarkan hatiku bergetar.
Tapi aku lebih membenci kenyataan bahwa aku belum bisa berhenti menunggunya.
“Lana, kamu yang handle presentasi internal hari ini, ya.”
Aku menoleh ke Dinda, rekan sesama peserta magang. Dia menatapku dengan senyum manis, walau ada sorot ragu di matanya. “Senior marketing-nya mendadak cuti. Kamu yang dinilai paling siap.”
Aku mengangguk pelan, walau tangan mulai dingin. “Baik.”
Presentasi ini akan langsung dinilai oleh... divisi direksi. Termasuk Leon.
Tentu saja.
Setiap langkahku di perusahaan ini, seolah selalu bermuara padanya.
Ruang rapat lantai 28 lebih megah dari bayanganku. Dinding kaca transparan memperlihatkan pemandangan kota Jakarta yang padat. Kursi-kursi kulit hitam disusun melingkar. Layar proyektor menyala.
Aku berdiri di depan ruangan dengan pointer di tangan. Slide presentasi produk baru ditampilkan. Tanganku sedikit gemetar.
Hening. Semua mata tertuju padaku.
Termasuk dia.
Leon duduk di kursi paling tengah. Dikelilingi jajaran eksekutif. Dasi hitamnya rapi. Wajahnya tanpa ekspresi. Tapi matanya tetap sama. Penuh klaim. Penuh kendali.
Aku menarik napas.
Tidak, aku tidak boleh gentar.
Kalau aku ingin bebas, kalau aku ingin mengambil kembali hidupku, aku harus berdiri. Harus bicara. Harus menunjukkan bahwa aku bisa lebih dari sekadar “miliknya”.
“Ada dua hal yang membuat produk ini layak didorong ke pasar luas,” ucapku lantang. “Pertama, nilai fungsionalitas yang sederhana tapi fleksibel. Kedua,pengalaman pengguna yang personal dan menyentuh sisi emosional.”
Beberapa direktur mengangguk. Aku mulai tenang.
“Target pasar kita bukan hanya mereka yang punya daya beli, tapi mereka yang ingin merasa terkoneksi. Dan untuk itu, kita perlu menjual cerita, bukan hanya fitur.”
Salah satu direktur tersenyum. “Kamu bicara seperti marketing senior, Lana.”
Aku tersenyum singkat.
Tapi saat mataku bertemu pandang dengan Leon, ekspresinya tetap datar. Dia menyandarkan tubuh, menatapku dalam.
“Apa kau bicara dari pengalaman pribadi?” tanyanya tiba-tiba.
Semua orang menoleh padanya. Termasuk aku.
“Apa maksud Anda?” tanyaku, mencoba terdengar profesional.
“Cerita. Emosi. Koneksi.” Dia menatapku tajam. “Kau terdengar sangat... personal.”
Aku merasakan panas menjalar ke wajahku.
“Tentu tidak,” jawabku datar. “Saya hanya mempresentasikan strategi, bukan mengumbar perasaan.”
Beberapa orang tertawa kecil.
Leon hanya menatapku lebih dalam.
“Tapi kau melakukannya dengan sangat meyakinkan,” gumamnya pelan. “Terlalu meyakinkan.”
Aku menarik napas pelan.
Dan saat itu, pintu ruangan terbuka.
Seorang pria muda masuk, membawa dokumen. Rambutnya sedikit berantakan, tapi jasnya rapi. Wajahnya tampan,dengan aura santai yang kontras dengan atmosfer kaku ruangan.
“Oh, maaf. Saya diminta menggantikan Pak Rico sebagai pengawas audit,” katanya ringan. “Saya Arvino Mahendra.”
Leon menoleh cepat.
Dan aku tidak bisa tidak memperhatikan kilatan di matanya.
Arvino berjalan ke arah kursi kosong di dekatku. Sambil tersenyum, dia mengangguk sopan. “Lana Ayudia, ya? Presentasinya bagus.”
Aku mengangguk, sedikit gugup. “Terima kasih.”
Leon menatap kami berdua dengan ekspresi sulit ditebak.
Presentasi selesai. Aku keluar ruangan dengan langkah cepat, ingin segera menjauh dari tatapan Leon yang seakan membekukan udara.
Tapi suara seseorang menghentikanku.
“Lana, tunggu.”
Arvino menyusulku. “Aku belum sempat kenalan dengan benar tadi.”
Aku tersenyum sopan. “Saya Lana.”
“Sudah tahu,” jawabnya cepat. “Kamu pembicara terbaik hari ini. Leon jarang memperhatikan peserta magang. Tapi kamu... kamu berhasil membuatnya bicara.”
Aku mengangkat alis. “Dia bicara untuk menjatuhkan.”
“Tidak juga,” Arvino tersenyum miring. “Dia hanya bicara seperti itu pada dua tipe orang: musuh... atau orang yang menarik perhatiannya.”
Aku tertawa kecil, meski getir.
“Kalau boleh tahu, kamu sudah kerja berapa lama di sini?” tanyanya.
“Baru dua minggu.”
“Luar biasa.” Dia menyentuh dagunya. “Kalau kamu butuh bantuan adaptasi... aku bisa bantu.”
Aku menatap matanya yang terlihat tulus. Dan untuk pertama kalinya sejak bekerja di Revanza Corp, aku merasa bisa bernapas.
Sore itu aku pulang lebih lambat dari biasa. Begitu sampai di kos, aku melempar tas dan langsung menjatuhkan diri di kasur.
Ponselku berbunyi.
Pesan dari L:
“Siapa dia?”
Aku mengetik cepat:
“Rekan kerja. Kenapa?”
Balasannya datang seketika:
“Jangan dekat-dekat dia.”
Aku mendengus.
“Anda bukan siapa-siapa saya.”
Beberapa detik kemudian, ponsel berdering.
Aku mengangkat.
“Aku bilang jangan dekat-dekat dia.” Suaranya rendah. Tegas.
“Kau tidak berhak mengaturku,” kataku dingin.
“Aku sudah mengatur hidupmu sejak kau menandatangani kontrak itu.”
Aku berdiri. “Kontrak itu hanya semalam. Dan sudah selesai.”
“Tidak, Lana.” Napasnya terdengar berat. “Kontrak itu... belum pernah benar-benar selesai.”
Klik. Telepon ditutup.
Dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar takut.
Bukan karena dia mengancamku.
Tapi karena aku tahu... aku sedang memasuki perang. Antara kebebasan dan ketertarikan. Antara akal sehat dan obsesi.
Antara cinta… dan kekuasaan.
Malam itu, aku duduk di balkon kecil kosku, memandang langit Jakarta yang tak pernah gelap sempurna.
Angin berhembus pelan, membawa bayangan dua pria yang kini memenuhi pikiranku.
Leon sang pemilik segalanya, termasuk luka dan kekuasaan yang menjeratku.
Arvino pria asing dengan senyum hangat yang terasa seperti pelarian.
Dan aku, Lana, hanya perempuan biasa yang mencoba berdiri di antara mereka.
Tapi satu hal yang kutahu dengan pasti.
Aku tidak mau menjadi pion dalam permainan siapa pun lagi.
Mulai besok… aku akan menentukan permainanku sendiri.
Walau itu berarti harus menghadapi Leon.
Atau... mengandalkan Arvino.
Suara derit jendela yang terbuka tertiup angin malam menggema di kamar itu, mengisi keheningan yang menggantung di antara mereka. Leonhart berdiri di dekat meja, masih dengan tubuh setengah telanjang, sementara Lana menggenggam erat selimut putih yang membungkus tubuhnya. Kulitnya masih terasa hangat, bekas sentuhan yang tidak bisa dia lupakan begitu saja, meski seluruh hatinya memerintahkan untuk membenci lelaki itu.
"Aku tak mengerti apa sebenarnya yang kau mau dariku..." bisik Lana lirih, nyaris tak terdengar.
Leonhart membalikkan tubuhnya perlahan. Tatapan itu kembali menyala. Matanya seperti pisau yang bisa mengiris pelan-pelan, penuh perhitungan namun tetap dalam dan memikat. “Aku sudah membayar, Lana. Dan aku tak pernah membeli sesuatu yang tak berguna.”
Ucapan itu menusuk seperti sembilu. Lana mengepalkan jemarinya di balik selimut. Antara marah, malu, dan hina. Tapi lebih dari itu… ada bagian dari dirinya yang justru gemetar bukan karena takut,melainkan karena penasaran akan sosok pria ini yang begitu sulit ditebak.
Leonhart melangkah pelan ke arahnya, menunduk hingga wajah mereka hanya berjarak sejengkal. Nafasnya menyapu kulit wajah Lana, menciptakan desiran yang tak bisa ditahan meski ia mencoba keras untuk tetap tenang.
“Kau tahu yang paling menarik darimu?” Leonhart berbisik, jemarinya mengusap helai rambut Lana yang jatuh ke pipinya. “Kau berpura-pura membenciku, tapi matamu selalu bicara lain.”
Lana membuang wajahnya ke arah lain, menahan denyut di dadanya yang semakin liar. "Kau salah."
Leonhart terkekeh rendah, bukan tawa yang menyenangkan, tapi cukup membuat jantung Lana berdebar tak karuan. Ia menyingkap selimut itu perlahan, tak terburu-buru, seperti pemburu yang tahu korbannya sudah tak bisa lari ke mana pun.
“Kau bisa pura-pura suci semalaman, tapi tubuhmu jujur,” bisiknya di telinga Lana, membuat tubuh perempuan itu gemetar.
"Aku terpaksa," suara Lana akhirnya keluar. Pelan, tapi terdengar getir.
Leonhart menatapnya sesaat. Senyum di sudut bibirnya menghilang, digantikan ekspresi serius. Dia berdiri, menjauh sedikit dari ranjang. Tangannya meraih baju kemeja yang tadi dia tanggalkan.
"Kau tak sendiri dalam keterpaksaan, Lana," ucapnya sambil mengenakan pakaian. "Bedanya, aku memilih untuk memanfaatkan keadaan, bukan mengeluhinya."
Perkataan itu menggantung lama di udara. Lana mengerjap, hatinya mendadak terasa nyeri. Ada luka yang mengintip di balik kalimat pria itu. Luka yang tak dia pahami, tapi cukup untuk membuatnya bungkam.
Leon melirik jam dinding. "Kau bisa tidur di sini. Tapi besok pagi jam enam, kita sarapan bersama ayahku. Anggap saja ini... pemanasan menjadi istri CEO."
"Istri sewaan," Lana membetulkan.
Leon tertawa kecil, tidak menanggapi. Tapi sebelum dia benar-benar keluar dari kamar, dia sempat berbalik dan berkata, “Jangan jatuh cinta padaku, Lana. Aku bukan pahlawan dalam dongengmu.”
Lalu pintu tertutup.
Lana duduk sendirian di ranjang besar itu. Tubuhnya masih terasa lelah, tapi pikirannya berputar tanpa henti. Kata-kata Leon menyusup seperti racun perlahan. Bukan pahlawan dalam dongengmu… Kalimat itu seperti peringatan, atau mungkin sebuah luka yang sedang disembunyikan.
Ia mengalihkan pandangannya ke sisi ranjang yang kosong. Bau tubuh lelaki itu masih tertinggal di seprai. Bau maskulin yang anehnya mulai familiar dalam ingatannya.
Lana mendesah. Apakah dia benar-benar menjual dirinya hanya untuk melindungi ibunya? Apa yang akan terjadi jika hatinya benar-benar terseret terlalu jauh dalam permainan ini?
Pagi harinya, matahari belum sepenuhnya muncul ketika Lana berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana yang disiapkan oleh pelayan rumah. Rambutnya digelung rapi, wajahnya dipoles tipis dengan make up natural. Tapi matanya tetap menampakkan kelelahan.
Ia berjalan pelan menuju ruang makan utama.
Di sana, Leon sudah duduk lebih dulu, tampak tenang dengan kemeja hitam elegan. Di sampingnya, seorang pria paruh baya dengan sorot mata tajam menatap Lana,ayah Leonhart.
“Selamat pagi, Ayah,” sapanya. Suaranya terdengar datar, nyaris tanpa nada emosional.
Ayah Leon hanya mengangguk. Pandangannya menilai Lana dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Ini istrimu?” tanyanya datar.
Leon mengangguk. “Iya. Perempuan yang kupilih untuk menyelamatkan reputasi keluarga kita.”
Pria itu menyipitkan mata. “Semoga dia bukan hanya cantik, tapi juga pintar. Aku tak mau pewaris Hartono Group terlihat tolol karena wanita.”
Lana tertegun. Dia ingin menjawab, tapi Leon menyentuh tangannya di bawah meja. Sebuah tekanan lembut,sinyal agar dia diam. Dan untuk alasan yang tidak bisa dia jelaskan, Lana menurut.
Mungkin karena untuk pertama kalinya… dia merasa dilindungi.
Tapi ia juga sadar, perlindungan itu tak pernah gratis.
Atau keduanya.