Lin Zhiyuan, adalah pemuda lemah yang tertindas. Ia menyelam ke kedalaman Abyss, jurang raksasa yang tercipta dari tabrakan dunia manusia dan Dewa, hanya untuk mendapatkan kekuatan yang melampaui takdir. Setelah berjuang selama 100.000 tahun lamanya di dalam Abyss, ia akhirnya keluar. Namun, ternyata hanya 10 tahun terlalui di dunia manusia. Dan saat ia kembali, ia menemukan keluarganya telah dihancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19 Ancaman Keluarga Mo
Disisi lain, angin dingin menerpa jendela istana Keluarga Mo, tirai sutra berdesir seperti bisikan roh tak terlihat. Aroma dupa keemasan memenuhi ruangan besar itu—biasanya menjadi simbol kemewahan, namun malam ini justru menambah kesan muram yang menusuk.
Patriark Mo, Mo Zei, duduk di singgasananya. Lengan kirinya mengepal kuat pada sandaran kayu giok hingga terdengar bunyi retakan halus.
Aura tekanan dari kultivasinya membuat udara di sekelilingnya terasa berat, seolah ruangan itu dipaksa tunduk pada amarah yang tengah ditahannya.
Suara lutut membentur lantai. Seorang penjaga membungkuk dalam-dalam.
“Patriark Mo… Kota Wangzen, telah hancur.”
Suara itu bergetar.
“Wangzen hancur! Bagaimana bisa?”
Nada Patriark Mo menggelegar, membuat lampu kristal gemetar seolah ketakutan.
Penjaga itu menunduk lebih dalam. “K-kami belum mengetahui detail pastinya. Tapi para pengungsi mulai bermunculan. Kami akan mengumpulkan laporan lebih lengkap dari mereka.”
“Lakukan.”
Satu kata dingin, namun cukup membuat sang penjaga gemetar hebat sebelum mundur dengan tergesa.
Di dalam aula yang sama, dua sosok berdiri terpaku—Wang Liu dan Wang Feixuan.
Wajah mereka berdua memucat dengan tubuh yang bergetar hebat.
“Tidak mungkin… Ayah terbunuh…”
Wang Feixuan menggigit bibirnya sampai berdarah, menunduk menahan tangis yang siap pecah kapan saja. Bahunya mengguncang kecil. Sepasang mata merahnya terpejam rapat, menolak percaya pada kenyataan itu.
Patriark Mo menatap mereka berdua, matanya gelap dan tajam. “Ceritakan. Kalian melihatnya secara langsung, bukan?”
Wang Liu menelan ludah. Suaranya serak seperti tenggorokannya tergores pisau.
“Kota kami… mengalami kekeringan hebat yang misterius. Ayah mengira ada penyusup kuat yang menyerap Qi tanah… lalu kami menangkap seseorang. Tapi…”
Ia terdiam, rahangnya terkunci.
“Ternyata itu adalah Lin Zhiyuan.”
Nama itu keluar seperti duri yang menghujam udara.
Seluruh orang di ruangan menegang. Bahkan api di tungku seakan meredup mendengar nama yang kembali itu.
“Lin Zhiyuan?” Patriark Mo mengulang nama itu, suaranya rendah. “Bukankah itu adalah anak sampah dari keluarga Lin yang menghilang sepuluh tahun lalu?”
“Benar…” Wang Liu mengepalkan tangan. “Tapi dia tidak datang sebagai orang yang lemah. Dia… Dia bisa memotong lengan ayah saya dalam satu serangan.”
Patriark Mo menegang, pupilnya menyempit. Ia tahu kekuatan Patriark Wang dengan baik, jika ada seseorang yang bisa memotong lengannya dengan sekali serangan, berarti orang itu jauh lebih kuat daripada Patriark Wang.
Wang Liu melanjutkan dengan suara gemetar, “Ayah menggunakan lingkaran teleportasi rahasia untuk mengirim kami kabur lebih dulu. Dia ingin kembali menjemput ibu… tapi…” Napas Wang Liu terputus. “Sepertinya dia tidak sempat dan bertemu dengan Zhiyuan terlebih dahulu.
Wang Feixuan akhirnya tak mampu menahan tangis. Ia menutup mulutnya, bahunya bergetar hebat.
Patriark Mo memandang kedua anak itu, tatapan gelapnya mengandung badai. Perlahan ia berdiri, aura menekan ruangan seperti tebing runtuh.
“Lin Zhiyuan…” ia menyebut nama itu rendah, seperti mantra kutukan. “Anak keluarga Lin yang dunia kira telah hilang.”
Dia mengingat kejadian lama — ketika Keluarganya, Keluarga Wang, dan Keluarga Han membantai Keluarga Lin hingga lenyap dari peta kerajaan.
Siapa sangka salah satu orang dari keluarga Lin yang tersisa akan kembali dengan tekad untuk membalas dendam.
Ia menarik napas dalam, tangannya mengepal. “Jadi dia kembali... Dan memulai balas dendamnya dengan membantai Keluarga Wang....”
Suasana berubah seperti badai akan turun.
“Balas dendam, ya?” Patriark Mo bergumam, kemudian suaranya berubah tajam. “Dia pikir dirinya siapa? Dewa?”
Aura pembunuh keluar dari tubuhnya, membuat lantai berhenti berderit.
“Baiklah,” katanya dengan senyum dingin, mata berkilat tajam. “Jika dia benar-benar datang untuk menantang dunia dan berani menyentuh sekutu kami…”
Ia menoleh ke jendela, menatap kegelapan malam seperti mengincar sesuatu jauh di sana.
“Berarti dia sudah bosan hidup.”
Wang Feixuan menggigit bibir lebih keras, meskipun air matanya masih jatuh tanpa henti, kini ada seberkas api kecil di mata gadis itu. Api dendam.
Patriark Mo menatap mereka berdua dan berkata. "Kalian berdua tenang saja, kalian akan aman selama berada di bawah perlindungan Keluarga Mo. Keluarga kita adalah saudara, jadi aku akan membantu membalas kematian keluarga kalian."
Kedua mata Wang Liu dan Wang Feixuan membelalak. Seolah mereka baru saja mendengar sesuatu yang lebih hangat dari seluruh dingin dunia yang memeluk mereka sejak Wangzen runtuh.
“Ka–kami… sangat berterima kasih, Patriark Mo…”
Wang Liu menunduk gemetar, emosinya berbaur antara penghormatan dan rasa lega.
Feixuan pun membungkuk dalam-dalam, suaranya bergetar, “Terima kasih… terima kasih banyak.”
Patriark Mo hanya tersenyum tipis, menurunkan sedikit tekanan auranya.
“Di hadapanku, kalian bukan tamu. Kalian adalah darah sekutu… keponakanku.”
Tatapannya berubah, nada suaranya lembut tapi mengandung sesuatu yang tak bisa dijelaskan—seperti tangan yang mengusap anak kecil yang menangis, namun menyimpan belati di punggungnya.
“Panggil saja aku Paman Mo.”
Wang Liu dan Feixuan saling pandang, seolah menemukan kembali pegangan hidup mereka.
“Baik, Paman Mo!” ucap mereka dengan serempak, penuh rasa hormat dan sedikit getaran emosional.
Senyuman Patriark Mo melebar, namun matanya tetap dingin seperti pedang beku yang siap memancung dunia.
“Bagus. Sangat bagus.”
Ia berjalan mendekati mereka pelan, tangan kirinya menepuk bahu kedua Wang bersaudara seperti seorang paman penyayang.
“Mulai sekarang, kalian akan tinggal di sini. Keluarga Mo akan menjadi rumah kalian… dan aku akan menjadi pedang yang membalas kematian keluargamu.”
Wang Feixuan menahan isak, namun api tegas mulai menyala di matanya. Wang Liu mengepalkan tinjunya, napas berat keluar dari paru-parunya, penuh kebencian yang mengakar.
Di dalam hati, pikirannya bergemuruh bagai badai: 'Lin Zhiyuan… tunggu saja. Aku akan membuatmu menyesal karena telah menghancurkan keluargaku....'
....
Beberapa hari kemudian.
Pagi itu, kabut tipis menggantung di atas reruntuhan Kota Linzhang. Namun berbeda dengan tujuh tahun terakhir, kabut itu bukan lagi saksi bisu dari kehancuran dan kesunyian, melainkan tirai yang membuka babak baru kehidupan.
Suara kapak menghantam batang kayu menggema di udara.
TOK! TOK! TOK!
Beberapa pria bertelanjang dada, otot yang mengeras oleh kerja keras mulai tampak kembali berisi dan hidup. Mereka menebang pohon di kaki bukit dan menyeret batang-batang kayu ke arah dataran kota.
Di sisi lain, kelompok pria lain menumpuk puing batu dan memotongnya rapi, membangun fondasi bangunan yang pernah hilang ditelan tragedi.
Setiap batu yang ditata seolah menjadi penanda bahwa Linzhang belum mati.
Asap tipis membubung dari dapur-dapur darurat di bagian timur kota. Para wanita sibuk mengolah daging rusa—kulitanya hangat mengilap, mengeluarkan aroma sedap bercampur rempah liar yang baru dipetik.
Wajan besar meletup-letup, suara air mendesis setiap kali daging menyentuh minyak panas.
Anak-anak yang dulunya hanya mengenal takut kini berlarian riang di jalan setapak yang baru dibersihkan. Tawa mereka melesat ke udara, liar dan murni, seolah suara itu ingin menebus semua tangis yang pernah memenuhi tanah ini.
Di antara kesibukan itu, terdengar seruan:
“Cepat, angkat balok ini! Kita harus mendirikan aula pertemuan sebelum matahari terbenam!”
“Bawakan air! Para pekerja butuh minum!”
“Jaga jarak dengan kapak! Kau mau kehilangan jari?!”
Bukan lagi kota mati.
Bukan lagi bayang-bayang masa lalu.
Linzhang hidup kembali.
Semua orang bekerja bukan karena perintah, melainkan karena harapan.
Harapan yang datang dalam wujud seorang pria yang dulu nyaris tidak mereka kenali—tetapi kini menjadi cahaya redup terakhir yang mereka genggam.
Sreett....
Tirai tenda besar yang berdiri di pusat kota tersibak. Langkah tenang terdengar melintasi tanah lembut yang masih diselimuti embun.
Lin Zhiyuan keluar.
Jubah hitam polos, rambut terikat sederhana, tanpa ornamen. Tidak ada aura mengerikan yang meledak melukai langit seperti ketika ia bertarung melawan Patriark Keluarga Wang.
Hanya ketenangan…
Mata para pekerja spontan mengarah padanya. Bisik-bisik terdengar, penuh kekaguman dan rasa hormat.
“Itu dia… Tuan Muda Zhiyuan.”
“Kita ada di sini karenanya.”
“Dia… benar-benar mengembalikan kita…”
mlh kalo baru awal2..kek semua tokoh tu mukanya smaaaaaaa..🤣🤣