Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Kota Hanbei, ibukota dari Kekaisaran Hanbei, adalah negeri yang berbeda dari Luoyang.
Jalan-jalan bersih dan lapang, udara utara yang segar, serta langit yang seolah lebih biru dari langit di mana pun. Meski dikelilingi pegunungan tinggi dan udara dingin, kota ini dipenuhi kehangatan dalam cara rakyatnya tersenyum dan memberi hormat, bahkan pada orang asing.
Dan di sinilah kini keluarga Wei tinggal. Di sebuah kompleks rumah yang tenang, terletak di kaki bukit Hanbei, milik pribadi sang Kaisar Mo Yichen. Sebuah tempat yang tak terjangkau tangan-tangan kekuasaan lama… namun cukup dalam untuk menanam akar baru.
—
Tiga minggu telah berlalu sejak mereka tiba.
Jenderal Wei mulai pulih perlahan. Tubuhnya yang dulu penuh luka kini sedikit demi sedikit membaik, walau ia tak pernah lepas dari tongkat kayu di sampingnya.
Nyonya Zhang mengisi hari-harinya dengan berkebun, menanam tanaman Hanbei yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia bahkan mulai belajar membuat teh herbal khas utara, meski rasanya masih membuat semua orang memejamkan mata tiap kali dicicipi.
Dan Wei Lian…
Ia menata ulang hidupnya. Bangun pagi setiap hari, membantu ibunya, dan mulai membaca ulang strategi militer klasik serta hukum negeri Hanbei. Tapi yang paling sering ia lakukan—berjalan pelan di taman belakang, tempat ia bisa bertemu Mo Yichen.
—
Suatu sore yang cerah
Mo Yichen duduk di bawah pohon plum yang sedang berbunga. Di tangannya ada alat ukir kayu kecil, dan sepotong kayu pinus yang sudah setengah terbentuk menjadi seekor naga kecil.
Wei Lian menghampirinya dengan membawa dua cangkir teh.
“Belajar ukir kayu sekarang, Yang Mulia?” tanyanya sambil duduk di seberangnya.
Mo Yichen tersenyum. “Jangan panggil aku begitu di sini. Aku sudah cukup lelah jadi Kaisar di balik tirai. Di sini… aku cuma Yichen.”
Wei Lian mengangguk. “Kalau begitu… minumlah, Yichen.”
Mereka duduk dalam diam beberapa saat, angin meniup lembut dedaunan plum, menjatuhkan kelopak bunga ke pangkuan Wei Lian. Mo Yichen memungut satu kelopak dan meletakkannya di balik telinga Wei Lian.
“Kau terlihat lebih damai sekarang,” ujarnya pelan.
“Damai… tapi kosong,” jawab Wei Lian jujur. “Hidupku dulu hanya berisi dendam. Sekarang dendam itu sudah selesai… aku merasa seperti tidak tahu lagi siapa aku.”
Mo Yichen memandangnya dalam.
“Itu bagus. Artinya kau bisa menulis ulang dirimu dari awal. Tanpa beban.”
Wei Lian menunduk, menatap cangkir tehnya. “Dan kau? Kau seorang Kaisar. Dunia masih butuhmu. Tapi kenapa kau tinggal di sini?”
Mo Yichen tertawa kecil. “Kau tahu, saat aku kecil, aku pernah tanya pada ibuku apa yang paling membuat seorang Kaisar kesepian.”
“Apa jawabannya?”
“Dia bilang… ‘Ketika semua orang memanggilmu Yang Mulia, tapi tak ada yang pernah bertanya apakah kau bahagia.’”
Wei Lian menatapnya.“Kau bahagia sekarang?”
Mo Yichen tidak menjawab langsung. Ia meletakkan ukiran kayunya, lalu berkata,
“Jika aku bisa duduk begini bersamamu setiap hari, tanpa perlu menyembunyikan wajah atau menyusun strategi perang… aku pikir itu cukup untuk disebut bahagia.”
Wei Lian terdiam. Hatinyanya bergetar… bukan karena kata-kata, tapi karena tatapan Mo Yichen yang tak berusaha disembunyikan lagi.
—
Malam harinya
Ah Rui dan Yan’er berebut bantal di ruang tengah rumah keluarga Wei. Mereka kini tinggal dalam rumah yang sama, membentuk semacam “keluarga baru” yang kocak dan hangat.
“Kenapa bantalku tiba-tiba jadi empuk?” keluh Yan’er.
“Karena aku isi dengan dedaunan semanggi supaya kau lebih manis!” balas Ah Rui.
Jenderal Wei hanya tertawa geli dari ruang depan. “Rumah ini jadi lebih hidup daripada waktu aku masih jadi jenderal.”
Nyonya Zhang menimpali, “Dan tak ada ledakan, racun, atau penyusup dalam seminggu. Itu sudah kemajuan besar.”
Semua tertawa, termasuk Wei Lian yang baru masuk dari taman.
Namun tawa mereka tak berlangsung lama…
Karena malam itu, seekor burung elang pos mendarat di atap.
Dengan membawa surat bersigil emas dari Luoyang.
—
Surat itu ditujukan untuk Mo Yichen.
“Yang Mulia Kaisar Hanbei,
Situasi genting. Putra Mahkota Ren Yao dikabarkan hilang setelah menyerang wilayah selatan secara diam-diam.
Luoyang butuh perantara untuk mencegah perang saudara.
Kami mohon bantuanmu—sebagai Kaisar… dan sebagai satu-satunya yang pernah membuatnya tunduk.
– Menteri Agung Istana Tengah”
—
Mo Yichen menatap surat itu lama.
Di sampingnya, Wei Lian berdiri diam. Ia tahu… dunia luar belum selesai dengan mereka.
Mo Yichen melipat surat itu pelan, lalu memandang Wei Lian.
“Sepertinya... waktu damai kita sebentar lagi akan berakhir.”
Wei Lian mengangguk pelan, lalu tersenyum samar.
“Kalau begitu… biarkan aku ikut denganmu. Kali ini bukan untuk membalas dendam. Tapi untuk menyelamatkan yang tersisa.”
Mo Yichen menjawab dengan senyum dalam.
“Kalau bersamamu, aku siap menghadapi apa pun.”
Bersambung