Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Bab 20
Hari pelelangan akhirnya tiba. Aryo memeriksa mobilnya dengan teliti, memastikan semua perlengkapan dan senjata yang mungkin diperlukan sudah tersedia. Pisau, senapan cadangan, amunisi—semua ia periksa satu per satu, memastikan tidak ada yang terlewat. Setelah merasa siap, ia menunggu di lobby gedung Andara Group, menenangkan napasnya dan fokus pada potensi ancaman yang mungkin muncul.
“Kalau ini… kau pasti Aryo Pamungkas.” Suara laki-laki dengan jas necis menghampirinya. Setelannya rapi, tampak profesional, mirip dengan tim keamanan internal Group Tiga.
“Siapa yang bertanya?” Aryo menanggapi sambil berjabat tangan, menilai nada dan gestur pria itu.
“Aku Roni. Tim keamanan Group Satu. Tugas kami mengawal para komisaris. Betul kau pengawal CEO Meliana Andara?” Roni menatap Aryo, menilai dari kepala hingga kaki.
“Benar. Ada masalah?” Aryo mencium aroma ketegangan, ada sesuatu yang tidak beres.
Saat itu, Meliana muncul di lobby. Gaun merahnya memantulkan cahaya lampu chandelier, rok pendek menonjolkan kakinya yang jenjang. Rambutnya diikat rapi, digelung dengan cantik, antiknya terpampang jelas lewat anting emas yang berkilau. Aryo menelan ludah, sadar bahwa meskipun ini momen kerja, aura Meliana selalu mampu membuatnya terpana. Roni, yang berada di dekatnya, melirik Meliana juga, tanpa bisa menyembunyikan rasa kagum dan iri.
“Bu Meliana,” sapa Roni sopan, menunduk dan mencium punggung tangan Meliana. “Semoga perjalanan Anda aman sentosa.”
“Terima kasih.” Meliana mengangguk singkat, profesional.
Meliana lalu menyuruh Aryo mengantarnya ke mobil. Mobil sudah siap, mesin menyala, dan suasana di sekitar lobby mulai dipenuhi iring-iringan kendaraan mewah. Aryo memperhatikan sekeliling, mengamati anggota Group Satu yang menatapnya dengan mata penuh iri.
“Beruntung sekali anak baru itu,” gerutu Roni pada Chris, temannya yang berdiri tak jauh.
“Kenapa kau? Iri ya?” balas Chris santai, setengah mengejek.
“Seharusnya aku yang menjaga Meliana Andara. Aku sudah lama mengabdi di sini, bukan dia!” Roni menggerutu, napasnya sedikit terengah. Rasa iri dan cemburu jelas terpancar.
“Eh, kabar burungnya, kata Carlo, Aryo tunangannya Meliana,” Chris menambahkan, seperti menyiram bensin ke api.
Roni terkejut. “Apa? Sialan!”
Satu per satu sedan mewah meninggalkan gedung. Mobil Aryo dan Meliana berada di urutan agak belakang, mengiringi rombongan CEO dan komisaris. Aryo mengawasi setiap gerakan, setiap mobil yang menyalip atau mencoba mendekat. Ia sadar bahwa kemungkinan ancaman nyata sangat tinggi.
Sebelum berangkat, Aryo sudah mendapat arahan dari Pak Kamal.
“Kau lebih waspada di acara pelelangan ini. Kemungkinan pembunuh akan muncul,” pesan Pak Kamal serius.
“Baik, Pak. Aku akan menjaga Meliana dengan sepenuh jiwa. Sampai titik darah penghabisan,” Aryo menjawab, menegaskan komitmennya.
Pak Kamal tersenyum tipis. “Tidak perlu berlebihan. Laksanakan saja tugasmu dengan baik. Oh ya, kenapa tidak membawa pistol? Bukankah kau penembak jitu?”
“Ada di mobil, Pak,” Aryo berbohong, menenangkan hati atas kemungkinan pertanyaan lebih lanjut.
“Baik. Aku percayakan Meliana padamu.” Mereka berjabat tangan singkat.
Perjalanan menuju lokasi pelelangan memakan waktu cukup panjang, mobil-mobil mewah saling beriringan di jalan tol. Aryo tetap awas, memantau setiap wajah, gerakan, dan kendaraan yang mencurigakan. Roni kadang menatapnya melalui kaca spion dengan tatapan dengki, tapi Aryo memilih mengabaikannya.
Tiba-tiba, saat mereka melewati terowongan panjang, sebuah van memotong jalur mobil Aryo, memaksa ia mengerem mendadak.
“Ada apa ini?!” Meliana menjerit, tegang.
“Meliana, tetap tenang. Menunduklah,” Aryo memberi instruksi tegas, matanya tidak pernah lepas dari situasi di depan.
Seseorang, lengkap dengan lima anak buahnya, turun dari van. Pemimpin mereka memakai topeng sisik ular. Pistol di tangan diacungkan ke arah mobil Aryo. Truk besar tadi rupanya sengaja memblokade jalan, menjadikan kendaraan Aryo terperangkap.
“Tetap di tempat. Setelah aku keluar dari mobil, kunci pintunya,” Aryo menenangkan Meliana sambil mengambil apa pun yang bisa dijadikan senjata.
“Lukas, mereka siapa?” suara Meliana terdengar gemetar, ketakutan.
“Aku tidak tahu. Biarkan aku turun dan cari tahu,” Aryo menenangkan, wajah serius tapi tenang.
Aryo turun dari mobil dengan langkah mantap, wajahnya serius menatap gerombolan topeng ular yang menutup jalan. Suasana malam di terowongan itu mencekam, lampu jalan memantulkan bayangan mereka di aspal basah. Debu dan asap knalpot melayang, menambah aura ancaman.
“Siapa kau?” tanya Aryo, suaranya rendah tapi tegas, memaksa musuh memperhatikan setiap gerakannya.
“Kau siapa?” balas Ketua Ular dengan nada kasar, suaranya terdengar berat di helm topengnya. “Kami datang bukan untukmu. Tapi untuk wanita di dalam mobil.”
Aryo menatap mata tersembunyi di balik topeng itu, menilai gerakan cepat anak buahnya. “Tidak bisa. Kau harus melewati mayatku dahulu,” ucapnya, suara serak namun menahan amarah. Ia mencondongkan badan, memanfaatkan mobil sebagai perlindungan awal.
Tembakan pertama terdengar. Aryo menunduk, menghindar dengan refleks luar biasa, tubuhnya bergerak lincah di antara bayangan mobil dan gerakan anak buah musuh. Ia merogoh kaos kakinya, mengambil pisau kecil, dan melontarkannya ke kepala salah satu anak buah yang mencoba mendekat. Pisau menancap tepat, membuat tubuh musuh itu terhuyung mundur dan menabrak temannya, menciptakan kekacauan di barisan mereka.
Di dalam mobil, Meliana menunduk, jantungnya berdegup kencang. Suara tembakan, benturan, dan teriakan memenuhi terowongan. Ia meremas sabuk pengaman, gemetar namun mencoba tetap diam agar tidak menarik perhatian lebih banyak musuh.
Anak buah topeng ular mencoba membuka pintu mobil, menodongkan senjata. Aryo melempar pandangannya, mencari celah, lalu menyerang mereka dengan cepat. Senapan yang sebelumnya diambil dari musuh lainnya kini ada di tangannya. Ia menembaki beberapa anak buah sekaligus, memanfaatkan tubuh salah satu musuh sebagai tameng untuk maju lebih dekat ke mobil.
Aryo melempar pisau lain tepat mengenai pundak Ketua Ular, membuat anak buahnya terkena peluru sendiri karena panik. Ketegangan meningkat, bunyi tembakan dan teriakan bergema di terowongan sempit.
Dari kejauhan, Roni yang mengawasi situasi menyadari keributan itu. Mobil Aryo tidak tampak di spion. Instingnya memaksa ia untuk segera memutar balik dan menghubungi bala bantuan, namun rasa panik mulai menguasai dirinya.
Tiba-tiba, pintu mobil Aryo berhasil dibobol oleh anak buah yang tersisa. Meliana ditarik paksa ke luar, tubuhnya hampir terjerumus ke aspal. Aryo berada tepat di belakang, matanya berapi-api. Tamengnya sudah mati, peluru habis, pisau yang tersisa sudah digunakan semua.
“Lepaskan dia!” bentak Aryo, suaranya bergema, penuh kemarahan dan urgensi.
Anak buah Ketua Ular menodongkan pistol tepat di pelipis Meliana. “Diam kau atau kutembak dia,” ancamnya. Jeritan Meliana pecah, mengguncang hati Aryo. Jantungnya berdetak lebih cepat, tubuhnya siap bergerak dalam sepersekian detik.
Roni muncul dari arah samping, menembak bahu penyekap Meliana. Peluru menembus kulit, membuat musuh terhuyung. Aryo tanpa menunggu lagi, menyeruduknya, menjatuhkan anak buah itu ke tanah, lalu menyeret Meliana masuk kembali ke mobil dengan cepat.
Bala bantuan yang datang dari arah terowongan menghujani anak buah topeng ular yang tersisa dengan tembakan. Tubuh mereka jatuh berserakan di aspal, beberapa menjerit sebelum tak bergerak lagi. Roni keluar dari mobil, meski terluka, ia masih bisa bergerak membantu Aryo menghalangi musuh.
Ketua Ular merasa terpojok. Ia melihat tubuh anak buahnya satu per satu tumbang, kehabisan bala bantuan. Panik, ia hendak kabur. Roni mencoba menghalangi jalannya, namun ditembak dua kali di pundak. Darah menetes, tapi Roni masih berusaha berdiri, menahan rasa sakit. Ketua Ular menodongkan pistol ke kepala Roni, menuntut jalan keluar.
Aryo tahu tidak ada pilihan lain. Dengan napas tertahan, ia merogoh pistol yang sebelumnya diambil dari salah satu anak buah si ular, menembak tepat ke kaki Ketua Ular. Si musuh terjatuh, menjerit kesakitan, kehilangan keseimbangan. Aryo segera mengejarnya, menghajarnya dengan pukulan dan tendangan presisi. Setelah beberapa kali serangan, topeng ularnya terlepas, wajahnya kini jelas.
“Siapa kau dan siapa yang menyuruhmu? Cepat katakan!” Aryo menuntut, mata menatap tajam, seluruh tubuhnya menegangkan, siap menumpahkan kemarahan yang terpendam.
Ketua Ular terengah, gemetar di hadapan Aryo yang penuh amarah. Darah menetes di dahi dan lengan, tubuhnya kesakitan, tak lagi bisa menipu.
Meliana, yang masih di mobil, menunduk tapi matanya tak bisa berhenti mengamati Aryo. Meski ketakutan, ada rasa kagum dan lega melihat ketenangan sekaligus ketangkasan Aryo menghadapi situasi yang sangat berbahaya.
Suasana terowongan kini hening, hanya suara napas dan deru mesin mobil yang terdengar. Semua ancaman teratasi, tapi Aryo tahu malam ini hanyalah awal dari konfrontasi yang lebih besar.
Bersambung…