Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.
Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Keesokan harinya aku kembali bekerja seperti biasa. Seperti rutinitas tiap pagi, Keenan ikut sama ibuk ke rumah Tante Ratna. Aku sudah menyiapkan bekalnya sejak subuh, memastikan baju kecilnya rapi dan wangi sebelum berangkat.
Pagi itu aku berdiri di depan rumah sambil menunggu Kevin. Udara masih terasa sejuk, sinar matahari baru menembus sela-sela dedaunan. Tak lama, Kevin keluar dari rumah dan memanaskan motornya.
“Nah, udah siap, Mbak?” tanya Kevin sambil menepuk jok belakang motornya.
“Udah. Yuk, keburu telat nanti,” jawabku sambil menenteng tas kecil.
Saat kami hendak keluar, kebetulan Pak Arsya juga sedang mendorong pagar rumahnya. Aku spontan menunduk dan tersenyum sopan.
“Pagi, Pak,” sapaku singkat.
Beliau hanya mengangguk pelan, senyumnya tipis tapi cukup dingin seh.
“Cieee…” goda Kevin begitu motor mulai melaju.
“Cie apaan, Vin? Aku cuma nyapa atasan, bukan siapa-siapa juga,” sahutku cepat sambil memukul pelan pundaknya.
Kevin ngakak. “Kenapa juga Mbak jadi sensi gitu? Aku cuma bercanda, sumpah.”
“Bercanda boleh, tapi suaranya jangan keras-keras. Kalau kedengeran tetangga, dikira aku deket sama bos sendiri. Kamu kan tau status Mbak sekarang,” tegurku, berusaha menahan nada kesal.
Kevin langsung menunduk. “Iya, iya, maaf ya, Mbak.”
“Udah, ayo jalan. Keburu macet,” ujarku akhirnya, membuat Kevin langsung menghidupkan motor dan melaju ke arah kantor.
**
Sesampainya di perusahaan, aku bergegas ke ruang ganti. Seragam cleaning service sudah kusetrika semalam biar rapi. Setelah mengganti pakaian, aku mengambil sapu, kain pel, dan kemoceng, lalu mulai berjalan ke arah ruangan Pak Arsya.
Kantor masih sepi, hanya terdengar bunyi jam dinding dan langkah kakiku di lantai marmer. Aku membuka sedikit tirai, membiarkan cahaya pagi masuk ke ruangan. Setelah itu, aku mulai menyapu dan mengelap meja, membersihkan rak buku dari debu, lalu mengepel lantai hingga mengilap.
Begitu ruangan Pak Arsya beres, aku pindah ke meja Mbak Vera dan Mbak Risa di luar. Kali ini aku memastikan benar-benar bersih, apalagi Mbak Vera suka memperhatikan hal kecil dan sangat cerewet.
Ketika aku sedang sibuk mengelap meja, suara lembut menyapaku.
“Pagi, Aini!”
Aku menoleh, dan melihat Mbak Risa sudah berdiri sambil membawa tas kecilnya. Senyumnya ramah, membuatku ikut tersenyum.
“Pagi, Mbak Risa.”
Jujur saja, Mbak Risa itu salah satu orang yang paling baik di kantor ini. Kalau wajahnya jangan ditanya lagi sangat cantik banget, kulitnya mulus, dan selalu wangi.
Beberapa menit kemudian, pintu ruangan utama terbuka. Pak Arsya masuk dengan langkah tenang. Anehnya, kali ini Mbak Risa hanya melirik sekilas tanpa menegur. Pandangannya sempat gugup sebelum dia pura-pura sibuk membuka laptop.
Aku yang melihat itu sempat bingung. Ada sesuatu yang janggal.
“Aneh ya?” tanya Mbak Risa tiba-tiba, rupanya sadar kalau aku sempat memperhatikannya.
“Apanya, Mbak?” tanyaku polos.
“Pak Arsya itu orangnya baik, loh. Jangan percaya gosip-gosip yang kamu denger di kantor,” ucapnya sambil menepuk pundakku pelan.
Aku hanya mengangguk kecil. “Iya, Mbak. Saya juga nggak pernah mikir aneh-aneh kok.”
“Bagus. Kerja aja yang rajin, nanti juga rezeki datang sendiri,” katanya sambil tersenyum.
“Iya, Mbak. Saya permisi dulu, mau bikinin Pak Arsya teh,” ujarku sebelum melangkah ke pantry.
**
Tak lama kemudian aku kembali dengan nampan berisi dua cangkir teh hangat. Satu untuk Pak Arsya, satu lagi untuk Mbak Risa.
“Ini tehnya, Mbak,” ucapku sambil meletakkan cangkir di mejanya.
“Loh, buat aku juga?” Mbak Risa menatapku heran.
“Iya, Mbak. Sekalian aja, tadi bikinin takarannya sama kayak punya Pak Arsya,” jawabku hati-hati.
Mbak Risa tersenyum. “Wah, makasih, Aini. Perhatiannya luar biasa, nih.”
Aku cuma nyengir kikuk. “Hehe, saya permisi ya, mau nganter teh ke ruangan Pak Arsya.”
Seperti biasa, Mbak Risa membantu membukakan pintu ruangan kerja Pak Arsya karena tanganku masih memegang nampan.
“Ini tehnya, Pak,” ucapku pelan sambil meletakkannya di meja.
Pak Arsya berdiri di depan jendela besar, pandangannya menerawang jauh ke arah halaman parkir. Bahunya sedikit tegang, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat.
“Hm… terima kasih,” jawabnya singkat tanpa menoleh.
Aku hanya mengangguk lalu keluar perlahan, menutup pintu dengan hati-hati. Tapi baru saja aku melangkah ke koridor, suara ketus terdengar memanggilku.
“Aini!”
Aku menoleh cepat. Ternyata Mbak Vera sudah duduk di mejanya, alisnya terangkat.
“Belikan aku sarapan,” perintahnya datar.
“Baik, Mbak,” jawabku sopan.
“Mau dibeliin apa?” tanyaku lagi.
“Nasi uduk di depan, kayak biasa yang aku beli.” Ia menyerahkan uang tanpa menatapku.
Aku menerima uang itu dengan dua tangan. “Siap, Mbak. Saya segera beli.”
Sebelum keluar, aku sempat melirik ruangan Pak Arsya dari jauh. Beliau masih berdiri di depan jendela, tak bergerak sedikit pun. Ada sesuatu di wajahnya terlihat lelah, mungkin juga sedih. Tapi entah kenapa, dadaku ikut terasa sedih melihatnya seperti itu.
Aku menghela napas, lalu melangkah keluar kantor. Pagi ini, jalanan sudah ramai, tapi pikiranku malah sibuk menebak apa yang sebenarnya sedang dipikirkan Pak Arsya di balik kaca itu.
**
Sungguh, aku tadi sempat bingung. Mbak Vera nggak bilang mau nasi uduk pakai telur ceplok atau dadar. Takut salah pilih, akhirnya aku pesan saja nasi uduk dengan telur dadar, berharap nggak keliru. Dalam hati aku cuma berdoa semoga cocok.
Setelah membayar, aku langsung melangkah cepat kembali ke kantor. Kantong plastik berisi nasi uduk itu kupegang erat, aroma gurihnya masih hangat menusuk hidung.
Begitu sampai, aku mendekati meja Mbak Vera yang sudah duduk di kursinya sambil menatap layar komputer.
“Mbak, ini nasi uduknya,” ucapku sopan, sambil menyerahkan kantong itu dan uang kembaliannya.
“Tunggu dulu!” serunya ketus, lalu membuka bungkusan nasi itu.
Belum sampai sepuluh detik, ekspresi wajahnya berubah total, dari datar menjadi marah. Tanpa aba-aba, bungkusan nasi itu langsung dilemparkannya ke arahku.
Isinya muncrat ke baju dan wajahku. Nasi, sambal, dan serpihan telur dadar jatuh berceceran ke lantai. Aku terdiam, kaget, bahkan tak sempat mengelak.
“Vera!” pekik Mbak Risa, yang spontan berdiri dari kursinya.
Mbak Vera menatapku tajam. “Kamu mau bikin aku mati, hah!?” bentaknya.
Aku masih terpaku, tak paham apa yang barusan terjadi.
“Saya… saya salah apa, Mbak?” tanyaku pelan, bergetar.
“Aku alergi telur, Aini! Kamu mau aku mati karena ulahmu?!” suaranya meninggi, penuh emosi.
“Maaf, Mbak… saya nggak tahu,” ujarku cepat, menunduk. “Tadi Mbak nggak bilang mau tanpa telur.”
“Harusnya kamu tanya dong! Jangan asal beli!” teriaknya lagi, matanya melotot, wajahnya merah padam.
“Saya kira seperti biasanya, Mbak. Sumpah, saya nggak tahu,” aku mencoba membela diri, meski suaraku makin lirih.
“Alasan!” bentaknya, tak memberi kesempatan aku menjelaskan.
Beberapa karyawan lain mulai melongok dari balik meja, menatap ke arah kami. Aku bisa merasakan tatapan kasihan sekaligus heran dari beberapa pasang mata.
“Saya akan hubungi Bu Siska sekarang juga!” katanya sambil mengeluarkan ponselnya dengan tangan bergetar. “Biar kamu dipecat hari ini juga!”
“Jangan, Mbak… tolong. Saya mohon,” suaraku bergetar, mataku mulai panas menahan air mata. “Saya butuh kerjaan ini. Saya janji nggak bakal ngulangin lagi.”
Tapi Mbak Vera tak menggubris. Jemarinya sudah siap menekan layar ponselnya. Namun tiba-tiba, suara berat yang dalam dan tegas terdengar dari arah belakang.
“Ada apa ini?”
Semua orang langsung menoleh. Pak Arsya berdiri di ambang pintu ruangannya. Tatapannya tajam, rahangnya mengeras, tapi nada suaranya tenang dan berwibawa.
“Sya…” suara Mbak Vera mendadak berubah lembut, berusaha tersenyum manis.
“Cleaning service ini mau bikin aku mati! Kamu tahu sendiri aku alergi telur, dan dia malah beliin aku nasi uduk pakai telur dadar!”
Pak Arsya menatap ke arahku, matanya dalam dan tenang. “Betul begitu, Aini?” tanyanya.
Aku menelan ludah. “Iya, Pak… tapi demi Allah, saya nggak tahu Mbak Vera alergi telur. Beliau nggak bilang waktu nyuruh saya beli tadi.”
Pak Arsya menatap Mbak Vera dengan tatapan tajam. “Itu kamu yang melempar nasi uduk ke tubuh Aini?”
Mbak Vera terlihat gelagapan. “Iya… tapi aku emosi, Sya. Aku panik! Aku bisa kena alergi parah kalau sampai makan telur!”
Pak Arsya melangkah maju. Nada suaranya kini lebih tegas.
“Emosi bukan alasan untuk memperlakukan orang lain seperti itu. Dia itu manusia, Vera, bukan barang atau binatang yang bisa kamu lempar seenaknya!”
Suasana kantor mendadak sunyi. Hanya terdengar dengusan napas Mbak Vera yang tersendat. Wajahnya memucat, tak menyangka akan dimarahi di depan semua orang.
Aku berdiri kaku di tempat, menunduk, berusaha menahan air mata. Sementara Mbak Risa melirikku dengan pandangan prihatin.
Pak Arsya menarik napas dalam. “Aini, kamu ke pantry dulu. Bersihkan bajumu. Setelah itu, ke ruanganku.”
Aku hanya bisa mengangguk pelan. “Baik, Pak…”
Suasana masih hening saat aku melangkah pergi. Setiap langkah terasa berat, tapi di dalam hati ada sedikit rasa lega, karena untuk pertama kalinya, ada yang berani membelaku.