NovelToon NovelToon
Diselingkuhi Dokter, Dipinang Pemilik Rumah Sakit

Diselingkuhi Dokter, Dipinang Pemilik Rumah Sakit

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Pelakor jahat
Popularitas:8.7k
Nilai: 5
Nama Author: Isti arisandi

Kinanti, seorang dokter anak yang cerdas dan lembut, percaya bahwa pernikahannya dengan David, dokter umum yang telah mendampinginya sejak masa koass itu akan berjalan langgeng. Namun, kepercayaan itu hancur perlahan ketika David dikirim ke daerah bencana longsor di kaki Gunung Semeru.

Di sana, David justru menjalin hubungan dengan Naura, adik ipar Kinanti, dokter umum baru yang awalnya hanya mencari bimbingan. Tanpa disadari, hubungan profesional berubah menjadi perselingkuhan yang membara, dan kebohongan mereka terus terjaga hingga Naura dinyatakan hamil.

Namun, Kinanti bukan wanita lemah. Ia akhirnya mencium aroma perselingkuhan itu. Ia menyimpan semua bukti dan luka dalam diam, hingga pada titik ia memilih bangkit, bukan menangis.

Di saat badai melanda rumah tangganya datanglah sosok dr. Rangga Mahardika, pemilik rumah sakit tempat Kinanti bekerja. Pribadi matang dan bijak itu telah lama memperhatikannya. Akankah Kinanti memilih bertahan dari pernikahan atau melepas pernikahan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isti arisandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3. Jantung yang terus berdebar

Udara malam di perbukitan terasa dingin, menusuk perlahan hingga ke tulang. Angin membawa bau tanah basah dan bunga liar yang mekar di sela bebatuan.

Di balik kelamnya malam, kerlip lampu dari villa yang berjajar rapi di lereng bukit tampak hangat dan menenangkan.

Naura melangkah cepat, menyusul David yang berjalan satu langkah di depannya.

Keduanya baru saja sampai setelah menempuh perjalanan panjang. Kejadian tadi, Naura yang tertinggal travel dan David yang turun hanya demi menjemputnya, masih meninggalkan rasa hangat di dada gadis itu. Meski tubuhnya lelah, matanya tetap menyapu sekeliling dengan rasa takjub dan sedikit gugup.

Villa villa yang mereka lewati tampak elegan, berdiri anggun di antara hijaunya bukit dan langit yang mulai menggelap sempurna.

Cahaya keemasan dari lampu-lampu kecil di taman menambah kesan romantis. Naura mengeratkan jaketnya, berusaha mengusir dingin dan degup aneh di dadanya.

Mereka akhirnya sampai di sebuah villa di ujung jalan setapak. Seorang pria paruh baya dengan sweater rajut dan celana bahan duduk di teras depan, tampak sedang menikmati secangkir kopi.

“Malam, Pak,” sapa David dengan sopan.

Pria itu mengangkat wajahnya, memeriksa mereka dengan tatapan ramah namun cermat. “Malam. Ada yang bisa saya bantu?”

“Apa masih ada villa kosong, Pak?” tanya David.

Pria itu meletakkan cangkirnya, berdiri perlahan. “Masih ada satu. Tapi kalau kalian mau menginap di sini, saya butuh fotokopi buku nikah dan KTP. Itu syarat kami untuk pasangan yang menginap.”

Naura langsung menahan napas. Jantungnya berdebar tak menentu. Ia menggigit bibir bawahnya, bingung harus berkata apa. Bagaimana mungkin ia dan David, yang notabennya Kakak ipar, bisa menunjukkan buku nikah?

Tapi sebelum kecemasannya semakin menjadi, David dengan tenang mengeluarkan beberapa lembar dokumen dari saku jaketnya. Dengan tangan mantap, ia menyerahkan semuanya kepada sang pemilik villa.

“Kami bawa, Pak. Ini fotokopi buku nikah dan foto kopi KTP saya dan istri saya,” ujarnya tenang.

Naura membelalakkan mata. Ia menoleh ke arah David, tak percaya dengan apa yang baru dilihatnya. Tapi pria itu tak mengatakan apa pun. Hanya menatap lurus ke depan dengan wajah tenang dan senyum kecil yang menenangkan.

Pemilik villa menerima dokumen itu, memperhatikan wajah Naura. Dahi pria itu sempat mengerut, mungkin memperhatikan sesuatu yang ganjil. Tapi kemudian ia mengangguk, mengembalikan senyumnya, dan menyerahkan kunci villa.

“Wah, kalian masih tergolong pengantin baru, ya?” goda pria itu dengan tawa kecil.

David tak menjawab. Ia hanya melempar senyum tipis dan menoleh pada Naura yang masih terdiam. “Ayo,” katanya pelan.

Naura hanya bisa mengikuti. Ia masih tercengang, belum bisa berkata apa-apa saat David menggandeng lengannya perlahan dan membawa masuk ke dalam villa. Hatinya mendadak kacau, seperti ombak yang baru saja dihantam badai.

Begitu pintu tertutup, suasana hangat menyelimuti ruang utama villa yang bernuansa kayu dan batu alam.

Aroma lavender dari diffuser menyambut mereka. Tapi bukan itu yang mengganggu benak Naura.

Naura berdiri kaku di dekat sofa, menatap Davit yang tengah meletakkan dokumen mereka di meja kecil.

“ Kak David…” Naura akhirnya bicara. Suaranya hampir berbisik. “Kakak bawa buku nikah Mbak Kinanti dan… foto kopi KTP juga?”

David menoleh pelan. Sorot matanya tenang, namun ada sinar sayu yang tersimpan dalam diamnya.

“Iya. Itu kebetulan aja," jawab David enteng, semua memang kebetulan ada di tas, karena berkas-berkas itu akan David berikan pada dokter Obgin yang akan membantu proses persalinan Kinanti.

Naura menatapnya. Tubuhnya kaku, bibirnya gemetar karena tidak tahu harus marah, kagum, atau takut. “Tapi itu… itu bisa dianggap pemalsuan identitas, Kak David. Kita bukan suami istri. Dan aku… aku bukan Kinanti.”

“Aku tahu,” bisik David. “Tapi wajah kalian hampir identik. Dan ini darurat. Kita butuh tempat aman, Naura.”

Naura mengalihkan pandangannya, jantungnya masih berdetak terlalu cepat. entah kenapa rasa itu terus hadir saat di dekat david. Ia menarik napas panjang, lalu berjalan ke jendela dan menyingkap tirainya.

Pemandangan bukit yang diterangi bulan benar-benar indah, menenangkan… dan membingungkan di saat bersamaan.

David berjalan mendekat, berdiri tak jauh darinya. “Kamu bisa tidur di kamar utama. Aku akan ambil selimut dan tidur di sofa.”

Naura menoleh, menatap kakak iparnya dalam waktu lama. Bukan karena senang ia bisa tidur nyaman, tapi karena mengagumi pria itu.

Meski telah menyelamatkannya dengan kebohongan kecil, dia tetap menjaga jarak. Tetap menghormatinya.

Malam itu, mereka tidur di bawah atap yang sama, tapi dipisahkan oleh batas tak kasat mata. Namun yang tak bisa dibendung adalah kenyataan, ada rasa yang tumbuh diam-diam. Dan dalam dinginnya udara bukit, hati mereka diam-diam mulai menghangat.

***

Bip... bip... bip...

Nada ponsel yang khas memecah keheningan villa, menggema pelan di antara dinding kayu dan udara dingin yang mengambang.

Naura mengerjapkan mata, lalu meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal. Layarnya menyala, menampilkan nama yang membuat hatinya bergetar sedikit, Kinanti.

Dengan napas yang sedikit ditahan, ia menekan tombol hijau dan menyandarkan tubuh ke bantal empuk di belakang punggungnya.

"Halo, Mbak?"

"Naura, kamu di mana sekarang?" suara Kinanti terdengar cepat dan cemas. "Kata Yusuf kamu ketinggalan travel?"

Naura menatap langit-langit villa yang dihiasi lampu gantung rotan. Malam ini terlalu tenang. Terlalu penuh rahasia.

"Iya, Mbak," ucap Naura pelan. Ia berusaha menahan suara agar tetap terdengar wajar. "Sepertinya aku memang harus istirahat beberapa hari lagi di sini, biar cepat pulih."

"Kamu sakit?" Nada suara Kinanti naik satu oktaf. Kecemasan yang tulus, yang menusuk pelan ke dalam hati Naura.

Naura buru-buru tersenyum kecil, meski senyum itu hanya untuk dirinya sendiri. “Enggak, Mbak. Cuma keseleo sedikit pas buru-buru ngejar travel. Mbak enggak usah cemas.”

Ia melirik ke ruang tamu. Dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka, terlihat David duduk di sofa, menatap serius layar laptop di depannya. Matanya fokus, jemarinya sesekali mengetik cepat.

Kinanti terdiam sejenak di seberang. “Oh iya… Mas David di mana sekarang? Dia enggak nemenin kamu?”

Naura menelan ludah, merasa dada kirinya seolah dicekik pelan oleh rasa bersalah. Ini kebohongan pertama yang ia lontarkan pada Kinanti malam ini, dan rasanya seperti berdiri di tepi jurang yang licin.

“Mas David…” Naura menarik napas pelan. “Mas David sekarang lagi sibuk bantu dokter lain menangani pasien.”

Dusta.

Dusta kecil. Tapi cukup untuk membuat hatinya berdebar kencang.

Padahal kenyataannya, pria itu hanya beberapa meter darinya. Di villa yang sama. Di bawah atap yang sama. Dan sedang tak mengerjakan apa pun selain membuka data di laptop, mungkin laporan medis atau berita dari rumah sakit pusat.

“Ya sudah deh, yang penting kamu hati-hati. Aku akan sampaikan ke Ibu kalau kamu istirahat dulu. Tapi tolong jaga diri baik-baik ya, Naura.”

“Iya, Mbak. Makasih ya. Jangan bilang-bilang soal keseleo ku ke Ibu dulu, biar enggak tambah cemas.”

“Baik.” Suara Kinanti mulai menurun. “Kalau ada apa-apa, kabari aku langsung.”

Setelah panggilan itu berakhir, Naura mendesah panjang. Ia menunduk, menatap jemarinya yang menggenggam ponsel erat-erat. Hatinya belum tenang. Entah karena kebohongannya, atau karena pria di luar sana yang keberadaannya justru memberi kenyamanan yang aneh.

Tak lama, suara kaki melangkah perlahan mendekati kamar. Naura spontan mematikan layar ponselnya dan menegakkan duduknya.

David muncul di ambang pintu, bersandar ringan dengan tangan menyilang di dada. Senyum tipis terbit di wajahnya.

“Telepon dari Kinanti?”

Naura mengangguk pelan.

“Aku bilang lagi bantu dokter lain,” lanjut Naura, mencoba terdengar santai, walau suaranya sedikit gemetar.

David tak langsung menanggapi. Ia melangkah masuk, berdiri di sisi ranjang sambil menatap Naura dalam diam.

Ada sesuatu di matanya, campuran antara rasa kasihan, rasa bersalah, dan sesuatu yang lain yang tak berani Naura tafsirkan.

“Kamu nggak harus berbohong, Naura,” ujar David lirih. “Tapi terima kasih karena sudah menjaga perasaannya.”

Naura menunduk. “Aku juga gak ngerti kenapa aku bilang kayak gitu. Mungkin karena... aku tahu Mbak Kinanti percaya penuh sama kita, tapi tetap saja kita harus jaga perasaannya.”

David mengangguk. Ia menarik napas panjang, lalu membenarkan selimut Naura. Gerakan yang biasa. Tapi malam ini terasa berbeda. Terlalu lembut, terlalu hati-hati.

“Kalau kamu butuh apa-apa, tinggal panggil,” katanya, lalu berbalik menuju pintu.

Sebelum benar-benar keluar, ia berhenti sejenak. “Dan satu hal lagi…”

Naura menoleh, menatap punggung pria itu yang terlihat begitu tenang.

“Kamu aman di sini, Naura. Meskipun dunia di luar membingungkan, tapi di villa ini, kamu gak akan pernah sendirian.”

Pintu ditutup perlahan. Suara angin yang mengelus jendela kembali menjadi latar utama malam itu.

Naura menarik selimut hingga ke dada. Ia memejamkan mata. Tapi bukan untuk tidur, melainkan untuk menenangkan hati yang mulai dilanda badai.

Kagum, Naura semakin hari semakin mengagumi kakak iparnya, seperti lelaki tipe impiannya. Tampan, penyayang, dan juga perhatian.

(Selamat membaca)

1
Ma Em
Thor semoga kebohongan Naura dgn David terbongkar sebelum Naura menikah dgn Yusuf , serapih rapihnya nyimpan bangkai baunya akan tercium juga .
Rahmi
Lanjutttt
Rian Moontero
lanjuuuuttt/Determined//Determined/
Yunia Spm
keren
Yunia Spm
definisi ipar adalah maut sebenarnya....
watini
badai besar siap menghancurkan davit naura.karna kebusukan tak kan kekal tersimpan.moga Yusuf ga jadi nikahin Naura,dan mendapatkan jodoh terbaik.
watini
suka cerita yg tokoh utamanya wanita kuat dan tegar.semangat thor,lanjut
Isti Arisandi.: terimakasih komentar pertamanya
total 1 replies
Isti Arisandi.
Selamat membaca, dan jangan lupa beri like, vote, dan hadiah
Isti Arisandi.: jangan lupa tinggalkan komentar dan like tiap babnya ya...😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!