Novia Anwar adalah seorang guru honorer di sebuah SMA negeri di kota kecil. Gajinya tak seberapa dan selalu menjadi bahan gunjingan mertuanya yang julid. Novia berusaha bersabar dengan semua derita hidup yang ia lalui sampai akhirnya ia pun tahu bahwa suaminya, Januar Hadi sudah menikah lagi dengan seorang wanita! Hati Novia hancur dan ia pun menggugat cerai Januar, saat patah hati, ia bertemu seorang pria yang usianya lebih muda darinya, Kenzi Aryawinata seorang pebisnis sukses. Bagaimana akhir kisah Novia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Air Mata Pengakuan
Setibanya di rumah, Novia masih merasakan sisa-sisa kepedihan dan keterkejutan dari apa yang baru saja ia saksikan. Tangannya masih gemetar saat ia memarkir motor. Air mata tak henti-hentinya mengalir, membasahi pipinya yang sudah sembab. Pemandangan Januar dengan wanita lain, sentuhan mesra, ciuman di pipi—semua itu berputar-putar di benaknya, menghantam hatinya berkali-kali.
Ia membuka pintu rumah dengan hati-hati, berharap bisa menyelinap masuk tanpa menarik perhatian. Namun, seperti yang sudah ia duga, Diana, mertuanya, sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah masam.
"Dari mana saja kamu, Novia? Baru pulang jam segini!" seru Diana, nadanya langsung menuduh. "Guru macam apa kamu ini? Jam segini baru pulang, padahal sekolah sudah bubar dari tadi!"
Novia tak sanggup menjawab. Tenggorokannya tercekat, dan ia takut jika ia membuka mulut, tangisnya akan pecah di hadapan Diana. Ia hanya bisa menunduk, mencoba menghindari tatapan tajam mertuanya.
"Novia! Kamu dengar tidak, sih, Ibu bicara?!" Diana mendekat, menyilangkan kedua tangan di dada. "Sudah tidak becus urus rumah, tidak becus punya anak, sekarang pulang malam pula! Kamu ini benar-benar menantu yang tidak ada gunanya!"
Setiap kata yang keluar dari mulut Diana terasa seperti pisau yang menusuk luka Novia yang masih menganga. Kata tidak berguna itu bergema di telinganya, bercampur dengan gambaran Januar yang bermesraan dengan wanita lain. Novia merasa dunia benar-benar menghimpitnya dari segala arah.
"Apa kamu tuli, Novia?" Diana terus menyerang. "Ibu tanya, dari mana kamu? Kenapa pulang telat begini? Jangan-jangan kamu keluyuran tidak jelas, ya?"
Novia akhirnya mengangkat kepala, matanya yang merah dan bengkak menatap kosong ke arah Diana. Ia ingin berteriak, ingin menceritakan semua rasa sakitnya, tapi tak ada suara yang keluar. Yang ada hanyalah isakan pelan yang tak bisa lagi ia tahan.
"Kenapa menangis? Drama apa lagi ini?" Diana mendengus jijik. "Dasar cengeng! Bisanya cuma menangis! Sudah Ibu bilang, kamu itu tidak ada gunanya! Kenapa sih Januar bisa memilih istri seperti kamu?"
Air mata Novia semakin deras. Rasanya ia ingin menghilang saja dari muka bumi ini. Beban pengkhianatan Januar dan cercaan mertuanya terasa begitu berat. Ia merasa tak punya siapa-siapa, tak ada tempat untuk bersandar. Selama ini ia sudah mencoba menjadi istri yang baik, menantu yang sabar, dan guru yang berdedikasi. Namun, semua itu seolah tak pernah cukup.
Ia berbalik, melangkah gontai menuju kamarnya, meninggalkan Diana yang masih terus mengomel di belakangnya. Di dalam kamar, Novia menjatuhkan dirinya di lantai dingin. Ia meringkuk, memeluk lututnya erat-erat, dan membiarkan air mata mengalir deras. Hatinya hancur berkeping-keping.
****
Jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam lewat. Novia masih terjaga, duduk sendirian di tepi ranjang, menanti kepulangan suaminya. Lampu kamar sengaja ia matikan, hanya menyisakan sedikit cahaya dari celah gorden yang terbuka. Pikirannya kalut. Pemandangan di kantor Januar, cercaan Diana, semua bercampur aduk menciptakan badai dalam dirinya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan.
Tak lama kemudian, suara mesin mobil Januar terdengar memasuki halaman. Novia menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Pintu rumah terbuka, dan langkah kaki Januar terdengar masuk ke dalam. Novia pura-pura memejamkan mata, berharap Januar tak menyadari ia masih terjaga. Namun, langkah kaki itu berhenti di ambang pintu kamar.
Januar menyalakan lampu tidur, dan cahaya remang-remang menerangi wajah Novia. Ia tampak terkejut melihat istrinya belum tidur. "Sayang? Belum tidur?" tanyanya, berusaha bersikap biasa, seperti tak ada yang terjadi. Suaranya terdengar sedikit lelah.
Novia membuka matanya perlahan, menatap lurus ke arah Januar. Ia tak bisa lagi menahan diri. Emosi yang sudah ia pendam seharian ini tiba-tiba meluap. "Dari mana saja, Mas?" tanyanya, suaranya serak dan bergetar.
Januar meletakkan tas kerjanya di meja, lalu duduk di tepi ranjang, di samping Novia. "Dari kantor, Sayang. Tadi ada pekerjaan yang harus diselesaikan."
"Pekerjaan apa sampai tengah malam begini, Mas?" desak Novia, matanya tak lepas dari wajah suaminya, mencari celah kebohongan. "Pekerjaan yang ditemani wanita itu?"
Januar terdiam. Ekspresi wajahnya berubah tegang. Ia menunduk, menghindari tatapan Novia. "Wanita apa maksudmu?"
Air mata Novia mulai menetes lagi. "Jangan pura-pura tidak tahu, Mas! Aku melihatmu hari ini di kantor. Dengan seorang wanita, di mobilnya. Kalian... kalian mesra sekali!" Suaranya meninggi, dipenuhi kepedihan. "Siapa dia, Mas? Jawab aku! Siapa wanita itu?!"
Januar menghela napas panjang. Ia mengangkat wajahnya, menatap Novia dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada gurat penyesalan, tapi juga ketakutan. "Novia... aku bisa jelaskan."
"Jelaskan apa?!" seru Novia, tak mampu menahan emosinya. "Jelaskan bekas lipstik di kemejamu? Jelaskan bau parfum itu? Jelaskan pelukan dan ciuman yang aku lihat langsung di depan mataku, Mas?!"
Januar mengusap wajahnya kasar. Keheningan sesaat menyelimuti kamar, hanya terdengar isakan Novia. Lalu, Januar menarik napas dalam, seolah mengumpulkan keberanian. "Dia... dia Karina, Novia."
"Karina siapa?!"
Januar menatap Novia lurus-lurus, dengan tatapan penuh beban. Kata-kata selanjutnya yang keluar dari mulutnya bagaikan petir yang menyambar. "Dia... istri siri-ku, Novia."
Novia tersentak. Seluruh tubuhnya menegang. Kata-kata itu, istri siri, terasa asing dan menusuk, menghancurkan sisa-sisa harapannya. Kepalanya terasa pening, dunia seolah berputar. Ia merasa seperti jatuh ke dalam jurang tanpa dasar. Tidak... ini tidak mungkin. Januar, suaminya, orang yang ia cintai, orang yang selalu ia percaya, tega mengkhianatinya sejauh ini?
"Apa... apa yang kau katakan, Mas?" Suara Novia sangat pelan, nyaris tak terdengar. Ia menggelengkan kepala berkali-kali, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Tidak mungkin... kau bohong, kan, Mas? Kau tidak mungkin melakukan ini padaku..."
Januar menunduk lagi, membenarkan semua ketakutan Novia. "Maafkan aku, Novia. Aku tahu aku salah. Aku..."
Sebelum Januar menyelesaikan kalimatnya, Novia sudah tidak mampu lagi mendengarkan. Seluruh tubuhnya terasa lemas, dan ia ambruk, terduduk di lantai kamar yang dingin. Air mata dan isakan pilu memenuhi ruangan. Kenyataan pahit ini jauh lebih menyakitkan daripada cercaan Diana sekalipun. Ia tidak hanya mandul di mata mertuanya, tapi kini ia juga tidak cukup di mata suaminya sendiri.
****
Suara isakan Novia yang pilu dan pengakuan Januar yang jujur rupanya terdengar hingga ke ruang tamu. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka kasar. Diana, ibu mertua Novia, merangsek masuk dengan wajah penasaran. Ia menatap Januar dan Novia yang tergeletak di lantai dengan bingung.
"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut tengah malam?!" seru Diana, pandangannya beralih dari Januar ke Novia yang masih terisak. "Novia, kenapa kamu menangis lagi? Jangan drama, ya!"
Januar yang tadinya menunduk, kini mengangkat wajahnya. Ia terlihat lelah dan putus asa. "Ibu... maafkan Januar."
"Maaf kenapa? Apa yang terjadi?" Diana mendesak. "Jangan bilang kamu bertengkar lagi karena masalah anak?"
Sebelum Januar menjawab, Diana melihat sorot mata Novia yang penuh luka dan air mata. "Januar, apa yang kamu sembunyikan?" tanyanya, ada nada curiga dalam suaranya.
Dengan berat hati, Januar akhirnya berucap, "Januar... sudah menikah lagi, Bu."
Seketika, ruangan hening. Novia yang tadinya terisak, kini terdiam, menatap Januar dengan mata memerah. Sementara itu, reaksi Diana sungguh tak terduga. Wajahnya yang semula masam, perlahan berubah. Sebuah senyum tipis, lalu senyum lebar, bahkan tawa kecil, muncul di bibirnya.
"Menikah lagi? Benarkah?!" Diana terlihat girang, seolah kabar ini adalah berita terbaik yang pernah ia dengar. "Siapa wanita itu? Anak siapa? Dari keluarga mana?" Rentetan pertanyaan meluncur cepat dari mulutnya.
Januar menelan ludah. "Dia... Karina. Dia anak pemilik perusahaan tempat Januar bekerja, Bu."
Mata Diana langsung membelalak lebar. Wajahnya berseri-seri, seolah melihat tumpukan uang di depannya. Sebuah ide licik melintas di benaknya. Anak pemilik perusahaan! Ini berarti pintu gerbang menuju kekayaan sudah terbuka lebar.
"Apa?! Anak pemilik perusahaan?!" Diana tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ia berjalan mendekati Januar, mengabaikan Novia yang masih terduduk di lantai. "Bagus, Jan! Bagus sekali! Kamu memang anak Ibu!"
Lalu, Diana menoleh ke arah Novia, tatapan matanya berubah dingin, penuh perhitungan. "Kalau begitu, tunggu apa lagi, Jan?! Ceraikan saja perempuan mandul ini sekarang juga! Buang saja istri tidak berguna ini! Kamu tidak butuh dia lagi!"
Kata-kata Diana menusuk Novia bagai belati. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Mertuanya, yang seharusnya menjadi panutan, kini dengan tega memintakan cerai untuk putranya sendiri. Hanya demi harta dan status. Novia merasa dirinya benar-benar hancur, terbuang, tak lagi memiliki nilai di mata siapapun. Ia tak bisa lagi menahan air matanya yang kembali mengalir deras.