follow IG Othor @ersa_eysresa
Di usia 30, Aruni dicap "perawan tua" di desanya, karena belum menemukan tambatan hati yang tepat. Terjebak dalam tekanan keluarga, ia akhirnya menerima perjodohan dengan Ahmad, seorang petani berusia 35 tahun.
Namun, harapan pernikahan itu kandas di tengah jalan karena penolakan calon ibu mertua Aruni setelah mengetahui usia Aruni. Dia khawatir akan momongan.
Patah hati, Aruni membuatnya menenangkan diri ke rumah tantenya di Jakarta. Di kereta, takdir mempertemukannya dengan seorang pria asing yang sama sekali tidak dia kenal.
Apakah yang terjadi selanjunya?
Baca kisah ini sampai selesai ya untuk tau perjalanan kisah Aruni menemukan jodohnya.
Checkidot.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Kabar tentang pertemuan Aruni dan Ahmad benar-benar mengusik ketenangan Rico di Belanda. Meskipun ia berusaha untuk tetap profesional, pikirannya terus saja melayang pada Aruni. Rasa cemburu dan khawatir campur aduk di benaknya. Ia tidak bisa lagi menunda kepulangannya dan tinggal lebih lama disana.
"Tomi, aku putuskan untuk pulang hari ini juga," kata Rico kepada asistennya. Mereka sedang berada di ruang rapat setelah presentasi besar.
Tomi, seorang pemuda cekatan yang sudah terbiasa dengan keputusan mendadak Rico, mengangkat alis. "Hari ini juga, Pak? Tapi masih ada beberapa hal yang perlu diselesaikan..."
"Aku tahu. Kamu selesaikan sisanya," potong Rico tegas, sorot matanya menunjukkan bahwa keputusannya bulat. "Laporan akhir bisa kamu kirimkan via email. Urusan klien biar aku follow up dari Jakarta. Ada sesuatu yang harus aku lakukan."
Dengan patuh, Tomi mengangguk. "Baik, Pak. Akan saya urus semua."
Rico segera membereskan meja kerjanya, Dan segera pulang. Dia segera mengemas barang-barang pribadinya di apartemen sewaan, dan buru-buru menuju bandara sore itu juga. Setelah berjam-jam berada di pesawat, melintasi benua dan zona waktu, akhirnya Rico tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta saat pagi menjelang siang. Tubuhnya terasa lelah, namun semangatnya untuk bertemu Aruni jauh lebih besar dari rasa kantuknya.
Ia langsung pulang ke apartemennya di pusat kota. Ia berpikir, percuma juga kalau dia pergi ke rumah Amar siang-siang begini, Aruni pasti belum pulang dari sekolah. Nanti sore setelah istirahat dia akan pergi ke rumah Amar untuk berkunjung.
Namun, seberapa keras Rico mencoba untuk tidur tapi tidurnya terasa tidak tenang. Meskipun tubuhnya sangat membutuhkan istirahat, pikirannya terus berputar pada Aruni. Hanya tidur sebentar saja dia sudah terbangun. Ia melirik jam di dinding, sudah pukul 12 siang.
"Ya ampun gini amat ya, rasanya jatuh cinta. Kalai belum ketemu orangnya hati rasanya nggak tenang. " gumamnya.
Rico segera bangkit dari ranjang. Rasa rindu dan cemas yang memuncak mengalahkan rasa lelahnya. Ia memutuskan untuk tidak menunggu sampai sore. Dengan cepat, ia mandi membersihkan tubuhnya. berharap setelah mandi rasa lelahnya segera menghilang.
Dengan Mengenakan kemeja kasual berwarna biru gelap dan celana chino, Rico mengambil kunci mobilnya. Destinasinya bukan rumah Amar sahabatnya, melainkan sekolah tempat Aruni mengajar. Dia berniat menjemput Aruni di sekolah.
Perjalanan dari apartemennya menuju sekolah Aruni terasa lebih panjang dari biasanya karena kemacetan Jakarta yang bertepatan dengan jam makan siang. Namun, Rico tidak peduli. Sepanjang jalan, ia membayangkan bagaimana reaksi Aruni saat melihatnya. Apakah dia akan terkejut? Senang? Atau justru marah karena ia menghilang begitu saja?
"Ya Ampun, kenapa macet sih, kapan Jakarta akan bebas dari macet. Apa setelah menikah nanti aku bawa saja Aruni tinggal di Jepang atau di Belanda sekalian. " gumamnya lagi menahan kesal.
"Biasanya aku nggak pernah se-setress ini saat menghadapi kemacetan. Kenapa sekarang jadi begini. " Rico kembali merutuki dirinya.
"Aruni, kamu sudah membuatku gila. Fix, kita harus menikah secepatnya. " tekadnya bulat.
Akhirnya, set lah melewati k macetan yang panjang, mobil Rico tiba di depan gerbang sekolah dasar itu. Suasana terlihat ramai dengan anak-anak yang sudah mulai keluar, dijemput orang tua mereka. Rico memarkirkan mobilnya agak jauh, lalu berjalan mendekat ke pagar sekolah. Ia melihat beberapa guru wanita berdiri di depan gerbang, mengawasi anak-anak muridnya. Mata Rico langsung tertuju pada satu sosok yang ia cari. Aruni.
Aruni tampak sedikit lelah namun tetap tersenyum ramah kepada murid-muridnya. Ia mengenakan seragam guru berwarna krem dengan hijab di kepalanya. Jantung Rico berdesir melihatnya. Ia menunggu sejenak hingga Aruni agak senggang.
"Aruni!" panggil Rico pelan dari balik pagar.
Aruni menoleh, mencari sumber suara. Matanya melebar begitu melihat sosok Rico berdiri di sana, dengan senyum tipis di bibirnya. Betapa terkejutnya Aruni melihat Rico sudah menunggunya di depan pagar sekolah. Ia mengira Rico masih di Belanda, atau setidaknya akan memberi kabar terlebih dahulu.
"Ri...Rico?" Aruni tergagap, tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Rico tersenyum. "Hay, Aruni." tangannya melambai
Sontak teman-teman Aruni ikut menoleh ke sumber suara.
"Duh siapa cowok cakep itu, Bu Aruni? "
"Pacar Bu Aruni ya, cakep banget bu. Nemu dimana. "
Bisik-bisik itu terdengar jelas di telinga Aruni, tapi Aruni tidak menghiraukannya dan berjalan mendekati Rico.
Mereka terlihat canggung setelah lama tak bertemu. Ada banyak hal yang ingin diucapkan, namun kata-kata seolah tertahan di tenggorokan. Aruni merasakan pipinya menghangat, antara kaget, senang, dan sedikit malu.
"Mas kapan pulang?" tanya Aruni akhirnya.
"Baru saja sampai pagi tadi," jawab Rico. "Aku langsung ke sini. Aku ingin menjemputmu."
Aruni tak bisa menyembunyikan senyumnya. Perasaan lega dan bahagia membanjiri hatinya. "Kok nggak bilang-bilang?"
Rico tertawa kecil. "Sengaja. Biar jadi kejutan. Aku ingin memastikan kamu baik-baik saja." Ia melirik sekilas ke arah keramaian sekolah. "Sudah selesai kan? Ayo, kita makan siang. Aku traktir."
"Tapi... Aku harus pulang dulu ke rumah Tante Dina," kata Aruni.
"Nggak perlu. Kita makan siang dulu, nanti aku antar pulang," Rico menawarkan, matanya memancarkan kerinduan yang mendalam. "Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan, dan aku yakin kamu juga punya banyak pertanyaan."
Aruni mengangguk, tidak bisa menolak. Ia merasa senang, sangat senang. Rico tidak melupakannya. Pria itu datang, dan kehadirannya membawa kelegaan yang luar biasa.
Aruni berpamitan dulu untuk kembali ke kelas mengambil tasnya, lalu berpamitan kepada rekan-rekannya. Dia tidak peduli jika harus mendapatkan gunjingan dari teman kerjanya. Yang penting sekarang dia pergi dengan Rico.
Rico membuka pintu mobilnya untuk Aruni. Mereka melaju menuju sebuah restoran yang nyaman. Di sana, di tengah hidangan makan siang yang lezat, Rico dan Aruni mulai melepas rindu dan mencairkan suasana. Rico bercerita tentang proyeknya di Belanda, tentang betapa sibuknya ia di sana, dan mengapa ia tidak bisa memberikan kabar. Ia menjelaskan bahwa ia sengaja ingin melihat reaksi Aruni, ingin tahu apakah Aruni merindukannya juga. Aruni pun menceritakan kegelisahannya, keraguannya, dan bagaimana ia terus berdoa untuk mendapatkan jawaban.
"Aku minta maaf sudah membuatmu cemas, Aruni," kata Rico, menggenggam tangan Aruni di atas meja. "Tapi aku ingin kamu tahu, aku nggak pernah main-main. Hatiku selalu bersamamu, bahkan saat aku jauh."
Aruni membalas genggaman tangan Rico, air mata kebahagiaan menggenang di matanya. Rasa rindu yang selama ini tertahan, kini tumpah ruah dalam pertemuan tak terduga ini. Kebimbangan yang ia rasakan selama ini, seolah sirna begitu saja di hadapan Rico.
Di tengah kehangatan pertemuan kembali, Rico dan Aruni merasakan ikatan mereka semakin kuat, menepis semua keraguan. Namun, apakah Rico akan segera menyampaikan niatnya untuk melamar Aruni secara resmi, dan bagaimana Aruni akan menyikapi keseriusan ini setelah trauma masa lalunya?