Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.
Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.
Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.
Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:
“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”
Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.
Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 — Pengakuan Kepala Desa
Rendra dan Dimas lari menembus hutan di belakang gubuk Nyai Melati. Suara teriakan dan keributan di belakang mereka segera mereda, tertelan oleh hutan yang gelap dan hujan yang semakin deras. Nyai Melati berhasil menahan massa, setidaknya untuk sementara waktu.
Dimas bergerak cepat, tubuhnya terasa ringan namun dingin di tangan Rendra. Ia memimpin jalan, kuku hitamnya mencengkeram erat tangan Rendra, seolah anak itu kini menjadi kompas hidup yang ditarik oleh air.
“Kita ke Sumur Tua, Kak. Kita harus kembalikan dia,” bisik Dimas, air keruh menetes dari mulutnya.
“Aku tahu,” jawab Rendra, terengah-engah. Ia membawa dua beban: Dimas yang setengah dirasuki, dan tas kamera yang berisi film Ayahnya dan kunci kuningan.
Saat mereka keluar dari hutan, Rendra melihat cahaya redup di kejauhan. Itu bukan cahaya lampu minyak di desa. Itu adalah cahaya api yang membara.
Mereka bergerak hati-hati menuju cahaya itu. Cahaya itu berasal dari sebuah gubuk kecil yang tersembunyi, gubuk yang sengaja dibangun untuk menjauh dari pandangan penduduk desa.
Di depan gubuk itu, Rendra melihat sesosok tubuh yang tergeletak di lumpur.
Pak Darmo.
Mantan Kepala Desa itu tidak lari ke tempat yang lebih aman. Ia lari ke tempat paling tersembunyi yang ia tahu.
Rendra dan Dimas mendekat. Bau busuk, yang bukan hanya bau lumpur dan besi, menyergap hidung Rendra.
Pak Darmo terbaring telentang di lumpur, tubuhnya menggigil hebat. Namun, yang paling mengerikan adalah kulitnya. Kulit Pak Darmo tampak seperti terbakar asam, melepuh di sana-sini, dan mengeluarkan cairan keruh yang berbau tajam.
“Pak Darmo!” seru Rendra.
Mantan Kepala Desa itu membuka matanya. Matanya merah, tetapi ia mengenali Rendra. Ia mencoba tersenyum, tetapi yang ia keluarkan hanyalah erangan kesakitan.
“Nak… Rendra…” bisik Pak Darmo, suaranya parau dan lemah. “Aku… aku tidak bisa lari lagi. Dia… Dia tahu di mana aku bersembunyi.”
Rendra menyadari bahwa luka bakar itu bukan dari api. Itu adalah luka yang disebabkan oleh hujan asam air mata Laras. Yang Basah mulai menghukum mereka yang bertanggung jawab atas penodaan dan kebohongan.
Dimas meringkuk di samping Pak Darmo, tidak menunjukkan rasa takut. Ia hanya menatap dingin tubuh mantan kepala desa itu.
“Kenapa kau kembali, Pak Darmo?” tanya Rendra. “Kenapa kau tidak lari ke luar desa?”
“Aku… aku ingin mati di sini. Di dekat dosa-dosaku,” kata Pak Darmo, batuk yang memilukan. “Kau… kau sudah tahu segalanya, Nak. Tapi ada yang harus kau ketahui sebelum… sebelum aku pergi.”
Pak Darmo mencengkeram erat pergelangan tangan Rendra. Cengkeramannya yang dingin dan lemah.
“Semua itu… semua pengorbanan itu… Dimas… anak dari… anak dari orang baik. Kami cuma ingin air… kami cuma ingin desa ini hidup lagi… tapi yang kami dapatkan cuma darah.”
Air mata Pak Darmo bercampur dengan hujan merah yang menetes di wajahnya, menciptakan garis-garis darah kental yang menjijikkan.
“Kau… kau dengarkan apa kata Sanusi? Tumbal terakhir. Mereka akan mengorbankan Dimas… karena dia membawa darah yang benar. Darah dari korban yang menentang. Darah yang menurut Yang Basah suci. Darah itu akan membuat Laras semakin murka!”
Rendra tahu itu. “Aku tahu, Pak Darmo. Kami akan ke Sumur Tua. Kami akan hentikan ini.”
“Ya… kau harus menghentikannya… tapi kau harus tahu… kau harus tahu rahasia yang tidak pernah kami beritahu ke siapa pun. Bahkan Nyai Melati tidak tahu ini sepenuhnya.”
Pak Darmo menarik napas yang terasa menyakitkan.
“Tubuh Laras… tubuh yang dikubur hidup-hidup… kami tidak menguburnya di dasar Sumur Tua. Kami takut sumur itu akan terkontaminasi selamanya jika dikubur kotor di sana. Jadi…”
Mata Pak Darmo melirik ke arah gubuk kecilnya yang sudah hampir roboh.
“Kami menguburnya di peti kayu. Di samping Sumur Tua. Hanya beberapa langkah. Kami menguburnya di dalam tanah, dan meletakkan batu penutup sumur di atasnya untuk… untuk melindunginya. Untuk menyembunyikannya dari air kotor.”
Rendra tersentak. Tubuh Laras tidak berada di dasar Sumur Tua. Tubuhnya berada di samping Sumur Tua.
“Jadi… kunci kuningan itu?” tanya Rendra, merogoh saku, memperlihatkan kunci tua itu.
Pak Darmo tersenyum kecil, senyum terakhirnya, penuh kelegaan yang mengerikan.
“Kunci itu… kunci peti matinya, Nak Rendra. Peti itu dibuat oleh Ayah Dimas. Dia yang mencoba menyelamatkan Laras… dia yang paling merasa bersalah… dia membuat peti itu, dan kami menguburnya. Kami ingin Laras istirahat dengan damai, meskipun dia sudah dikotori.”
“Kau harus mengembalikannya. Kau harus mengembalikan tubuh Laras yang kotor itu ke tempat yang suci. Ke dalam air murni Sumur Tua. Ke tempat yang seharusnya menjadi tumbal sucinya.”
Pak Darmo memejamkan mata, suaranya melemah hingga hampir tak terdengar.
“Tapi jangan lihat wajahnya…”
“Kenapa, Pak Darmo? Kenapa aku tidak boleh melihat wajahnya?”
Pak Darmo tidak menjawab. Tubuhnya kejang sekali lagi, dan matanya memutar ke belakang. Napasnya terhenti.
Mantan Kepala Desa itu telah mati, tubuhnya terbakar oleh hujan asam air mata Laras, membayar hutang kebohongannya di tepi hutan.
Rendra berdiri. Ia tidak merasakan duka, hanya kepastian yang dingin. Ia kini memiliki semua bagian teka-teki: Film Ayahnya sebagai bukti pelaku penodaan, Dimas sebagai jembatan dialog dengan Yang Basah, dan Kunci Kuningan sebagai kunci peti mati Laras.
Ia melihat ke Sumur Tua, yang berjarak beberapa ratus meter. Batu penutupnya bergeser, tetapi ia tahu bahwa peti mati Laras berada tepat di bawah tanah di sampingnya.
Rendra menoleh ke Dimas. Anak itu berdiri tegak, kuku hitamnya memantulkan cahaya redup.
“Kita harus pergi, Dimas. Kita harus gali lagi. Tapi bukan di bawah pohon Waringin. Di samping sumur.”
Dimas mengangguk. Wajahnya yang pucat kini tampak tenang. Ia tidak lagi memuntahkan air. Ia telah menerima nasibnya.
“Aku yang akan tunjukkan, Kak. Aku bisa dengar dia manggil aku dari dalam tanah.”
Mereka bergerak, menuju Sumur Tua. Malam telah mencapai puncaknya. Hujan turun seperti hujan batu, dan angin berputar-putar di atas desa.
Saat mereka mendekati Sumur Tua, mereka melihat pemandangan yang mengkonfirmasi kata-kata Pak Darmo.
Batu penutup Sumur Tua, yang tadi pagi kembali ke tempatnya, kini bergeser lebih jauh. Lubang sumur terbuka lebar.
Angin berputar kencang, membawa serta suara jeritan Laras yang menusuk telinga. Tanah di sekitar Sumur Tua mulai bergerak.
Tiba-tiba, Dimas menjerit. Bukan jeritan takut. Jeritan kesakitan yang hebat. Ia jatuh berlutut.
“Dia mau keluar! Dia mau keluar!”
Rendra melihat ke Sumur Tua. Dari dalam lubang gelap itu, air keruh mulai bergejolak, dan kemudian, tangan-tangan pucat muncul—lebih banyak dari sebelumnya—menggenggam tepi batu, mencoba menarik diri keluar.
Entitas yang membantai penjaga di Balai Desa kini mencoba keluar dari Sumur Tua.
Dan suara itu terdengar pelan tapi jelas, bergema dari kedalaman air, menyelimuti seluruh lapangan desa dalam kengerian.
“Air yang kalian minta… sekarang akan kalian minum dari darahku.”
Rendra meraih sekop lipatnya. Ia harus menemukan peti Laras di samping sumur. Ia harus menyelesaikan ritual yang dinodai itu, sebelum Yang Basah berhasil keluar sepenuhnya, dan menghancurkan seluruh desa.