NovelToon NovelToon
Lahir Kembali Di Medan Perang

Lahir Kembali Di Medan Perang

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Balas Dendam / Time Travel / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Penyelamat
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: zhar

Seorang pria modern yang gugur dalam kecelakaan misterius terbangun kembali di tubuh seorang prajurit muda pada zaman perang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20

Mata Surya berbinar mendengar pujian itu, lalu ia memberanikan diri bertanya pelan,

“Apakah Komandan sudah mempertimbangkan untuk menerobos kepungan Belanda, Mayor?”

Mayor Wiratmaja tersenyum kecil, lalu menggeleng.

“Tidak, Surya! Aku bukan bicara soal itu. Aku bicara soal persediaan yang kau temukan. Di sana juga ada obat-obatan yang sangat dibutuhkan untuk merawat kawan-kawan kita yang terluka. Mereka semua ingin mengucapkan terima kasih padamu. Sebenarnya, seluruh kompi ini berhutang budi padamu.”

Surya sempat kecewa. Ia mengeluarkan suara pendek, “Oh… Itu memang kewajibanku, Mayor.”

“Kelihatan jelas kau ingin sekali kita menembus kepungan, ya?” Mayor Wiratmaja terkekeh, lalu mengeluarkan sebatang rokok putih bukan klobot atau lintingan tembakau kampung seperti biasa.

Surya melotot kaget. Hampir semua pejuang hanya merokok lintingan dari tembakau srintil atau tembakau kering seadanya. Bahkan para perwira pun tak berbeda. Rokok pabrikan seperti itu sangat langka di Yogya kala itu.

“Heran, ya?” Mayor Wiratmaja tersenyum melihat ekspresi Surya. “Ini bukan dari kita. Aku kebetulan menembak mati seorang opsir Belanda di dekat Jombor kemarin sore. Dari sakunya, aku temukan sebungkus rokok impor ini. Jadi, bisa dibilang ini rampasan perang.”

Ia menggoyangkan bungkus rokok itu di depan Surya.

“Katakan padaku sesuatu, Surya. Kalau jawabanmu memuaskan, bungkus ini bisa jadi milikmu.”

“Katakan apa, Mayor?” Surya bingung.

“Pendapatmu tentang pertempuran ini,” jawab Mayor Wiratmaja sambil menyalakan sebatang rokok untuk dirinya dan menyodorkan satu batang pada Surya. “Kalau kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan?”

Surya menarik napas, lalu berkata mantap, “Mayor pasti juga tahu… satu-satunya jalan kita adalah menerobos.”

“Kalau begitu, menurutmu ke arah mana kita harus keluar? Ke timur?” tanya Mayor Wiratmaja.

“Tidak, Mayor!” Surya menggeleng tegas. “Belanda terbiasa memakai strategi gerak cepat. Kalau kita lari ke timur, artinya kita justru mengikuti jejak pasukan mekanis mereka yang sedang bergerak masuk. Itu bukan melarikan diri, tapi malah masuk ke dalam mulut harimau.”

Mayor Wiratmaja mengangguk pelan, matanya menyipit penuh penghargaan.

“Kalau begitu, hanya ada satu arah yang tersisa…”

“Utara, Mayor!” Surya menegaskan.

Benar. Ke barat, arah kota, sudah dipenuhi patroli Belanda. Ke selatan, jembatan-jembatan utama menuju Bantul dan Imogiri dijaga ketat. Timur adalah jalur gerak cepat tentara Belanda. Hanya ke utara ke arah lereng Merapi dan hutan-hutan di Sleman masih mungkin untuk menerobos.

“Apakah masih ada kawan-kawan kita di pos Stasiun Tugu?” tanya Surya.

“Masih terdengar suara tembakan dari sana,” jawab Mayor Wiratmaja. “Itu berarti mereka belum jatuh. Tapi kita tidak bisa menghubungi mereka sama sekali.”

“Justru itu, Mayor!” Surya mencabut ranting kering di tanah, lalu menggambar di tanah yang lembap. “Ini Yogya, ini pos Tugu, ini benteng kita di pinggiran utara. Setelah seharian bertempur, Belanda sudah menguasai jembatan barat dan markas di selatan. Yang tersisa hanya pos Tugu dan pertahanan kita di sini. Sudah jelas Belanda akan mengerahkan kekuatan penuh untuk menghantam Tugu dan memutus jalur kita. Itu sebabnya kita tidak bisa kirim pesan ke sana.”

Mayor Wiratmaja mengangguk, cepat menangkap maksud Surya.

“Jadi menurutmu mereka sedang memusatkan serangan ke Tugu sambil menebar pasukan di antara kita, agar jalur komunikasi kita putus?”

“Betul, Mayor!” jawab Surya mantap. “Artinya, pengepungan Belanda masih punya celah. Utara belum rapat. Ini kesempatan kita untuk menembus. Kalau kita menunggu lebih lama…”

Surya berhenti sejenak, menatap Mayor Wiratmaja dalam-dalam.

“…kita semua akan terkubur di sini tanpa sempat melawan.”

Mayor Wiratmaja terdiam. Hanya asap rokok tipis yang menari di udara malam itu, diiringi jauh di kejauhan dentuman meriam Belanda dari arah kota.

“Belanda akan segera mengalihkan perhatian penuh mereka ke kita!” ujar Mayor Wiratmaja dengan nada berat. “Kalau begitu… mereka akan menarik sebagian pasukan dari pos Tugu untuk mengepung kita sepenuhnya?”

“Itulah maksudku, Mayor!” Surya menimpali cepat. “Kita sudah kehabisan waktu. Kalau tidak menerobos sekarang, besok atau lusa semua jalur akan tertutup rapat.”

Mayor Wiratmaja terdiam sejenak. Sebagai seorang komandan berpengalaman, ia memang sudah berpikir tentang kemungkinan menerobos lewat utara, tapi ia baru memandangnya sebatas hutan dan perbukitan sebagai perlindungan. Ia sama sekali belum menimbang soal bagaimana pos Tugu menjadi pusat perhatian Belanda, dan bahwa justru saat itulah celah terbuka bagi mereka yang berada di pinggir utara.

Mendengar analisis Surya, dada Mayor Wiratmaja bergetar. Ia tak menyangka seorang prajurit biasa bisa membaca situasi sejelas itu. Selama ini, para prajurit hanya dituntut patuh dan menembak sesuai perintah. Tapi anak muda ini… bisa mengurai medan seolah ia sudah lama belajar strategi perang.

“Benar sekali,” desah Mayor Wiratmaja akhirnya. “Kau tepat, Surya. Kalau kita menunggu lebih lama, kesempatan akan hilang, dan kita akan terkubur di Yogya. Aku harus segera meyakinkan instruktur.”

Ia melempar puntung rokoknya ke tanah, lalu bangkit dengan langkah cepat menuju pos komando.

Namun beberapa langkah kemudian, ia berhenti, menoleh, lalu melemparkan sesuatu ke arah Surya.

“Itu untukmu!”

Surya menangkapnya. Sebuah bungkus rokok impor, merek asing, dengan bercak darah kering di ujungnya. Rampasan dari opsir Belanda yang tadi ia ceritakan.

Tentu saja, tak seorang pun peduli asalnya. Rokok adalah harta langka.

Surya baru saja menyelipkan bungkus itu ke dalam sakunya ketika ia sadar para prajuritnya sudah mengerubunginya.

“Komandan regu…” suara Okta, si prajurit asal Muntilan, terdengar pura-pura polos. “Sepertinya aku mencium bau tembakau asing di sini.”

“Kami juga lihat sesuatu dilemparkan Mayor padamu,” timpal Matrawi sambil menyeringai.

“Ah, masa itu bukan rokok?” tambah Fauzi, pura-pura bingung.

Yang lain pun ikut bersuara, berpura-pura tak tahu tapi jelas sekali mengincar jatah.

Surya mendengus, memutar bola mata. Ia tahu para bajingan kecil ini tidak akan tenang sebelum mendapat bagian. Dengan pasrah, ia melempar sebatang rokok ke tengah mereka.

Sekejap, para prajurit bersorak riang, berebut seperti anak-anak. Suara tawa dan canda seakan menghapus sejenak bau mesiu yang masih pekat di udara malam.

Surya mengisap rokoknya perlahan, menatap langit hitam tanpa bintang.

Dalam hatinya, ia bertanya-tanya: Mampukah Mayor Wiratmaja meyakinkan instruktur?

Kali ini, ia merasa harapan lebih besar daripada sebelumnya.

Mayor Wiratmaja sudah membuat keputusan bahwa waktunya adalah sekarang. Menunggu lebih lama hanya berarti kematian.

1
Nani Kurniasih
👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻lanjut Thor yg banyak
Nani Kurniasih
berasa ikutan perang
RUD
terima kasih kak sudah membaca, Jiwanya Bima raganya surya...
Bagaskara Manjer Kawuryan
jadi bingung karena kadang bima kadang surya
Nani Kurniasih
ngopi dulu Thor biar crazy up.
Nani Kurniasih
mudah mudahan crazy up ya
Nani Kurniasih
ya iya atuh, Surya adalah bima dari masa depan gitu loh
Nani Kurniasih
bacanya sampe deg degan
ITADORI YUJI
oii thor up nya jgm.cumam.1 doang ya thor 3 bab kekkk biar bacamya tmbah seru gt thor ok gasssss
RUD: terima kasih kak sudah membaca....kontrak belum turun /Sob/
total 1 replies
Cha Sumuk
bagus ceritanya...
ADYER 07
uppppp thorr 🔥☕
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!