“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19 ~ Keahlian
Wajah Arinta memerah. Entah tersinggung atau malu cuma dia yang tahu.
Yunus langsung bertindak natural – mendudukkan Denis ditengah-tengah mereka dan dia yang bergeser. Menyelamatkan harga diri Arinta agar tidak dianggap wanita agresif.
“Maaf, Pa. Aku tak sengaja cuma kebawa suasana,” ucapnya lirih.
“Saya mengerti,” Yunus langsung memaafkan.
Tiba giliran Denis disuntik vaksin – dia dipangku oleh papanya yang terlihat tenang, membelai sayang kepala sang putra.
Arinta menutup mata tidak tega melihat putranya ketakutan dan menjerit kesakitan.
"Sabar ya, Sayang. Sakitnya cuma sesaat setelahnya daya tahan tubuh Denis menjadi lebih kebal. Penyakit cacar takut singgah, kalau pun berani gejalanya lebih ringan dan cepat pulih,” ucapnya spontanitas.
Sang bidan dan perawat saling pandang, terkadang ada keinginan menggebu-gebu bertanya tentang profesi suaminya Arinta.
Pria itu terlihat tenang, kata-kata tertata, dan berwawasan luas kendatipun pribadi tertutup. Namun setiap kali membawa Denis imunisasi maupun periksa saat sakit, sosoknya seperti tidak asing dengan dunia medis.
Saat Denis sudah mendapatkan vaksin pencegah cacar air, dia digendong oleh ibunya. Sedangkan Yunus masuk ke dalam ruangan dokter umum.
Di puskesmas kelurahan Sampan tidak ada dokter spesialis, adanya dokter magang.
“Kabarnya pak Yunus?” Dokter Angga menyalami tangan pasiennya.
“Alhamdulillah baik, pak dokter.” Disambutnya uluran tangan dari pria berkisar umur pertengahan dua puluhan.
“Apa keluhan kali ini?” tanyanya ramah, cuma ada mereka berdua di ruangan tidak terlalu besar.
Yunus tersenyum masam. Sepertinya amnesia retrograde yang saya alami mulai mengalami kemajuan penyembuhan, atau bisa dibilang kenangan hilang itu mulai menyusup masuk ke otak bagian penampung memori,” tuturnya tenang.
Amnesia retrograde adalah kondisi di mana seseorang tidak dapat mengingat kembali ingatan atau peristiwa dari masa lalu, terutama yang terjadi sebelum terjadinya cedera atau penyakit yang mendasari.
Ini yang dia sukai dari pasien berkelasnya. Daripada pemeriksaan layaknya dokter dan pasien, mereka seperti teman berbagi cerita. “Apa pak Yunus tidak penasaran, tentang wawasan yang terlihat sangat berharga dan seperti telah mengenal ataupun berkecimpung di dunia medis?”
Yunus tersenyum sedikit lebar, menggelengkan kepala.
Hal tersebut membuat dokter Angga bertambah gemas. Dia berdiri menarik bangku agar tidak terhalang meja kala bercengkrama dengan pria tampan bersahaja.
“Jujur saya sangat penasaran. Terkadang seperti tengah duduk diantara mahasiswa kedokteran lainnya, mendengar materi yang diterangkan oleh dosen yakni, Anda.”
“Anda ada-ada saja pak dokter. Saya cuma orang biasa, dan sepertinya pun sebelumnya hanya pekerja lepas,” dalam hati dia menyangkal. Pertama kali ikut membabat rumput di perkebunan jeruk milik Abah – keesokan harinya telapak tangannya langsung melepuh.
"Bukan mengada-ada, tapi memang Anda terlihat lihai menggunakan alat medis, seperti menjahit luka, dan juga beberapa kali tepat saat mendiagnosis penyakit warga yang berobat.” Angga pernah menguji keterampilan Yunus.
Hal tersebut tidak sengaja terjadi. Sebulan yang lalu – puskesmas sedang sangat ramai pasien dikarenakan kecelakaan angkutan umum. Kurangnya tenaga medis, membuat mereka tidak bisa tanggap memberikan pertolongan menyeluruh secara maksimal.
Pada saat itu ada Yunus yang sedang mengantri di poli pemeriksaan umum. Melihat rintihan beberapa orang menahan sakit, dia menerobos pintu ruangan dokter.
Dokter Angga tidak begitu memperhatikan dikarenakan dia tengah menjahit luka di betis.
Yunus bertindak seperti dokter ahli, mengenali obat bius, lihai memeriksa dan pintar mendiagnosis awal pada pasien penderita penyakit paru-paru. Diapun memberikan pengobatan ringan ke pasien terserang diare, dan mengusulkan satu pasien untuk dirujuk ke rumah sakit besar agar dapat ditangani oleh dokter spesialis mata.
Kala itu apa yang dilakukan oleh Yunus, sejenak membuat Angga termangu, tatapan kagum, diapun tidak malu mengakui kalau pasien yang baru dikenalnya satu bulan lalu bisa dibilang lebih pintar daripada dirinya.
“Bukankah amnesia tidak mempengaruhi informasi umum atau keterampilan yang sudah lama dipelajari. Contoh: sebelumnya sudah pintar mengendarai mobil, paham bahasa asing, karena memori itu disimpan secara berbeda di otak, dan tetap dikuasai meskipun memori masa lalunya hilang.”
“Bisa dikatakan begitu. Sama seperti karakter, watak, kebiasaan seperti beribadah akan tetap melekat kendatipun seseorang melupakan semua memori masa lalunya,” sambung Yunus.
Dua sosok yang sebenarnya satu profesi, satu telah senior dan satunya lagi masih junior – terlihat saling bertukar pikiran.
.
.
Sedangkan ditempat lain, di puskesmas kampung kelurahan Jamur Luobok – terdengar tangisan melengking bayi laki-laki.
“Dek Gauzan, tengok ini kak Biya bawa apa?” Sabiya memegang balon berwarna biru yang diikat tali.
Bayi berbobot hampir sepuluh kilo tetap meraung-raung. Dia marah merasa kesakitan pada bekas suntikan vaksin.
Meutia hampir terjatuh, tenaga Gauzan kala mengamuk bertambah berkali-kali lipat.
“Sabar ya, Nak. Bentar lagi juga sakitnya hilang. Cup, cup … sudah ya nangisnya.” Bekas operasi caesarnya terasa sedikit sakit menggendong Gauzan yang terus meronta. Tidak mau di tolong oleh orang lain.
“MOH!” Mulutnya membuka lebar.
“Akit au!” adunya geram dengan wajah memerah.
"Kalau sudah mengamuk, Banteng pun kalah bila diadu dengan Gauzan.” Dhien menggerutu, mencoba mengusap rambut basah oleh keringat.
Gauzan langsung histeris. “MOH!!”
“Anak Mamak betul lah kau ini!” goda sang tante.
“Ya wajar lah Umi. Kan adanya cuma Mamak yang selama ini selalu dekat dengan Gauzan. Mamak berperan ganda menjadi ibu sekaligus ayah, sudah sepatutnya apa-apa bila kami butuh, rindu, sedang dilanda sedih – pasti carinya Mamak, selain mengaduh kepada Tuhan.” Intan baru saja sampai puskesmas, dia langsung mendekati ibunya.
“Sini Dek, kasihan Mamak kalau kau terus mengamuk seperti itu. Nanti Mamak sakit loh badannya bila terus-terusan Gauzan tendang.”
Seperti mantra ampuh, bayi bermandikan air mata itu mulai diam. Mengulurkan tangan minta digendong kakak perempuannya.
Badan Intan sedikit melengkung kesamping saat menggendong adiknya pada pinggang. Diciuminya pucuk kepala bau keringat, dihapusnya air mata membasahi pipi. “Jangan suka tantrum terus Dek. Dulu sewaktu ayah ada, dia sering bilang ke Kak Intan dan kak Sabiya – harus belajar sabar biar di sayang Allah.”
Meutia bergegas melangkah menuju ke kamar mandi yang berada disamping puskesmas bersebelahan dengan masjid dan kantor kelurahan.
Ibu tiga anak itu tidak menangis, tak pula bersuara– cuma memejamkan mata sembari mengelus cincin kawinnya seolah benda itu jimat ampuh membuatnya tegar dan tetap waras.
Dhien memeluk Wahyuni yang diam-diam menangis melihat Intan dan Sabiya memenangkan adiknya.
“Kau lihat Dhien! Anak sekecil itu dipaksa dewasa oleh keadaan. Meskipun dari luar tampak baik-baik saja, tapi aku yakin jiwanya rapuh, hatinya hancur lebur. Intan nya kita tak cocok jadi anak pendiam, penyabar, mengalah, bahkan hobinya memelihara hewan, main ke sawah, menjelajah perkebunan karet sudah lenyap.”
“Aku janji, Yun! Kalau memang si Ikram masih hidup dan ada seseorang yang sengaja melakukan hal tak baik demi keuntungan pribadi – bakalan kubanting dia!” Giginya sampai bergemeretak.
***
"Nak Yunus ... sudah lebih dari empat belas bulan, dan ingatan mu belum juga pulih. Tak ada satupun sanak saudara maupun keluarga yang mencari engkau. Apa tak sebaiknya janji pernah terucap kini ditepati?"
.
.
Bersambung.