Detektif Arthur dihantui oleh kecelakaan mengerikan yang merenggut ingatannya tentang masa lalunya, termasuk sosok seorang gadis yang selalu menghantuinya dalam mimpi. Kini, sebuah kasus baru membawanya pada Reyna, seorang analis forensik yang cerdas dan misterius. Semakin dalam Arthur menyelidiki kasus ini, semakin banyak ia menemukan kesamaan antara Reyna dan gadis dalam mimpinya. Apakah Reyna adalah kunci untuk mengungkap misteri masa lalunya? Atau, apakah masa lalu itu sendiri yang akan membawanya pada kebenaran yang kelam dan tak terduga? Dalam setiap petunjuk forensik, Arthur harus mengurai teka-teki rumit yang menghubungkan masa lalunya dengan kasus yang sedang dihadapinya, di mana kebenaran tersembunyi di balik teka-teki forensik yang mengancam kehidupan mereka keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sintasina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hujan Giok dan Kenangan
Di luar ruangan, Reyna duduk di kursinya, menatap layar komputer yang menampilkan data-data kasus. Hujan deras membuat suasana kantor semakin sunyi dan menciptakan nuansa yang sedikit menekan. Ia sedang mencoba untuk memfokuskan diri pada pekerjaannya, namun pikirannya masih tertarik pada Arthur. Ia masih khawatir dengan keadaan Arthur tadi.
Tiba-tiba, suara “duk!” yang keras membuyarkan konsentrasinya. Suaranya tampak datang dari dalam ruangan Arthur. Reyna tersentak dari kursinya. Ia mengerutkan kening, mencoba untuk mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi. Entah itu apa, namun suara itu terasa cukup mengganggu.
"Apa lagi yang dilakukan pria itu...?" gumamnya, suaranya bercampur antara kesal dan juga sedikit khawatir. Ia memandang pintu ruangan Arthur, ragu-ragu apakah ia harus memeriksanya atau tidak. Namun, rasa khawatirnya lebih kuat daripada rasa kesalnya. Ia menghela napas dalam-dalam, kemudian berdiri dari kursinya dan melangkah menuju pintu ruangan Arthur.
Reyna sampai di depan pintu ruangan Arthur, tangannya sudah meraih kenop pintu, hendak membukanya. Tiba-tiba, pintu terbuka dengan sendirinya, membuat Reyna tersentak dan melangkah mundur. Arthur muncul dari dalam ruangan, wajahnya masih tampak pucat dan tegang, tatapan matanya kosong. Melihat Arthur sudah di luar ruangan, Reyna mencoba untuk membahas beberapa kasus yang belum selesai. Ia memanggil Arthur.
"Arthur, bagaimana kalau kita bahas kasus—"
Kalimat Reyna terpotong lagi oleh suara Arthur yang dingin. "Jangan ganggu aku." Arthur lalu berlalu pergi, meninggalkan Reyna di depan pintu ruangannya. Ia berjalan cepat, menuju pintu keluar kantor.
Reyna semakin kesal. Ia menghentakkan kakinya ke lantai, alisnya berkerut tajam. "Ugh! Pria itu! Dia pasti mau pergi ke bar lagi…" Reyna menggerutu kesal, suaranya berbisik namun penuh kekecewaan. Ia sudah tahu kebiasaan Arthur. Arthur kecanduan alkohol. Dan hujan deras ini, entah mengapa, hanya membuat segalanya semakin buruk.
Reyna terus mengomel dan mendengus kesal di kantor yang kini terasa semakin sunyi setelah kepergian Arthur. Hujan di luar masih deras, menemani kemarahannya. Arthur sudah pergi dengan mobilnya, meninggalkan jejak ketidaknyamanan di hati Reyna. Beberapa saat setelah Arthur pergi, seorang pria paruh baya memasuki kantor. Pria itu bernama Inspektur Jenderal Jaxon, kepala divisi detektif. Ia memiliki postur tubuh yang tegap, rambut beruban yang disisir rapi, dan sepasang mata yang tajam. Ia selalu mengenakan setelan jas yang bersih dan rapi, menunjukkan sikap profesionalnya.
Inspektur Jaxon berjalan menuju sofa di ruang tunggu, duduk dengan santai sambil melepaskan jasnya. Ia lalu menatap Reyna yang masih terlihat kesal.
"Bagaimana perkembangan kasus 'Bunga Mawar Hitam'?" tanyanya, suaranya tenang namun berwibawa.
Reyna menghela napas panjang, kembali duduk di kursinya. Ia menatap layar komputernya, kemudian menjawab dengan nada sedikit kesal.
"Tidak terlalu berkembang, Pak. Bagaimana kasus ini bisa terselesaikan jika saya harus bekerja sama dengan orang kecanduan alkohol itu??"
Inspektur Jaxon terdiam sesaat, lalu terkekeh perlahan. Seolah ia mengenal Arthur dengan baik.
"Kau jangan terlalu kasar padanya, Reyna."
"Dia bersikap lebih kasar dari apa yang saya lakukan!" Reyna membalas, suaranya sedikit cemberut.
Inspektur Jaxon masih terkekeh. "Omong-omong, di mana Arthur?"
Reyna menjawab dengan nada malas dan masih dipenuhi kekesalan. "Tidak tahu, Pak. Dia pergi keluar tadi, mungkin di bar seperti biasa."
Tiba-tiba, telepon Inspektur Jaxon berdering. Ia mengangkatnya, berbicara sebentar, lalu mematikan panggilan tersebut. Ia menatap Reyna dengan ekspresi yang sedikit lebih serius.
"Reyna, kau bisa istirahat malam ini. Lanjutkan saja perkembangan kasusnya besok bersama Arthur."
Reyna hanya mengangguk, sedikit lega karena akhirnya ia bisa pulang. Ia mengamati Inspektur Jaxon yang kini memakai kembali jasnya dan bersiap untuk pergi. Setelah Inspektur Jaxon keluar dari kantor dan pergi, Reyna baru mulai membereskan barang-barangnya dan bersiap untuk pulang. Hujan deras masih menemani langkah kakinya menuju parkiran. Ia berharap besok Arthur dalam keadaan yang lebih baik dan kasus 'Bunga Mawar Hitam' bisa segera terpecahkan.
Di sisi lain, hujan deras mengguyur kota. Arthur melangkah masuk ke sebuah bar yang remang-remang, suasana yang sangat cocok untuk menghilangkan rasa sakit dan kecemasannya. Ia mencari tempat duduk di sudut yang sepi, lalu memanggil bartender untuk memesan minuman. Seperti biasa, ia memesan minuman beralkohol tinggi, sesuatu yang mampu membius pikirannya dari segala kejadian yang menyakitkan.
Beberapa teguk pertama mengusir ketegangan dan rasa takut yang menghantuinya. Namun, setelah beberapa gelas, Arthur mulai merasakan efek alkohol itu dengan kuat. Wajahnya memerah, napasnya berat, dan pandangannya mulai kabur. Ia merasa pusing, kepalanya berdenyut-denyut.
Di tengah kebingungannya, Arthur melihat sesuatu di bayangan remang-remang bar. Seorang gadis kecil, berdiri di depannya, tersenyum padanya. Itu Athena, Athena kecil yang lucu dan masih polos. Athena kecil itu menatap Arthur dengan tatapan yang penuh dengan sedikit kecewaan.
"Kenapa kau jadi seperti ini, Arthur?" tanyanya, suaranya halus dan jernih di tengah suara ribut di bar.
Arthur menatap Athena dengan mata yang sayu. Ia mengulurkan tangannya, dengan gerakan yang lambat dan goyah, untuk menyentuh wajah Athena yang kecil itu. Jari-jarinya mencoba untuk merasakan kulit halus Athena.
"Aku… aku tidak tahu," katanya, suaranya gemetar dan hampir tak terdengar.
Orang-orang di bar itu sudah biasa melihat Arthur berbicara sendiri atau berbicara dengan angin. Mereka sudah terbiasa dengan keanehan Arthur. Mereka hanya menatap Arthur dengan tatapan yang acuh tak acuh. Arthur terlalu tenggelam di dalam dunia khayalannya. Namun, senyum Athena perlahan memudar. Ekspresi kecewa berganti menjadi kesedihan yang dalam. Bayangan samar noda darah mulai terlihat di sekitar kaki Athena, menyerupai kenangan mengerikan yang terus berputar-putar di benak Arthur.
"Aku… aku kecewa padamu," bisik Athena, suaranya nyaris tak terdengar di antara suara ribut di bar. Bayangan darah itu semakin jelas, membuat Arthur tersentak. Ia mencoba untuk menjangkau Athena, namun tangannya bergetar tak terkendali.
"Tidak! Tidak! Athena!" teriak Arthur, suaranya pecah karena isakan. Ia mulai menghancurkan gelas-gelas di mejanya, pecahan kaca berserakan di lantai. Para pelanggan lainnya mulai menatap Arthur dengan tatapan heran dan khawatir. Seorang pria yang mengenali Arthur sebagai seorang detektif segera menghubungi Inspektur Jaxon melalui telepon. Kegaduhan itu semakin meningkat, menciptakan suasana kacau di dalam bar remang-remang itu.
Di tengah kekacauan itu, tiba-tiba pintu bar dibuka dan Inspektur Jaxon masuk. Ia dengan cepat mendekati Arthur dan sambil mencegah Arthur bergerak lebih agresif, memegang erat lengannya. Beberapa orang membantu Inspektur Jaxon untuk menenangkan Arthur.
Inspektur Jaxon berdiri tegap di samping Arthur, tatapannya serius namun dipenuhi empati. Suaranya tenang dan berwibawa, namun diiringi dengan nada yang penuh pengertian.
"Arthur, cukup! Tenanglah… Athena baik-baik saja di luar sana. Kau pasti bisa bertemu lagi dengannya," kata Inspektur Jaxon, suaranya mencoba untuk menembus kebingungan dan rasa sakit yang menyelimuti Arthur. Sentuhan tangan Inspektur Jaxon di lengan Arthur, meskipun tegas, menunjukkan keinginan untuk memberi Arthur rasa aman dan kontrol di tengah kekacauan yang dialaminya. Perlahan-lahan, Arthur mulai menarik napas dalam-dalam, tubuhnya bergetar namun kemarahannya mulai mereda. Bayangan Athena yang berlumuran darah mulai memudar, diganti oleh citra Athena yang ceria dan penuh dengan kehidupan. Arthur memejamkan mata, mencoba untuk menyerap kata-kata Inspektur Jaxon, mencoba untuk mempertahankan citra Athena yang bahagia itu di dalam pikirannya. Perlahan-lahan, amukannya berhenti. Ia tersentak oleh kejadian yang baru saja dialaminya, merasakan rasa malu dan penyesalan yang mendalam.