Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.
Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.
Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selalu aku
Sejak pelajaran kedua berakhir hingga waktu istirahat tiba, bangku Kevin tetap kosong. Ratna menatapnya dengan perasaan campur aduk antara takut dan gelisah, khawatir jika sebentar lagi Kevin akan melampiaskan amarahnya karena sudah “dihukum”. Apalagi Vani, Kila, Bobi, dan Agam menatapnya dengan sinis, mata mereka menebarkan kilat kemarahan seolah Ratna akan menjadi sasaran begitu bel sekolah berbunyi.
Ratna menelan ludah gugup. Ia hanya bisa berharap, kali ini ia bisa lolos dari murka Kevin dan gengnya. Buku misterius yang berada di meja dibukanya perlahan. Sebait harapan ia tulis di sana.
“Semoga kali ini aku nggak apes lagi karena ulah geng Kevin.”
Tinta gel yang menempel di kertas mulai mengering. Saat itu juga, bel tanda selesainya pelajaran berdering nyaring. Karena jam terakhir kosong, semua siswa bergegas bersiap pulang, termasuk Ratna yang segera berdiri setelah merapikan buku dan alat tulisnya.
Namun, langkahnya langsung dicegat Vani dan Kila.
“Mau ke mana, Anak Setan?” desis Vani dengan tatapan yang penuh intimidasi.
Ratna ciut. Ia bingung, yang dimaksud “setan” itu siapa sebenarnya. Vani terlihat makin menakutkan sejak kembali ke sekolah setelah sakit.
“Yang kejadian sama Kevin bukan salah aku, kok,” ucap Ratna pelan, sambil mengintip sebagian besar siswa sudah berlarian keluar. Hanya tersisa beberapa orang di kelas, selain geng Kevin.
“Alah, gue tau akal busuk lu!” sela Agam tiba-tiba. “Waktu kemah di Gunung Merbabu, lu juga kan yang masukin tuh boneka ke tas Bobi!”
“Boneka apa?” gumam Ratna, bingung.
“Gak usah pura-pura bloon deh, lu!” sentak Kila.
“Gue tau, di balik muka polos lu, sebenernya lu punya niat busuk. Contohnya Kevin, udah kena sial gara-gara lu!” Vani mendorong bahu Ratna hingga tubuh gadis itu terhuyung.
“Kalau udah berani gini, lu gak usah takut hukuman apa yang bakal lu terima,” tambah Bobi dengan nada dingin.
Sejenak, Ratna menahan napas. Jika dibandingkan dengan hukuman dari guru, perundungan dari lima anak itu terasa jauh lebih menakutkan. Ia menyesal, kenapa sebungkus rokok itu bisa berpindah ke tas Kevin tanpa sepengetahuannya.
Dari arah pintu, Kevin muncul dengan wajah garang, menembus bahu Kila dan Vani. Tanpa ampun, tanpa batasan sedikit pun, ia tiba-tiba menampar Ratna. Gadis itu terperenyak di kursi, merasakan perih menyebar di pipi.
“Lu kudu bayar apa yang udah lu lakuin sama gue hari ini!” ancam Kevin, suaranya menggelegar.
Ketika hampir seluruh siswa meninggalkan gedung, Kevin memerintahkan Vani dan Agam untuk menyeret Ratna menuju toilet. Ratna meronta, memohon agar dilepaskan, tapi Kevin dan teman-temannya tak menghiraukannya.
“Sumpah, aku nggak tau. Kapan aku masukin rokok itu ke tas kamu?” Ratna membela diri, suaranya gemetar. Namun Kevin tidak peduli. Layaknya seorang pemimpin, ia berjalan di depan.
Setibanya di toilet laki-laki, Ratna dilemparkan hingga tubuhnya terhuyung menempel di sudut dinding. Tanpa ampun, Kevin mengambil setengah ember air dan menyiram tubuh Ratna seketika.
Ember itu dilemparkan kasar, menggelinding ke sisi lain ruangan. Ratna masih terkejut ketika Kevin mencengkeram dagunya dengan kuat.
“Gue tau akal bulus lu. Gara-gara lu, gue dihukum harus bersihin toilet sini. Sekarang, gimana rasanya mandi pake air bekas pel lantai?!” cecarnya.
Vani dan Kila sengaja berdiri di pintu, memastikan tidak ada siswa atau guru yang tersisa. Di dalam, Kevin, Agam, dan Bobi semakin tega memperlakukan Ratna.
Tas Ratna dilemparkan hingga terendam di wastafel yang mengalir airnya. Ikatan rambutnya ditarik hingga surai basahnya berantakan. Ratna tak bisa menahan tangis, merosot sesenggukan di lantai.
Kevin dan kedua temannya akhirnya pergi, meninggalkannya terpuruk, agar tidak berani membangkang lagi. Ratna mengira siksaan itu telah berakhir, namun Kila dan Vani masih belum puas.
Kila dan Vani menyeret Ratna, sambil membawa tasnya—beruntung tas itu tahan air—keluar dari toilet. Kedua gadis itu membawa Ratna menuju gudang, lalu menguncinya di dalam.
Kondisi Ratna kian tidak menentu. Basah kuyup sekujur tubuh, kini ia dikurung di ruangan berdebu. Tangisnya yang nelangsa bergema, terdengar lirih di antara dinding-dinding gudang.
“Lu kalau nangis terus, entar disangka ada kuntilanak yang caper!” teriak Vani, disertai tawa. Keduanya tampak puas dengan ulahnya, bahkan sempat tos di antara mereka sebelum meninggalkan Ratna yang tersiksa sendiri di dalam gudang.
Berusaha menenangkan diri, Ratna duduk di kursi kosong. Ia memeras rambut yang masih basah, lalu mengibaskan bajunya untuk mengurangi kadar air. Dengan gemetar, ia akhirnya mengenakan kembali pakaian basahnya.
Hampir satu jam ia terdiam, termenung di gudang, memikirkan cara untuk bebas. Tiba-tiba Ratna tersadar belum mengecek tasnya. Dengan hati-hati, ia meraih ransel yang tadi dilempar Vani.
Ia mengeluarkan buku-buku pelajarannya, beberapa basah meski tasnya anti air. Ritsleting yang tak sepenuhnya kedap membuat beberapa isi tersentuh air. Ratna memeluk buku-bukunya sembari sesenggukan, tak lupa mengambil buku diary hitamnya yang tergeletak di samping tas.
Saat memegang buku itu, emosi Ratna seperti meluap. Ia mulai menghapus air mata dan duduk lebih nyaman di atas hamparan ubin putih. Kata demi kata mulai ia tulis di kertas kosong, mengurai kekecewaan dan rasa sakit hati yang menumpuk.
Belum selesai menulis, terdengar langkah mendekat dari luar. Tak lama kemudian, terdengar bunyi kunci dibuka. Ratna terkejut, begitu pula Leo yang lebih kaget lagi melihat Ratna berada di dalam gudang.
“Lu ngapain di sini? Digangguin anak-anak lagi?” serocos Leo. Ia hendak mengambil sesuatu untuk keperluan ekskul, tapi malah mendapati Ratna terjebak dalam keadaan mengenaskan.
Ratna tidak langsung menjawab. Ia merapikan kembali buku-bukunya, lalu berdiri dan berjalan ke arah pintu. Leo masih terpaku, mulutnya ternganga saat Ratna melintas.
“Ratna, menurut gue, lu harusnya lapor ke guru BK kalau sering dikerjain gini,” ucap Leo tiba-tiba. Langkah Ratna berhenti sejenak.
Tanpa menoleh, gadis itu menjawab, “Itu sama aja dengan bunuh diri.” Ratna kembali melangkah pergi, meninggalkan Leo yang merasa serba salah karena tak mampu berbuat apa-apa.
......................
Dengan tubuh lunglai, Ratna masuk ke kamarnya, setengah melempar tas ke meja belajar. Baru saja sembuh dari sakit, geng Kevin sudah mencari masalah lagi.
Ratna menarik kursi, membuka tasnya, menumpahkan keluh kesah atas perlakuan mereka yang semena-mena. Rasa sakit hati begitu berat, membuatnya tak mampu menahan air mata.
“Harusnya Ibu gak ninggalin aku kayak gini! Hidup aku jadi sengsara, kan!” gumam Ratna. Ia menaruh pulpen dengan kasar, lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menangis sejadi-jadinya menumpahkan kekacauan dalam hatinya.
Di tengah tangisnya, ponsel berdering. Ratna meraih dari dalam tas. Tertera nomor baru di layar. Dengan harap-harap cemas, ia menggeser layar ke atas, berharap itu Naya yang menelepon.