NovelToon NovelToon
PENANTIAN CINTA HALAL

PENANTIAN CINTA HALAL

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: ZIZIPEDI

Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.

Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.

Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

3 PENANTIAN CINTA HALAL

Menjadi santri berarti siap menyambut pagi dengan penuh keberkahan. Alarm ponsel Aila berdentang pelan, cukup untuk membangunkan tubuhnya yang masih berselimut dingin Subuh. Ia bangkit dari tempat tidur, mengambil air wudhu, dan segera menunaikan salat Subuh berjamaah bersama Umi Nyai Fatimah di masjid pesantren.

Selesai berzikir dan membaca wirid, Aila mencium tangan Uminya.

"Umi... hari ini Aila izin ya, ndak bantu di dapur. Aila dapat tugas jadi petugas upacara."

Fatimah tersenyum lembut, mengusap kepala anaknya.

"Iya, Nduk. Ndak papa. Niatkan lillahi ta'ala ya. Sekarang ndang ganti seragammu."

Aila mengangguk patuh, lalu masuk ke kamarnya. Ia memilih seragam Madrasah yang rapi dan syar’i. Tak lupa memeriksa panjang jilbabnya agar menutupi dada dengan sempurna. Ia pun menyemprotkan sedikit minyak wangi yang tak mencolok, hanya sekadar menyegarkan diri.

Pagi Senin seringkali dianggap menyebalkan bagi sebagian santri, namun tidak bagi Aila. Ia mencintai hari-hari belajar. Dalam hati ia meyakini, "Hari Senin adalah awal pekan, awal semangat untuk menuntut ilmu."

Setelah berpamitan dengan Abah Yai dan Umi Nyai, Aila duduk di teras ndalem, mengenakan sepatu. Karena terburu-buru, ujung jilbabnya sedikit tersampir di atas bahu. Saat ia berdiri, tampak seorang pria berdiri di hadapannya.

Mas Bayu.

Kedua tangan Mas Bayu-nya masuk ke saku jasnya. Tatapannya tajam namun tenang.

"Mau berangkat ke Madrasah dengan penampilan seperti itu, Aila?"

Aila terdiam. Bayu melanjutkan.

"Rapikan jilbabmu. Jangan biarkan auratmu jadi sebab dosa bagi orang lain."

Seketika Aila menunduk, menarik kembali ujung jilbabnya ke bawah hingga menutupi dada.

"Astagfirullah..." batinnya menyesal.

"Iya, Mas. Maaf. Aila buru-buru. InsyaAllah tak Aila ulangi."

"Jaga amanah sebagai santri. Bukan hanya dengan lisan, tapi juga dengan penampilan."

Aila mengangguk, lalu bergegas.

"Assalamualaikum."

pamit Aila cepat, malas berdebat dengan Mas Bayu-nya.

"Wa'alaikumussalam," jawab Bayu lirih. Matanya mengikuti langkah sang adik dengan raut lebih tenang.

Di Madrasah, Aila bertugas sebagai pemimpin upacara. Seragam barunya, kemeja putih longgar dan rok abu model wiru yang lebar, memantulkan kesan anggun dan terjaga. Tak ada lekuk tubuh yang tampak, sesuai dengan anjuran syariat. Para guru memuji kerapian dan kedisiplinannya.

Selesai upacara, para santri kembali ke kelas. Aila duduk di sebelah Lani, temannya.

"Ustadzah Anis hari ini bawa guru baru loh," bisik Lani.

Beberapa saat kemudian, Ustadzah Anis masuk ke kelas dengan seorang pria yang penampilannya rapi, wajahnya bersih berjambang tipis. Aila yang semula menatapnya sekilas langsung menundukkan pandangan.

"Astaghfirullah... kenapa Mas Bayu bisa ada di sini?" batinnya gelisah. Aila lalu menunduk, tak berani menatap Mas-nya secara langsung, kalau tak ingin di ceramahi tujuh hari tujuh malam.

"Anak-anak, ini Ustadz Bayu Langit, Beliau ini lulusan terbaik dari Al Azhar Kairo. Beliau akan menggantikan Ustadz Malik mengajar Akidah Akhlak. Mohon kalian semua menyimak dan menghormati beliau sebagaimana kalian menghormati guru-guru lainnya. Fahimtum?"

"Fahimna, Ustadzah!" sahut para santri.

"Syukron. Silakan, Ustadz."

Bayu berdiri, membuka kitab kecil dari saku jubahnya, lalu berkata dengan suara tenang namun berwibawa.

"Hari ini kita akan membahas tentang adab bergaul dengan lawan jenis dalam pandangan Islam. Banyak yang menganggap pergaulan itu bebas, padahal Islam tidak melarang pertemuan antara laki-laki dan perempuan, asal dengan adab dan syariat."

Bayu mengutip surah Al-Hujurat ayat 13, lalu menerjemahkannya:

"Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa."

"Islam tidak menghapus interaksi, tetapi mengaturnya. Ada lima adab utama dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan,

Tidak berkhalwat (berduaan),

Menjaga pandangan.

Menjaga adab bicara.

Menghindari pembahasan yang memicu syahwat.

Menutup aurat dengan sempurna."

Bayu memfokuskan bahasan pada poin kedua. menjaga pandangan.

Ia mengutip surah An-Nur ayat 30, lalu menjelaskan maknanya.

"Mata yang dijaga dari pandangan haram, maka akan diberi cahaya iman oleh Allah. Barang siapa memalingkan pandangannya dari hal-hal yang mengundang syahwat karena takut kepada Allah, maka Allah gantikan itu dengan manisnya iman."

Bayu menguatkan penjelasannya dengan hadis riwayat Bukhari-Muslim tentang zina mata, zina hati, dan zina tangan.

"Zina mata dimulai dari pandangan. Karenanya, Rasulullah menyebutkannya pertama. Pandangan yang tak dijaga akan menuntun hati, dan hati akan mengajak tubuh melakukan yang lebih jauh. Maka jaga mata, jaga hati."

Para santri terdiam merenung.

Lalu Bayu menunjuk ke arah Aila.

"Aila, apakah sudah paham?"

Aila terperanjat. Ia merasa belum fokus tadi. Dengan gugup ia menjawab, "InsyaAllah faham, Ustadz..."

"Bagus. Tolong sebutkan lima adab tadi."

Aila menoleh ke Lani, dan sahabatnya langsung memberi isyarat cepat membuka catatan.

Aila membacanya pelan dan lancar. Bayu mengangguk, tapi suaranya tetap tegas.

"Jangan hanya lancar membaca. Amalkan ilmunya, karena ilmu tanpa amal akan menjadi hujjah yang memberatkan."

Aila menunduk dalam-dalam. Ia tahu, hari-harinya di Madrasah tak akan sama lagi. Mas Bayu kini bukan sekadar kakak cerewet, tapi guru agama yang akan terus menegur dalam diam, lewat ilmu yang menyentuh hati.

Aila pulang dari Madrasah dengan langkah ringan, meskipun dadanya masih sesak memikirkan bagaimana Mas Bayu bisa tiba-tiba muncul sebagai guru di kelasnya. Tapi semua itu ia tutup dengan tawa-tawa kecil bersama Lani sebelum berpisah di depan ndalem.

Setibanya di rumah, ia langsung ganti baju dan rebahan di kamar. Ponselnya berbunyi, panggilan video dari Abian. Wajah Aila berubah cerah seketika. Ia duduk bersandar di ranjang, menyampirkan kerudungnya sembarangan hanya menutup sebagian kepala. Pipinya memerah saat wajah Abian muncul di layar.

"Assalamualaikum, Mas Abi..."

"Waalaikumussalam, Dek Aila..." suara di seberang terdengar lembut.

"Mas kangen, Dek... Lihat wajah kamu, bikin pengen cepat pulang ke Indonesia."

Aila tertawa pelan, pipinya makin memerah.

"Aila juga kangen Mas Abi..." jawabnya dengan suara manja, matanya mengecil dan ekspresinya menggemaskan.

Tanpa ia sadari, Bayu Langit baru saja melewati lorong kamar menuju rak buku di ruang tengah. Suaranya terdengar jelas, dan saat mendengar nada bicara Aila yang lembut menggoda itu, Bayu langsung berhenti melangkah. Ia menoleh sekilas ke arah kamar Aila dengan dahi mengerut.

“Jaga suaramu. Nada bicaramu itu memancing syahwat.”

Suara Bayu muncul tiba-tiba dari balik pintu yang tidak tertutup rapat. Aila terkejut, refleks mematikan video call dan bangkit dari tempat tidur.

“Mas! Ini privasi Aila! Jangan asal nyelonong dan komentar!”

Bayu menatapnya datar dari ambang pintu.

“Aku tidak masuk ke kamar. Tapi suara kalian terdengar sampai luar kamar. Gaya bicaramu barusan itu tidak pantas,Aila. Bisa menarik perhatian laki-laki, termasuk orang lain yang tidak sengaja mendengarnya.”

Aila mendekat dengan wajah memerah, antara malu dan kesal.

“Tapi Aila cuma ngobrol sama Mas Abi. Kami tunangan, Mas! Wajar dong kalau rindu dan saling sapa.”

Bayu tetap berdiri tegak dengan wajah tanpa ekspresi.

“Justru karena kalian belum halal, adabnya harus lebih dijaga. Nada bicaramu manja. Tertawamu menggoda. Kau kira syahwat laki-laki hanya dipicu oleh sentuhan? Tidak, Aila. Bahkan suara bisa jadi pemicunya.”

Aila mengepalkan tangan, merasa geram.

“Mas Bayu selalu saja cari kesalahan Aila. Selalu dingin dan nyebelin! Bahkan Mas Abi saja gak pernah komplain. Kenapa sih Mas gak pernah bisa lihat Aila senang, atau mengerti sedikit aja? Aila juga perempuan, punya rasa pengen dimanja, Mas!”

Bayu menarik napas pelan, lalu menunduk sebentar, sebelum menatap mata adiknya dengan sorot tajam.

“Aku tidak ditugasi untuk memanjakanmu, Aila. Tugas seorang kakak, apalagi di ndalem pesantren, adalah menjaga. Kalau sikapku keras, itu karena aku tidak ingin kamu menjadi gadis yang ‘sok lucu-lucu’ tapi menjerumuskan. Kau calon istri seseorang. Kalau sekarang saja kau menggoda dengan suara, bagaimana setelah menikah nanti? Laki-laki tidak hanya butuh manja, tapi butuh istri yang tahu batas.”

Aila tercekat. Ucapan Bayu seperti tamparan dingin.

Bayu melangkah menjauh tanpa menunggu balasan. Suaranya masih terdengar saat punggungnya berbalik.

“Besok subuh, ikut kajian tafsir. Mungkin kamu butuh lebih dari sekadar ilmu fiqih.”

Pintu lorong kembali hening. Aila menatap lantai kamarnya, jantungnya berdetak cepat. Dadanya penuh amarah, malu, bercampur jadi satu. Ia meraih ponselnya, membuka chat Abian, tapi kemudian menutupnya kembali. Malam itu, Aila diam dalam selimut panjang pikirannya sendiri.

Dan Mas Bayu... tetap seperti biasa. Tak banyak bicara, tapi sekali berkata, menohok.

Adzan subuh berkumandang, para santri bergegas ke masjid pondok. Udara pagi itu begitu menggigit. Namun Bayu Langit, sudah siap dengan kemeja abu dan sarung rapi dipadu peci.

Masjid Pondok Pesantren Al-Fattah mulai dipenuhi para santri karena salat subuh berjamaah skan segera dimulai. Suara angin fajar berdesir melewati jendela kayu yang terbuka setengah, membawa aroma tanah basah dari pelataran masjid.

Di sisi tirai putri, para santriwati telah duduk rapi di belakang tirai putih. Aila duduk di barisan depan, membawa buku catatannya. Gamisnya kini longgar dan rapi, dipadu kerudung syar’i yang ia kenakan dengan lebih sadar dari sebelumnya.

Di depan para santri putra, Bayu Langit duduk di atas mimbar kecil dari kayu jati. Di hadapannya terbuka kitab kuning Fathul Qarib dengan coretan-coretan kecil beraksara Arab di tepinya. Suaranya terdengar tenang namun tegas, khas gaya pesantren yang menyejukkan namun sarat makna.

"Bismillahirrahmanirrahim. Subuh kemarin kita sudah bahas bab penting dalam fiqih, yaitu tentang 'Ahkam al-Mar'ah fi al-Taharah wa al-Libas'. Hukum wanita dalam bersuci dan berpakaian."

Suasana hening. Semua menyimak.

"Dalam kitab Fathul Qarib disebutkan, bahwa wanita memiliki hukum-hukum khusus dalam bersuci, mulai dari haid, nifas, hingga istihadhah. Tapi malam ini kita fokuskan dulu pada materi kita pada aurat wanita."

Bayu menjeda sejenak, menatap para santri, lalu melanjutkan.

Dan saya ingin menyampaikan sesuatu yang jarang disinggung secara serius, yaitu tentang suara wanita.”

Para santri putri langsung saling melirik, beberapa terlihat menahan napas. Aila mengecup buku catatannya, lalu mulai menulis.

Bayu melanjutkan, “Dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 32, Allah SWT berfirman.

‘Wahai istri-istri Nabi, kamu tidak seperti wanita-wanita yang lain jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara, sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.’”

Bayu berhenti sejenak. Suasana menjadi hening.

“Para ulama menafsirkan bahwa suara wanita bukanlah aurat secara mutlak. Artinya, wanita boleh berbicara, menjawab salam, berdiskusi, berdakwah, namun... jangan melembutkan suara, jangan memanjakan intonasi, jangan dibuat-buat untuk menarik perhatian.”

Ia melanjutkan sambil menatap lurus ke arah tirai bagian santri putri.

“Berbicara boleh, tapi dengan wibawa dan kehormatan. Kita tidak tahu siapa yang sedang mendengar, siapa yang di hatinya ada penyakit. Jangan sampai kita menjadi sebab turunnya dosa bagi orang lain, hanya karena ingin terdengar lucu, manja, atau menarik.”

Aila menunduk. Telinganya terasa panas. Kata-kata Bayu seperti datang menampar. Pria itu seakan tengah menyindirnya, secara terang-terangan.

Bayu kembali membuka lembar kitab di hadapannya, lalu membacanya lantang.

“Imam Nawawi menjelaskan, jika suara wanita disuarakan dengan kelembutan dan godaan, maka itu haram. Tapi jika dengan niat yang bersih dan suara yang biasa, maka itu diperbolehkan. Jadi ukuran utamanya adalah niat, bentuk suara, dan konteks.”

Ia kemudian mengangkat kepalanya, menutup dengan pernyataan tegas.

“Saudariku, adik-adiku para santri-santriku, suara kita akan dimintai pertanggungjawaban, kelak di akherat. Bahkan bisikan yang disangka biasa, bisa mencuri hati orang yang tidak halal.

Dan jika itu terjadi, bukan hanya dia yang berdosa… tapi kamu pun akan menanggung bagian dari khilaf itu. Suara wanita secara umum bukan aurat, namun perlu diperhatikan adab dan niat dalam penggunaannya. Jika suara tersebut digunakan untuk tujuan yang baik, maka diperbolehkan, namun jika digunakan untuk tujuan yang dapat menimbulkan fitnah atau maksiat, maka hukumnya haram.

Sunyi. Hanya suara lembut kipas angin yang terdengar memutar di langit-langit masjid. Aila menggigit bibirnya pelan. Kali ini bukan karena kesal, tapi karena malu. Ia teringat kembali nada bicaranya saat menelepon Abian… dan semua itu terngiang dalam ingatannya dengan lebih jernih malam ini.

Bayu kembali melanjutkan kajiannya.

"Dan kalian harus tahu, Aurat wanita itu seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan. Dan bukan hanya menutup, tapi harus dengan pakaian yang sitrun li al-jasad, yang bisa menutupi bentuk tubuhnya, tidak tipis, tidak ketat, tidak menyerupai laki-laki."

Di balik tirai, beberapa santri putri mulai saling lirih, merasa tertampar.

"Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa menjaga aurat bukan sekadar fiqih syari’at, tapi juga bentuk adab kepada Allah dan penjagaan terhadap kehormatan diri. Maka, tidak layak seorang santriwati keluar dengan pakaian yang membentuk tubuhnya, meski merasa sudah menutup aurat."

Suara Bayu mengalir dengan ketegasan lembut. Aila yang mendengarkan dari balik tirai terdiam. Ia menunduk dalam, merasa hatinya seolah digenggam oleh kalimat-kalimat itu. Ingatannya melayang ke hari kemarin, perdebatan kecilnya dengan Bayu soal rok sempit. Ia mulai mengerti. teguran itu bukan sekadar cerewetnya seorang kakak, tapi bentuk tanggung jawab yang dibalut ilmu.

Bayu Langit pun kembali menegaskan.

"Sebagian ulama mengatakan, wanita itu pusat fitnah dunia. Tapi ketika wanita menjaga dirinya, ia bukan lagi sumber fitnah, melainkan sumber ketenangan. Bahkan menjadi penjaga cahaya keluarga dan masyarakat."

"Maka tugas kita sebagai santri, baik putra maupun putri, adalah belajar, menata diri, dan menjaga adab. Bukan hanya tampilan luar, tapi niat dan kesungguhan kita dalam menjalani syariat."

Setelah kajian selesai Bayu menutup kajiannya.

Doa pun dilantunkan di akhir kajian, dengan suara lirih para santri yang mengamini dari segala penjuru masjid. Tirai putih itu menjadi saksi, bagaimana seorang kakak menyampaikan ilmu, dan seorang adik mulai memahami makna teguran dengan mata hati yang baru.

1
Ita Putri
poor bayu
Ita Putri
jangan" hamil anak almarhum dr.kenzi
R I R I F A
lanjut aku suka cerita yg islami...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!