NovelToon NovelToon
CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Romansa
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: GOD NIKA

Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sayap Kupu-Kupu, Akar Yang Kuat

Waktu berlalu. Musim berganti. Dan tanpa disadari, Revanza Cipta tumbuh bukan hanya sebagai perusahaan, tapi sebagai simbol kebangkitan.

Gedung baru mereka berdiri megah di Sukabumi. Kaca-kaca transparan memantulkan langit biru, dan di bagian atap, kebun hijau kecil hidup berdampingan dengan panel surya. Di fasad bangunan, seekor kupu-kupu logam membentangkan sayap. Bukan hiasan, tapi lambang perjalanan. Dari reruntuhan yang dulu nyaris menelan mereka, kini lahir tempat yang bersih, kuat, dan hidup.

Leon berdiri di lobi pagi itu, menyapa satu per satu tim yang datang dengan semangat. Matanya tak lagi menyimpan beban warisan masa lalu. Langkahnya mantap, tutur katanya tenang. Ia telah berubah. Bukan hanya sebagai pemimpin, tapi sebagai manusia.

“Gila, kita beneran bangun semua ini, ya,” gumamnya suatu sore saat ia dan Lana sedang duduk di balkon lantai atas, menatap matahari yang pelan-pelan tenggelam di balik bukit.

Lana tertawa kecil. “Bukan kita. Semua orang yang percaya sama kita juga ikut andil membangun semua ini. Tapi ya... mungkin, kalau bukan karena kamu ngotot nggak mau nyerah waktu itu, kita udah tutup warung.”

Leon meliriknya sambil tersenyum. “Kalau kamu nggak maksa aku buat bangun dan berani hadapin semuanya, aku nggak akan jadi siapa-siapa.”

“Ah, jadi kita saling nyelamatin, ya?” kata Lana sambil tersenyum menatap Leon.

“Dari awal,” jawab Leon lirih, menggenggam tangan Lana erat.

Di dalam, tim Revanza Cipta bekerja dengan semangat. Ruang terbuka, penuh cahaya alami, aroma kopi, dan papan tulis penuh coretan ide. Mereka bukan hanya membangun proyek, mereka sedang membangun masa depan.

Tak jarang mereka lembur, tapi tak satu pun ada yang mengeluh. Ada rasa memiliki yang tumbuh di antara meja kerja, canda gurau di pantry, dan pelukan hangat saat target proyek berhasil diselesaikan. Mereka bukan sekadar rekan kerja, mereka adalah keluarga yang terlahir dari luka.

Bahkan ketika malam larut dan lampu gedung mulai padam satu per satu, Leon akan berdiri di lantai paling atas, menatap kota yang dulu nyaris menelannya hidup-hidup. Kini, dari tempat yang tinggi, ia tidak melihat kejayaan, ia melihat tanggung jawab.

Ujian Baru, Musuh Baru

Tapi tentu saja, sukses tidak pernah datang sendirian. Ia membawa tamu lain, tantangan.

Setelah kejatuhan Hartono Group, pasar konstruksi jadi ajang rebutan. Salah satu pemain baru, Titan Global, muncul sebagai ancaman. Modal mereka besar. Ambisi mereka lebih besar lagi. Tapi yang membuat Leon dan Lana waspada adalah cara mereka bermain,tanpa rambu-rambu.

Arvino mendatangi Leon pagi itu dengan wajah masam. “Ada yang aneh. Dua calon klien kita tiba-tiba batal kontrak. Mereka bilang dapat penawaran yang mirip banget sama dengan kita, tapi lebih murah... dan lebih cepet.”

Leon mengangguk. “Titan Global?”

“Kayaknya. Mereka juga lagi mencoba merekrut anak-anak R&D kita. Sudah ada dua yang mereka dihubungi.”

Lana, yang duduk tak jauh dari mereka, menoleh. “Kita nggak bisa bersaing dari sisi harga. Tapi kita bisa bikin sesuatu yang tidak bisa mereka tiru. Kita harus jadi satu langkah lebih maju dari mereka.”

Leon menatap Lana, lalu mengangguk. “Setuju. Fokus ke inovasi. Kita nggak perlu perang secara kotor.”

Dalam beberapa minggu, Revanza Cipta membentuk tim khusus R&D yang hanya menangani proyek-proyek eksperimental. Mereka menciptakan sistem fondasi modular, panel biosolar, dan prototipe beton organik yang belum pernah ada. Di saat yang sama, Lana memperkuat jaringan kemitraan mereka, bukan hanya dengan swasta, tapi juga komunitas lokal dan NGO.

Leon sering duduk sendiri di ruang rapat larut malam, menatap whiteboard yang penuh coretan. Kini ia tahu, ia tidak sendirian. Di balik setiap garis rencana, ada keyakinan yang kuat, mereka membangun dunia yang lebih baik.

Revanza Cipta mulai terlihat bukan hanya sebagai kontraktor. Mereka adalah pionir. Dan Titan Global, meski uang mereka tak terbatas, mereka tak bisa meniru satu hal: nilai yang ditanamkan Leon dan Lana sejak hari pertama, integritas.

Di Bawah Pohon Beringin

Dua tahun setelah krisis itu, saat semuanya sudah stabil, Leon membawa Lana ke tempat favorit mereka di bukit kecil Sukabumi. Di bawah pohon beringin yang dulu jadi tempat pelarian, ia berdiri gugup dengan sebuah kotak kecil di tangan.

“Lana,” katanya pelan, tapi mantap. “Kita udah ngelewatin semuanya bareng. Dari yang paling buruk... sampai yang paling indah. Aku nggak tahu masa depan akan seperti apa, tapi aku tahu satu hal, aku nggak mau jalanin itu tanpa kamu.”

Lana menatapnya, terdiam.

“Maukah kamu menikah denganku?”

Tangisnya Lana pecah sebelum sempat menjawab. “Iya, Leon. Iya!”

Mereka menikah di taman kecil, sederhana, tanpa glamor, tanpa pesta mewah. Hanya keluarga, sahabat, dan tim Revanza Cipta yang sudah jadi bagian hidup mereka. Lana mengenakan gaun putih sederhana, liontin kupu-kupu di lehernya. Leon hanya pakai jas abu-abu. Tapi senyum mereka itu adalah harta yang tak bisa dibeli siapa pun.

Di antara peluk dan tawa hari itu, Leon berbisik pada dirinya sendiri, “Inilah awal dari warisan yang berbeda.”

Arya

Tiga tahun kemudian, seorang bayi laki-laki lahir. Mereka menamainya Arya.

Leon duduk di tepi ranjang bayi itu malam pertama mereka pulang dari rumah sakit. Tangannya gemetar saat menyentuh pipi Arya yang mungil.

“Aku takut,” katanya pelan ke Lana.

Lana tersenyum lelah tapi bahagia. “Kita semua takut, Leon. Tapi kamu udah jadi ayah bahkan sebelum dia lahir. Lihat semua yang udah kamu lindungi.”

Sejak itu, dunia Leon berubah. Malam-malamnya dipenuhi suara tangisan bayi, tawa kecil, dan lagu Nina Bobo yang ia nyanyikan meski suaranya sumbang. Lana, dengan kesabaran luar biasa, membentuk rumah yang hangat, tempat di mana cinta bukan hanya kata, tapi tindakan.

Ada kalanya Leon membawa Arya ke kantor, meletakkannya di stroller sambil rapat. Semua orang tersenyum melihat bos mereka menyuapi bubur sambil membahas laporan proyek. Dan tak ada yang menganggap itu aneh. Karena bagi mereka, inilah arti sejati dari "keseimbangan."

Warisan yang Tak Terlihat

Leon tahu, suatu saat nanti Arya akan tumbuh dan bertanya tentang Hartono. Tentang masa lalu kelam.

Jadi suatu hari, ia mengunjungi ayahnya di penjara. Bukan untuk menghakimi. Hanya untuk memastikan satu hal, bahwa warisan itu berhenti di dirinya.

Ayahnya, tua dan kurus, duduk di seberang meja. Matanya tetap tajam, bibirnya tetap keras.

“Kau datang untuk menertawakan ku?” tanya Tuan Besar Hartono dengan sorot

 Mata tajam.

Leon menggeleng. “Aku datang hanya ingin bilang... aku memaafkan mu. Tapi aku tidak akan mewarisi caramu. Aku akan menulis ulang nama keluarga ini.”

Tuan Hartono menatap lama, lalu memalingkan wajah. Tapi di sudut matanya, setitik air jatuh, entah itu penyesalan atau hanya kelemahan usia. Leon tak butuh jawaban. Ia sudah cukup kuat untuk berdiri sendiri.

Puncak dan Pondasi

Revanza Cipta makin kuat. Kantor baru dibuka di Yogyakarta dan Malang. Mereka kini jadi acuan dalam pembangunan berkelanjutan. Proyek-proyek mereka jadi studi kasus di universitas. Inovasi mereka mulai diadopsi oleh perusahaan besar lain.

Dan suatu malam, saat Leon menerima penghargaan dari kementerian atas kontribusinya, ia berdiri di podium, menggenggam mikrofon sambil menatap Lana dan Arya di barisan depan.

“Dulu, aku pikir kekuatan itu datang nya dari kendali,” katanya. “Sekarang aku tahu, kekuatan itu datang dari pilihan untuk membangun, bukan menghancurkan. Dari keberanian memilih untuk jujur, saat yang lain memilih jalan pintas.”

Tepuk tangan menggema.

“Revanza Cipta bukan tentang aku. Ini tentang kita. Tentang mereka yang percaya bahwa bisnis bisa adil. Bahwa cinta bisa menjadi fondasi. Dan bahwa dari luka yang terdalam, bisa tumbuh sayap yang paling kuat.”

Lana menangis. Arya, yang masih kecil, memeluk lututnya dan bertanya, “Kenapa Mama nangis?”

“Karena Papa kamu hebat, Nak,” bisik Lana, mencium kening anaknya.

Dan malam itu, di balik lampu panggung dan riuh tepuk tangan, Leon tahu: ia sudah terbang. Bukan menjauh dari masa lalu, tapi membawa masa lalu itu... lalu menjadikannya tanah tempat akar-akarnya tumbuh.

Pagi berikutnya, Lana sedang mengecek email perusahaan saat satu file masuk ke folder direksi.

Tanpa subjek. Tanpa pengirim.

Hanya satu lampiran: dokumen 17 halaman. Tanpa identitas.

Judul file-nya:

"REVENANT: Bukti Proyek Gelap Titan Global (2017–2020)"

Lana menatap layar. Alisnya mengerut. Jantungnya tiba-tiba berdetak cepat.

Dari ruang sebelah, Arya berlari kecil sambil membawa balok mainannya. Tapi Lana tak menjawab.

Satu pikiran melintas cepat, perang belum selesai.

Lana membuka file itu.

Halaman pertama menampilkan logo Titan Global, dengan cap “KONFIDENSIAL” menyilang tajam. Di bawahnya, daftar nama. Beberapa dikenal. Beberapa asing. Tapi yang membuat tubuh Lana kaku bukan daftar nama itu.

Melainkan sebuah inisial.

“L.H.”

Di kolom bertuliskan Authorized Overseer.

Lana membeku. Itu tidak mungkin. Leon tidak pernah...

Ia lanjut membaca.

Paragraf demi paragraf mengungkap rincian proyek yang dijalankan secara diam-diam, pembangunan pabrik limbah beracun di luar Jawa, pemindahan paksa warga lokal, penggunaan teknologi eksperimental yang belum diuji etikanya, semuanya didanai oleh jaringan perusahaan cangkang, tersamar lewat donasi CSR.

Dan pada halaman terakhir, satu foto buram: seorang pria muda dengan jas abu-abu, berdiri di dermaga malam hari, berbicara dengan sosok yang wajahnya disamarkan.

Di belakangnya, peti kontainer dengan logo Sintex Corp.

Nama di bawah foto:

“Leon Hartono, Site Visit, Agustus 2018.”

Lana menutup layar.

Nafasnya terengah.

Pintu kamar terbuka pelan. Leon masuk, masih mengenakan piyama, membawa dua cangkir kopi. “Pagi, sapa Leon, Arya sudah makan?”

Lana tidak menjawab. Ia menatap suaminya.

“Kenapa?” tanya Leon, bingung.

Lana berdiri perlahan, menatapnya dalam-dalam. “Apa yang kamu sembunyikan dariku, Leon?”

Leon mengernyit. “Apa maksudmu?”

Lana menunjuk layar laptop.

Leon menatap. Seketika, warna wajahnya memudar. Cangkir di tangannya bergetar. Lalu jatuh, pecah di lantai.

“Aku bisa jelaskan,” katanya.

Tapi Lana sudah berbalik. “Lebih baik kamu jujur sekarang... sebelum semuanya runtuh.”

Dari jendela, sinar matahari pagi menerobos masuk, tapi di dalam ruangan itu, yang tadinya penuh kehangatan, udara tiba-tiba menjadi dingin, rapuh, dan penuh bayangan.

Dan di tempat lain, di sebuah ruangan gelap, jauh dari hiruk-pikuk Jakarta monitor besar menyala, menampilkan wajah Lana yang sedang membaca file tadi.

Seseorang tertawa pelan di balik layar.

Lalu mengetik pesan pendek:

*Target 1 sudah membuka file.

Target 2 akan runtuh dari dalam.

Lanjutkan fase berikutnya.

KODE: REVENANT

1
Risa Koizumi
Bikin terhanyut. 🌟
GOD NIKA: Terima kasih🙏🥰🥰
total 1 replies
Mít ướt
Jatuh hati.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!