Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.
Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.
"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"
"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20
Rumah yang biasanya terasa sepi, sekarang cukup ramai. Karena kehadiran dokter Adit yang sudah diakui Sangkara sebagai oomnya dan juga adanya Dika serta Indra. Yang selama ini membantunya dalam meneror kepala desa dan warga desa. Serta membantu Sangkara untuk memberikan sedikit pelajaran kepada orang yang sudah membully Rara.
“Jadi, selama ini kalian yang jadi hantu? Kalian juga yang bantu Kara. Dika membantu Kara karena rasa bersalahnya, yang ikut menyembunyikan penyebab kematian keluarga Sangkara. Dan kamu Indra, kamu membantu Kara karena ketidak pekaan kamu. Seharusnya kamu harus merasa ada yang aneh dengan menghilangnya Rara. Yang notabenenya kekasih kamu dulu ya?”
Dika dan Indra mengangukkan kepalanya. “Benar, dok! Apalagi rasa bersalah kami semakin terasa ketika Kara beberapa kali pingsan.”
“Pingsan? Pingsan karena apa? Shock mengetahui fakta kematian keluarganya?”
“Entalah, dok. Aku juga gak tahu. Yang jelas Kara sering kali mengeluhkan sakit di kepalanya. Setelah itu pingsan,” sahut Dika dengan menggelengkan kepalanya.
“Aku gak apa-apa, om! Cuma penyakit lama aja yang kumat!” sahut Kara berjalan keluar dari dapur. Dia membawa sebuah nampan yang diatas berisi beberapa mangkok mie instan. “Kita sekarang gak usah bahas masalah aku yang sering pingsan. Sekarang kita bahas rencana ke depannya. Karena waktu aku udah gak lama lagi!” sambung Sangkara.
“Kara… Kamu??? Maafkan aku, Kara. Maafkan aku kalau selama ini banyak salah sama kamu. Tapi, kamu jangan nyerah gitu aja! Sekarang sudah ada dokter Adit. Kamu bisa minta dia periksa keadaan kamu. Aku yakin kamu pasti sembuh!” timpal Dika menatap Sangkara dengan tatapan iba.
Tuk… Bunyi yang yang cukup nyaring ketika sendok bertemu dengan jidat Dika. Membuat sang pemilik jidat mengelus pelan dahinya.
“Kamu doakan aku mati, Dik? Kamu pikir waktu aku udah gak lama lagi, karena mau mati. Ya, kagalklah Dika. Satu bulan lagi aku mau menetap di Jakarta. Aku mau merebut dan mengambil yang seharusnya milik aku! Paham?” seru Kara kesal.
“Yaaaah, habisnya kata-kata kamu gak jelas. Lagian juga kalau di sinetron setiap ada yang bilang waktu aku gak lama lagi, pasti dia akan mati. Iya kan, Ndra?”
Indra menganggukkan kepalanya, “benar, bang! Makanya sekali-sekali nonton sinetron dong, bang. Jadi tahu perkembangan akting!”
Sangkara melirik oomnya seklias, lalu menghela napas. “Bukan gue yang seharus nonton sinteron, tapi kalian kurangi nonton sinteron. Biar kagak jadi korban sinetron!”
“Udah-udah! Mendingan kita makan dulu, lalu bicarakan rencana selanjutnya!” sela dokter Adit menghentikan perdebatan keponakan dan juga dua orang pemuda lainnya.
Mereka lantas menikmati mie instan yang di masak oleh Sangakara. Terasa sangat nikmat dan enak, dengan potongan cabe rawit sebagai penambah rasa pedas, telur sebagai protein dan sayuran untuk melengkapi seratnya. Dan dasarnya sudah kelaparan, mie instan tersebut langsung tandas dalam beberapa menit saja. Mereka semua kelihatan puas dan cukup kenyang untuk pagi itu.
Habisnya mie instan, langsung di susul dengan rencana yang telah di pikirkan oleh dokter Adit. Memang terkesan kejam dan jahat, namun itu cukup untuk membalas apa yang sudah di lakukan oleh warga desa. Kejadian yang menimpa keluarga kakaknya bukan hal yang harus di sembunyikan. Kejadian itu seharusnya diketahui oleh publik dan juga di selidiki oleh kepolisian.
“Yakin, dok? Apa itu gak terlalu berbahaya?”
“Bahaya? Tidak, selama ada tenaga medis. Kalau hanya ini mah, sama sekali tidak berbahaya, Dik! Lagian ini adalah cara cepat untuk memberikan pelajaran kepada seluruh warga di sini!” sahut dokter Dika.
“Tapi ini aman kan? Maksud saya, tidak akan di ciduk kepolisian?”
Dokter Adit dan Sangkara menoleh kearah Indra secara bersamaan. “Bukannya salah satu anggota polisi ada di sini, Dik? Terus kenapa kamu khawatir?”
Sontak Dika ikut menoleh kearah Indra. Dia pun terkekeh pelan sambil memukul bahu Indra pelan. “Maaf, aku sering lupa kalau dia anggota polisi!”
“Bang Dika…”
“Maaf, Ndra! Canda doang aelaaah!” balas Dika.
Mereka kembali lanjut membicarakan rencana yang akan mereka jalankan. Hingga sebuah keputusan akhir mereka sepakati.
“Biar aku yang melakukan itu!” celetuk Sangkara.
“Kara bahaya! Biar oom aja! Lagian kamu tidak akan paham masalah dosisnya!”
Bibir Sangkara tersenyum tipis, “aku sudah sering melakukan hal ini, om! Bahkan yang lebih parah dari ini juga pernah. Jadi, jangan pernah meragukan kemampuan aku!”
“Kamu yakin? “
Kepala Sangkara mengangguk. Dia pun menatap kearah Dika dan Indra secara bergantian. “Kalian tahukan apa yang harus dilakukan?”
“Tahu, tetap jadi kuntianak dan pocong kan?”
“Bukan, Dik. Aku minta kalian berdua pergi atau jalan-jalan selama seminggu ini. Buat alasan senatural mungkin! Aku gak mungkin membahayakan kalian berdua!”
“Jadi kami berdua tidak ikut terlibat dalam rencana ini, bang?”
“Gak, Ndra! Kalian sudah banyak bantu aku!” sahut Sangkara seraya menggelengkan kepalanya.
“Sebenarnya sih ini waktu yang tepat. Soalnya dua hari lagi, keluarga istri aku ada hajatan. Sebenarnya aku udah bilang gak bisa ikut! Tapi kalau udah kayak gini, aku jadi ikut deh!” timpal Dika. “Ndra, mendingan kamu fokus aja di kantor. Kerjakan apa kek, jadi gak mesti ke desa ini lagi. Bagiamana?”
“Iya, bang,” sahut Indra.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Baru dua tiga hari desa kembali normal dan tenang. Tidak ada lagi hantu Dadang ataupun Lilis menghantui atau meneror desa. Membuat warga desa senang dan merasa apa yang mereka lakukan selama ini berhasil. Karena sebelumnya kepala desa memberikan sebuah jimat yang harus di tempel di pintu masuk dan jendela. Berharap agar hantu Dadang dan Lilis tidak bisa masuk ke dalam rumah mereka semua.
Saat ini, kantor kepala desa di penuhi oleh warga desa. Mereka mengucapkan terimakasih dan juga memberikan sedikit imbalan atas jimat yang di berikan oleh kepala desa. Dengan senang hati, kepala desa pun menerima imbalan tersebut. Dia mendapatkan untung berkali-kali lipat.
“Ada apa ini, pak?” tanya Sangkara ketika lewat di depan kantor desa.
Warga yang di tanya oleh Sangkara melirik sinis, “kami mau memberikan ucapan terimakasih kepada kepala desa. Karena dia udah berhasil mengusir hantu orang tua kamu itu! Heran, sudah mati aja merepotkan orang!”
Tangan Sangkara langsung mengepal kuat mendengar jawaban warga itu. Namun, bibirnya tetap tersenyum ramah. “Oh, begitu! Yaaa, semoga orangtua aku memang berhasil di usir dan bukannya ngamuk atau lebih marah,” timpal Sangkara langsung meninggalkan warga dan kantor desa itu.
‘Tunggu aja! Kalian akan mendapatkan imbasnya!’ batin Sangkara.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
“Aaaaarkh… Tolong… Sakit!!!” teriak salah satu warga. “Bu, cepaaat! Gantian dong!” sambungnya menggedor sebuah pintu.
Suara itu terdengar jelas dari jalanan. Bahkan suara yang seperti sahut-sahutan dari rumah yang lain. Hingga membuat desa yang baru tenang itu kembali hebo dan panik. Apalagi di setiap rumah tertulis sebuah kalimat yang membuat mereka kembali merasakan ketakutan.
Semangat untuk authornya... 💪💪