Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.
Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 20
Kertas undangan itu tampak sederhana, tapi bagi Raisa, beratnya seperti menanggung seluruh dunia.
Ia duduk di meja makan apartemen, menatap sekotak besar undangan yang baru diantar vendor. Di permukaan kartu, nama mereka berdua terukir elegan: “Raisa Salsabila & Ardan.”
Matanya mengembun.
Bukan karena sedih, tapi karena semuanya terasa nyata sekarang.
Beberapa bulan lalu ia hanyalah mahasiswa biasa yang sibuk dengan skripsi dan mengeluh soal dosen killer. Kini, ia duduk di sini—di apartemen milik seorang pengusaha sukses, memegang undangan untuk pernikahannya sendiri.
Pernikahan dengan pria yang 25 tahun lebih tua darinya.
Ardan berjalan keluar dari ruang kerja sambil melepas kacamata. “Mereka sudah kirim semua?” tanyanya sambil menghampiri Raisa.
Raisa mengangguk. “Iya. Jadi… ini beneran ya, Om? Semuanya beneran.”
Ardan tersenyum kecil, lalu berdiri di belakang Raisa dan memeluknya dari belakang. “Kamu masih nggak percaya?”
“Bukan gitu,” Raisa menggigit bibir. “Aku cuma… takut.”
“Takut sama apa?”
“Takut kalau semua ini nggak berakhir bahagia.”
Ardan memutar kursinya agar bisa menatap wajah Raisa. Ia meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat. “Raisa. Aku janji, aku nggak akan biarin siapapun atau apapun bikin kamu nyesel pilih aku. Oke?”
Raisa menatap matanya. Ada sesuatu pada cara Ardan berbicara yang selalu berhasil menenangkannya—seakan dunia luar tak lagi berisik jika ia bersama pria ini.
“Om janji?”
“Janji.”
Tapi janji itu diuji bahkan sebelum pesta pernikahan dimulai.
Keesokan harinya, Raisa kembali ke kampus untuk menyerahkan revisi tugas akhir. Begitu ia turun dari mobil, beberapa mahasiswa langsung mengarahkan ponsel ke arahnya.
“Raisa! Raisa! Komentarnya soal pernikahan kamu dong!”
“Kapan pesta resepsinya? Bener di hotel bintang lima?”
“Eh, bener kamu dikasih apartemen sama Pak Ardan? Mobil juga katanya?”
Raisa menunduk, pura-pura tidak mendengar, dan mempercepat langkahnya. Namun bisik-bisik itu tak bisa ia hindari.
“Gila, dia kayak main The Sims aja. Semua instan.”
“Aku kalau jadi dia, juga mau lah. Tua nggak tua, yang penting kaya.”
“Ih, parah banget. Harga dirinya di mana sih?”
Sakitnya bukan main.
Ia masuk ke ruang administrasi dengan tangan gemetar. Dina, sahabatnya, sudah menunggu di sana. Begitu melihat wajah Raisa, Dina langsung memeluknya.
“Rai, kamu kenapa? Kamu pucat banget,” katanya khawatir.
“Din… kalau aku cuti kuliah dulu, kamu marah nggak?”
Dina melepaskan pelukannya. “Kamu beneran mikir mau cuti?”
Raisa mengangguk lemah. “Dosenku nyuruh gitu. Katanya… supaya mahasiswa lain nggak risih. Dan… aku juga nggak kuat sama omongan orang.”
Dina menarik napas panjang. “Rai, kamu nggak bisa lari dari gosip. Mau kamu cuti, mau kamu nggak, orang tetap ngomong. Jadi kenapa nggak sekalian kamu hadapin?”
“Hadapin?”
“Iya. Kamu sendiri bilang kan, kamu pilih jalan ini. Kamu nggak boleh goyah cuma karena komentar orang yang bahkan nggak tahu hidup kamu.”
Raisa terdiam. Kata-kata Dina menamparnya.
Malamnya, Raisa bercerita pada Ardan.
“Din nyuruh aku hadapin aja semua ini. Tapi aku nggak tahu aku kuat apa nggak.”
Ardan menatapnya lama. “Kamu tahu kenapa aku jatuh cinta sama kamu?”
Raisa menggeleng.
“Karena kamu berani. Waktu semua orang sibuk menilai, kamu tetap datang ke sini. Waktu orang menghakimi, kamu tetap pilih aku. Itu keberanian, Raisa. Jangan biarin mereka matiin itu.”
Kalimat itu membekas di kepala Raisa hingga ia tertidur malam itu.
Persiapan pernikahan dimulai.
Gedung resepsi sudah dipesan—sebuah ballroom megah di hotel bintang lima di pusat kota. Gaun pengantin rancangan desainer terkenal sudah diukur. Media mulai memberitakan kabar ini seperti pesta selebritas.
Namun, konflik keluarga Ardan memuncak.
Suatu sore, saat Raisa sedang mencoba gaun pengantin di butik, ponselnya berdering. Nama di layar membuat dadanya berdegup: Bu Ratna — ibunya Ardan.
Dengan ragu, ia menjawab. “Halo, Bu.”
“Raisa. Bisa ketemu Ibu sebentar? Sendirian.”
Raisa menelan ludah. “Om… tahu?”
“Belum. Dan jangan kasih tahu. Ini antara kamu sama Ibu.”
Mereka bertemu di sebuah restoran kecil. Bu Ratna sudah duduk di meja pojok, menatap Raisa dengan mata yang sulit dibaca.
“Kamu tahu kenapa Ibu minta ketemu?” tanyanya dingin.
Raisa menggeleng.
“Karena Ibu mau kamu mikir lagi. Ardan itu… dia nggak tahu apa yang dia lakukan. Dia pikir ini cinta, padahal cuma kasihan. Kamu masih muda, Raisa. Kamu punya masa depan. Kenapa kamu buang buat ikut hidup sama orang seumur dia?”
“Bu, saya…”
“Kalau kamu mau uang, katakan. Ibu bisa kasih kamu lebih. Tapi tinggalkan Ardan.”
Raisa terhenyak. “Bu… saya sama Om bukan karena uang.”
Bu Ratna mendengus. “Semua orang yang bilang begitu, ujung-ujungnya karena uang.”
Air mata Raisa menetes. “Saya sayang sama dia. Itu aja.”
Bu Ratna menatapnya lama. “Sayang nggak cukup buat bikin pernikahan awet. Apalagi kalau pernikahan itu dimulai dengan dunia membenci kalian.”
Raisa pulang dengan mata bengkak.
Ardan yang melihatnya langsung menghampiri. “Siapa yang bikin kamu kayak gini?”
Raisa menggeleng. “Nggak apa-apa. Cuma… capek.”
Ardan meraih wajahnya. “Kamu jangan pernah nangis sendirian. Aku ada di sini.”
Namun Raisa tak memberitahukan soal pertemuannya dengan Bu Ratna. Ia tak ingin menambah beban Ardan.
Hari-hari berikutnya terasa seperti medan perang.
Media gosip terus memburu mereka. Di kampus, Raisa makin jarang muncul karena tak tahan dengan tatapan orang. Bahkan di apartemen, ia sering terjaga hingga larut malam, memikirkan apa benar ia kuat menghadapi semua ini.
Namun di setiap keraguan itu, Ardan selalu hadir.
Membawakan makanan kesukaannya. Menemaninya belajar. Mengajaknya pergi sejenak dari hiruk pikuk kota.
Dan setiap kali Ardan menatapnya dengan penuh keyakinan, Raisa tahu—meski dunia tak menginginkan mereka, mereka tetap punya satu sama lain.
Hingga akhirnya, hari besar itu tiba.
Ballroom hotel berkilauan oleh hiasan kristal dan bunga segar. Para tamu berdatangan: rekan bisnis Ardan, kolega, bahkan beberapa selebritas. Media menunggu di luar, kamera siap merekam setiap momen.
Di ruang rias, Raisa menatap dirinya di cermin. Gaun putih panjang dengan renda halus membalut tubuhnya. Rambutnya disanggul rapi, mahkota kecil menghiasi kepalanya.
Namun ia tak melihat pengantin yang bahagia di sana.
Yang ia lihat adalah gadis 22 tahun yang akan menikahi pria 47 tahun—dan seluruh dunia menontonnya.
Dina masuk, memeluknya dari belakang. “Kamu cantik banget, Rai. Serius.”
Raisa tersenyum kecil. “Aku takut, Din.”
“Takut itu wajar. Tapi kamu udah sejauh ini. Jangan mundur sekarang.”
Raisa menarik napas panjang. Ya. Ia tak akan mundur.
Ketika pintu ballroom dibuka, semua mata tertuju padanya. Musik lembut mengiringi langkahnya menuju altar.
Ardan berdiri di ujung sana, mengenakan setelan jas hitam. Senyumnya—tenang, meyakinkan, seperti janji yang pernah ia ucapkan: “Aku akan jadi kuat buat kita berdua.”
Saat Raisa menggenggam tangannya, semua ketakutan itu perlahan mereda.
Di hadapan semua orang yang menghakimi mereka, mereka mengucap janji suci.
Dan ketika Ardan mengecup keningnya setelah resmi menjadi suami-istri, Raisa tahu—dunia boleh tetap membenci mereka.
Tapi ini hidupnya.
Dan ia memilih untuk menjalaninya bersama pria itu.