NovelToon NovelToon
Cinta Dibalik Heroin 2

Cinta Dibalik Heroin 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / Obsesi / Mata-mata/Agen / Agen Wanita
Popularitas:280
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rumah yang Terasa Hangat

Malam itu, rumah besar itu tidak terasa asing.

Setelah Erlang pamit kembali ke kamarnya, Feni duduk sendiri di ranjang kamar tamu. Lampu kecil di sudut ruangan menyala redup, cukup untuk membuat bayangan-bayangan lembut di dinding. Ia memandangi sekeliling—lemari kayu dengan ukiran sederhana, meja kecil dengan vas bunga segar, dan selimut tebal yang dilipat rapi.

Semuanya terasa… disiapkan.

Bukan sekadar kamar kosong yang kebetulan ada, tapi ruang yang memang menunggu seseorang untuk ditempati.

Feni menghembuskan napas panjang. Dadanya terasa aneh. Hangat, tapi juga nyeri.

Ia teringat rumah kecilnya dulu. Rumah yang tidak besar, tidak mewah, tapi selalu ramai oleh suara tawa. Suara piring beradu di dapur. Suara papanya yang bersenandung pelan saat menyiram tanaman. Suara mamanya yang selalu memanggil namanya dengan nada cemas kalau Feni pulang terlalu malam.

Semua itu hilang terlalu cepat.

Feni memejamkan mata, mencoba menahan gelombang kenangan yang datang tanpa izin.

Ketukan pelan terdengar di pintu.

Feni tersentak kecil. “Iya?”

Pintu terbuka perlahan. Bunda Erlang berdiri di ambang pintu, membawa satu cangkir teh hangat.

“Bunda boleh masuk?” tanyanya lembut.

Feni langsung bangkit. “Iya, Bun.”

Bunda masuk, menutup pintu perlahan, lalu duduk di kursi dekat jendela. Ia meletakkan cangkir itu di meja kecil, mendorongnya ke arah Feni.

“Minum dulu,” katanya. “Biar badanmu nggak ikut tegang.”

Feni menurut. Uap teh mengepul pelan, aromanya menenangkan.

“Makasih, Bun.”

Bunda Erlang mengamati Feni sejenak. Tatapannya tidak membuat Feni ingin menghindar. Justru sebaliknya—membuatnya merasa aman untuk diam.

“Kamu kehilangan orang tua sejak lama, ya?” tanya Bunda akhirnya.

Pertanyaan itu tidak menusuk. Tidak mendesak. Tapi tetap membuat dada Feni mengencang.

“Iya, Bun,” jawabnya pelan. “Sudah beberapa tahun.”

“Sejak itu, kamu terbiasa mengurus dirimu sendiri.”

Feni mengangguk.

“Dan sekarang, tiba-tiba kamu harus bergantung pada orang lain lagi,” lanjut Bunda. “Itu nggak gampang.”

Feni menunduk. Tangannya mengelus permukaan cangkir. “Aku takut,” akunya jujur. “Takut merasa nyaman… terus kehilangan lagi.”

Bunda Erlang tidak langsung menjawab. Ia berdiri, mendekat, lalu duduk di tepi ranjang—jaraknya cukup dekat tanpa terasa mengintimidasi.

“Kehilangan itu tidak pernah benar-benar bisa disembuhkan,” katanya pelan. “Tapi bukan berarti kamu harus menutup diri dari semua yang datang setelahnya.”

Feni menggigit bibir. “Aku nggak mau dianggap numpang. Atau… digantikan.”

Bunda tersenyum kecil. “Tidak ada yang bisa menggantikan orang tua kamu. Dan tidak ada yang sedang mencoba.”

Ia mengulurkan tangan, menepuk punggung Feni pelan. Gerakan sederhana, tapi membuat mata Feni panas.

“Di rumah ini,” lanjut Bunda, “kamu tidak sedang menggantikan siapa pun. Kamu hanya… diterima.”

Air mata Feni jatuh tanpa bisa dicegah. Bukan isak keras, bukan tangisan meledak. Hanya air mata diam yang sudah terlalu lama tertahan.

“Aku capek, Bun,” ucapnya lirih. “Capek harus kuat terus.”

Bunda Erlang menarik Feni ke dalam pelukan.

Pelukan seorang ibu.

Tidak kaku. Tidak tergesa. Hangat dan stabil, seperti jangkar. Feni membeku sesaat sebelum akhirnya membalas, memeluk Bunda dengan tangan gemetar.

“Kamu boleh capek di sini,” bisik Bunda. “Kamu boleh lemah. Rumah ini tidak menuntut apa pun darimu.”

Tangis Feni pecah perlahan di bahu perempuan itu. Semua rasa kehilangan yang selama ini ia simpan sendiri, tumpah tanpa kata.

Beberapa menit berlalu sebelum Bunda melepaskan pelukan.

“Tidur yang nyenyak,” katanya lembut sambil mengusap rambut Feni. “Besok pagi, kamu sarapan bareng kami.”

Kata kami membuat dada Feni bergetar lagi.

Setelah Bunda keluar, Feni berbaring. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak merasa sendirian di malam hari.

Pagi datang dengan aroma masakan.

Feni terbangun oleh suara wajan dan langkah kaki di dapur. Ia turun perlahan, sedikit ragu. Namun begitu ia sampai, pemandangan itu membuat langkahnya terhenti.

Bunda Erlang berdiri di depan kompor. Erlang membantu memotong bahan makanan, sesekali ditegur karena caranya yang berantakan.

“Kamu kalau motong bawang itu jangan kayak mau berantem,” ujar Bunda.

Erlang mendengus. “Aku fokus.”

Feni tersenyum tanpa sadar.

“Kamu sudah bangun,” kata Erlang begitu melihatnya. “Ayo, duduk.”

Ia duduk di meja makan. Bunda meletakkan piring di depannya.

“Makan yang banyak,” katanya. “Biar badannya balik.”

Feni menatap piring itu. Sederhana. Tapi dibuatkan.

“Terima kasih, Bun,” ucapnya pelan.

Bunda hanya mengangguk, seolah itu hal paling wajar di dunia.

Di meja makan itu, Feni merasakan sesuatu yang lama hilang—

percakapan kecil,

kehadiran tanpa tuntutan,

dan rasa bahwa ia tidak perlu selalu siaga.

Rumah itu tidak menghapus luka kehilangannya.

Tapi memberinya tempat untuk bernapas.

Dan di kehangatan yang perlahan meresap itu, Feni tahu—

ia tidak lagi hanya bersembunyi dari ancaman.

Ia sedang belajar pulang.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!