NovelToon NovelToon
JODOH WASIAT DEMANG

JODOH WASIAT DEMANG

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:585
Nilai: 5
Nama Author: DUOELFA

"Genduk Mara, putu nayune Simbah Demang. Tak perlulah engkau mengetahui jati diriku yang sebenarnya. Aku ingin anak turunku kelak tidak terlalu membanggakan para leluhurnya hingga ia lupa untuk selalu berusaha membangun kehidupannya sendiri. Tak ada yang perlu dibanggakan dari simbah Demangmu yang hanya seorang putra dari perempuan biasa yang secara kebetulan menjadi selir di kerajaan Majapahit. Kuharapkan di masa sekarang ini, engkau menjadi pribadi yang kuat karena engkau mengemban amanah dariku yaitu menerima perjodohan dari trah selir kerajaan Ngayogyakarta. Inilah mimpi untukmu, agar engkau mengetahui semua seluk beluk perjodohan ini dengan terperinci agar tidak terjadi kesalahpahaman. Satu hal yang harus kamu tahu Genduk Mara, putuku. Simbah Demang sudah berusaha menolak perjodohan karena trah mereka lebih unggul. Tapi ternyata ini berakibat fatal bagi seluruh keturunanku kelak. Maafkanlah mbah Demang ya Nduk," ucap Mbah Demang padaku seraya mengatupkan kedua tangannya padaku.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20

Raden mas Demang baru mendapatkan surat cuti menikah selama sepuluh hari karena ia mengajukan cuti begitu mendadak. Terlalu banyak pekerjaan Demang yang harus segera ia tangani dalam waktu singkat sebelum ia cuti untuk pernikahan.

Hari ini ia telah mendapatkan kiriman surat keputusan cuti tugas dari residen VOC yang langsung dikirim sendiri oleh mister Vrederick ke rumah. 

"Mengapa raden Demang Soemitro tidak berkata jika orang penting di hull waktu itu adalah calon istri raden? Bila saya tahu itu calon istri raden, saat itu juga saya akan beri surat cuti pada Raden agar bisa lebih lama cuti," ucap residen mister Vrederick pada Raden mas Demang dengan logat Belanda nya. 

Raden mas Demang tersenyum.

"Semua tidak perlu mister. Saya berusaha mengikuti semua aturan yang berlaku di daerah Kadiri."

"Raden mengundang saya?"

"Saya persilakan mister untuk hadir saat saya menikah."

"Ada tayub?"

Raden mas Demang tersenyum. 

"Maaf mister. Mungkin hari pernikahan saya tidak akan ada tari tayub karena calon istri saya sedikit pencemburu. Takutnya nanti saat saya menari dengan ledhek, ia akan marah karena cemburu," jelas raden mas Demang pada mister Vrederick.

"Iya. Saya mengerti. Saya pulang dulu raden Demang."

"Inggih mister. Terima kasih sudah berkenan mengantarkan surat cuti saya."

"Sama-sama."

Raden mas Demang terlihat mengantarkan mister Vrederick dari dalam bale rumah menuju halaman. Tak lupa ia mengantar mister residen itu hingga sosoknya menghilang di ujung jalan. 

"Jo, repot ora awakmu," ajak raden mas Demang. 

"Mboten raden."

"Ayo menyang pasar. Melu aku tuku lawang kamarmu."

Seperti biasa, saat mengais pedati, raden mas Demang selalu yang menjadi saisnya. Sikap inilah yang disukai oleh Paijo. Radennya ini memiliki sikap yang sangat baik pada jongosnya. Raden demang baru meminta Paijo menjadi sais bila kondisi tubuhnya sedang tidak sehat saja. 

Saat dipasar, Paijo mulai memilih pintu kayu yang sesuai dengan sentong kamarnya. Tak lupa raden mas Demang memberikan dua keping gobog padanya.

"Mengko lek wis oleh lawang, age digowo nang pedati. Aku sek arep muter-muter goleki pak dhe ne Lastri," jelas raden mas Demang pada jongosnya. 

"Inggih raden."

Setelah sekian lama melihat ke berbagai arah, mata raden tertuju pada seseorang yang berada di warung di bawah pohon trembesi yang berada di dekat pohon beringin, dimana Paijo memarkirkan pedatinya disana. Ia melihat pak dhe Lastri tengah asik menyeruput kopi hangat yang berada di tangan kanan. Raden terlihat menghampiri seseorang yang akan menjadi wali nikahnya tersebut. 

"Pak dhe nya Lastri, saya ingin matur kaleh panjenengan. Niki tentang lastri. Saged nopo mboten?" izin raden pada pak dhe Lastri. 

"Iso."

"Monggo matur agak jauh dari wande niki. Saya sungkan bila ada seseorang yang mendengarkan percakapan kita," matur raden pada pak dhe calon istrinya tersebut. 

"Ono opo raden?" tanya pak dhe Lastri saat mereka di bawah pohon kenitu yang berada dipasar tersebut. 

"Saya berencana menikahi Lastri lima hari ke depan. Saya mohon panjenengan kersa menjadi wali nikah Lastri karena bapaknya sudah tiada dan ia anak tunggal. Wali nikah yang berhak menikahkan Lastri adalah panjenengan. Saya mohon kehadiran panjenengan di rumah saya sebelum acara prosesi ijab," matur raden mas demang dengan halus.

"Aku gelem nikahne Lastri. Tapi ono Syarate raden? Sanggup?"

"Syarate punopo niku pak dhe?"

"Tolong cepakno duit setara koyo tebusane acara buka selambune Lastri. Limangatus keping emas uang gobog. Karo tolong sediakno acara tayuban kanggo aku lan sak bala-balaku iki," ucap pak dhe Lastri dengan suara lantang seakan menantang raden mas demang. 

Lelaki calon istri Lastri itu melihat pak dhe Lastri dengan tatapan lembut.

"Kagem arta setara buka selambu dik Lastri, mangke kula siapaken. Tapi damel mengadakan acara tari tayub, Rumiyen njeh pak dhe. Kula pikir maleh."

"Halah. Gari omong wae Demang ora gableg duit."

Hati raden mas demang terasa sakit sekali mendengarkan perkataan dari pak dhe Lastri. Tapi ia harus bersabar dengan perlakuannya karena ia membutuhkan pak dhe itu sebagai wali nikah. 

"Dik Lastri punika agamine Islam lan piyantune saged ngaos dengan baik. Di depan rumah kula juga ada surau. Menurut kula kok mboten wangun bilih ada acara tayuban saat proses pernikahan kami."

"Halah. Omong ae lek ora sanggup," sarkas pak dhe Lastri. 

"Bukan masalah ora sanggup pak dhe. Namung mboten wangun."

"Halah. Ngomong wae ora duwe duit."

"Kula pikire rumiyen njeh pak Dhe. Kula aturi panjenengan pinarak ke dalem kula gansal dinten maleh."

"Tapi eling-elingen yo raden mas Demang sing rumongso Ksatria lan kemlinthi. Aku ora bakal ngrabekne Lastri karo awakmu lek ora ono duit limangatus gobog karo ledhek tayub cacahe rong puluh nggo bolo-boloku iki. Kok syarate kurang saitik wae, aku wegah ngrabekne koe karo Lastri."

"Inggih pak dhe. Matur nuwun sampun kersa matur kalih kula. Dalem pamit."

Raden mas Demang berjalan ke arah pedati yang terparkir di bawang pohon beringin.Paijo merasa tidak terima saat melihat raden mas Demang tetap bersikap rendah hati meski telah diperlakukan sehina itu oleh pak dhe lastri yang begitu sombong tersebut.

"Raden kok mau tho diperlakukan seperti itu sama pak dhe nya Lastri? Tak paranane wong koyo ngunu kui. Pegel aku," ucap Paijo dengan geram. 

"Ora usah dibalas. Jarke wae. Aku butuh pak dhe ngge wali nikahku karo Lastri Jo. Aku yo kudu tetap ngrendah lek karo wong sing luweh sepuh."

"Inggih raden."

"Ayo gek mulih. Ben lawang kamarmu ben ndang iso dipasang karo pak tukang."

"Jenengan mboten butuh lawang?"

"Ora. Kan nek surau wis ono lawange."

"Raden, haruskah aku mengatakan semua perkataan pak dhe itu ke mbak Lastri?" bujuk Paijo.

Raden terlihat terperangah karena takut dan kaget. Ia takut bila Lastri akan sakit hati bila mengetahui permintaan pak dhe nya tersebut. 

"Jangan katakan apapun pada Lastri. Biar aku saja yang memikirkan hal ini. Aku sebenarnya malah kepikiran sama keluargamu dan keluarga calon istrimu yang asli orang Japan dan tahu dengan baik aku ini siapa? Bila mereka bertemu dan mengetahui syarat pak dhe Lastri, aku tidak tahu pandangan mereka ke aku, mbah Ibu dan Lastri seperti apa? Kamu juga tahu kan perbedaan tayub di lingkungan kerajaan dengan tayub di lingkungan masyarakat pribumi seperti apa? Seperti langit dan bumi. Akan kupikirkan semua masalah ini sendiri. Kuharap kamu jangan bilang tentang hal ini pada mbah Ibu, Lastri, dan keluargamu agar pernikahan ini bisa lancar," pinta raden pada jongos setianya tersebut. 

"Mengapa raden selalu saja seperti ini? Menanggung semua masalah sendirian."

"Selama aku bisa menghadapinya sendiri, akan kutanggung semuanya. Aku hanya ingin orang-orang yang berada di sekelilingku selalu bahagia. Itu saja inginku, Paijo."

"Raden.... "

Paijo meneteskan air mata melihat radennya tersebut. Dibalik sikap bijaksana, kocak, radennya itu begitu rapat menyimpan semua masalah yang dialaminya. 

"Wis ojo nangis. Engko bapak biyunge weruh. Calon bojomu juga. Diusap iku iluhe. Ayo age ndang mulih. Selak sore. Keburu pak tukang e laut."

"Inggih raden," balas Paijo sambil mengusap air mata di pipinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!