Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ayo menikah
Baru saja mengucapkan salam saat memasuki rumah, ia sudah disambut oleh anak-anaknya yang selama beberapa hari ini tidak ia temui. Naren berlutut, menerima pelukan hangat dari ketiga anaknya dengan senyuman.
"Ayah merindukan kalian," ujar Naren. Mendaratkan kecupan singkat di pipi ketiga anaknya.
"Ayah nggak akan pelgi lagi?" tanya Darian yang masih berada di pangkuan Naren.
"Masih dong, ayah nggak bisa tinggal di sini lagi."
"Kenapa Ayah?" Naresa mengerjapkan matanya pelan, dia berdiri tepat di samping Naren.
"Uhm apa ya. Intinya ayah dan ibu sudah nggak bisa tinggal bareng lagi."
"Tapi Dalian mau ayah sama ibu."
Naren mengalihkan perhatiannya ke sembarang arah agar tidak melihat retina anak-anaknya yang mulai berembun. Ia selalu lemah jika menyangkut buah hatinya.
"Ibu mana?" tanya Naren.
"Ibu ada di dapur. Naresa panggil ya." Naresa berlari ke dapur, tidak lama Nadira pun muncul dengan senyumnya.
Senyum yang dulunya membuat rasa lelah Naren berkurang ketika pulang kerja. Melihat Nadira yang seperti itu mengingatkan dia akan masa-masa indah rumah tangga mereka.
Seandainya Nadira selingkuh hanya sebatas chat tanpa sentuhan fisik, mungkin ia akan memaafkan istrinya. Namun, mengingat apa yang ia lihat waktu itu membuat ia sakit sampai memberi kesempatan untuk kembali tidak ia berikan.
"Kenapa nggak bilang kalau mau mampir mas? Aku bisa masak yang banyak untuk makan siang."
"Aku hanya merindukan anak-anak sekalian membawa kebutuhan mereka." Naren berdiri, mengajak anak-anaknya ke mobil untuk mengambil susu, pempres dan cemilan untuk anak-anaknya.
"Padahal nggak usah mas, aku masih bisa kok. Lagian ada ibu di rumah."
"Ibu?" Kening Naren mengerut.
"Iya, ibu dan ayah ke rumah setelah tahu cucunya ada di sini. Tapi lagi keluar mengurus sesuatu."
"Salam sama ibu dan ayah, tapi aku nggak bisa lama-lama," ujar Naren yang menyadari waktu.
"Makasih Nadira sudah mau berdamai."
"Aku yang seharusnya berterimakasih. Mas mau memaafkan kesalahanku yang sangat fatal. Aku akan berubah dan nggak akan mengecewakan siapapun di masa depan."
Naren mengangguk, sebelum pergi dia kembali menemui anak-anaknya. Berpamitan meski sulit Naren lakukan. Tapi apa boleh buat ia belum bisa membawa anak-anak bersamanya sebab ayahnya masih di rumah sakit.
"Dadah ayah." Darian dan Naresa melambaikan tangannya, begitupun Seren yang berada di gendongan Nadira.
...
"Shanaya?" Naren sedikit terkejut mendapati Shanaya ada di ruang perawatan ayahnya. Ia ikut duduk di kursi setelah meletakkan makanan di atas meja.
"Tadi habis meeting di luar dan kebetulan lewat jadinya mampir sekalian bawa makan siang untuk tante."
"Makasih Nay."
"Sama-sama Naren," jawab Shanaya.
"Ibu bisa pulang istirahat, biar ayah sama Naren dulu."
Naren mengantar ibunya ke bawah, sedangkan Shanaya masih berada di ruang perawatan. Ia berpindah duduk tepat di samping brankar, merapikan selimut yang menutupi tubuh ayah Naren.
"Terimakasih nak karena sudah baik sama kami," ujar Arya.
Ayah Naren sudah siuman dan kondisinya membaik, hanya saja belum di perbolehkan pulang oleh dokter.
"Sama-sama Om, lagian kita harus baik ke sesama."
"Tapi niat baik kamu ada alasannya kan?"
Shanaya terdiam, memang benar niat baiknya mempunyai alasan. Dia menyukai Naren dan ia berpikir, dengan baik ke Naren dan keluarganya mungkin hati pria itu bisa perlahan-lahan menerimanya.
Namun, meski tanpa alasan pula Shanaya baik ke semua orang. Jika bisa membantu dia akan membantu orang yang meminta pertolongannya. Hanya saja ia melebihkan sedikit pada keluarga Naren. Tapi percayalah Shanaya tulus menyayangi anak-anak Naren.
"Shanaya."
Shanya mendongak untuk menatap retina pria paruh baya yang baru saja memanggil namanya.
"Naren adalah pria yang baik, dia bisa disalah artikan oleh lawan jenisnya sebab terlalu peduli. Ayah nggak mau kamu sakit hati dan berharap lebih pada dia Nak. Ayah berkata seperti ini karena menyayangimu."
"Di hati Naren saat ini mungkin masih ada mantan istrinya. Nggak mudah baginya untuk keluar dari masa lalu meski yang terlihat nggak seperti itu. Membutuhkan waktu sangat lama untuk menyembuhkan luka akibat pengkhianatan seseorang yang kita cintai. Jangan sampai kamu membuang waktumu untuk menunggu yang nggak pasti."
Shanaya mengangguk, dia mengerti apa yang ayah Naren maksud. "Saya akan menunggu dan berusaha Om. Kalau pun nanti saya lelah, saya akan berhenti tanpa menyalahkan siapapun. Dan terimakasih sudah mengingatkan aku om." Ia tersenyum.
Dan pembicaraan itu sejak tadi di dengar oleh Naren di balik pintu. Ia hendak masuk, tetapi urung sebab merasa obrolan ayahnya dan Shanaya sangat serius.
"Jadi Shanaya benar menyukaiku? Tapi kenapa harus aku?" gumam Naren.
Dia membuka pintu perlahan ketika tidak mendengar suara lagi. Tersenyum pada ayahnya dan Shanaya yang sedang sibuk memotong buah.
"Nay, mau makan siang bareng?",
"Boleh, tapi bagaimana sama om?" tanya balik Shanaya.
"Om bisa ditinggal sebentar kok." Arya tersenyum.
Naren dan Shanaya pun meninggalkan ruang perawatan dan mencari warung makan terdekat.
"Tadi kata tante, kamu mampir dulu ke rumah Nadira untuk melihat anak-anakmu."
"Iya, sekalian membawa kebutuhan mereka."
"Apa mungkin ada kesempatan untuk kalian kembali?"
Naren mengeleng, sepertinya ini kesempatan untuknya memperjelas sesuatu tanpa harus menyakiti Shanaya.
"Aku dan Nadira nggak punya kesempatan lagi untuk kembali."
"Ada rencana menikah setelah menata hatimu?" Shanaya menatap Naren yang masih fokus pada jalanan.
"Nggak, aku akan fokus pada anak-anak."
"Yah aku juga nggak punya kesempatan dong?"
"Iya." Naren mengangguk. "Tapi kita bisa berteman kok." Ia melirik Shanaya.
"Teman hidup?"
"Shanaya ...."
"Aku bercanda Ren, kebiasana banget deh apa-apa dianggap serius."
Shanaya berjalan lebih dulu, bahkan terkesan buru-buru. Naren yang melihatnya berusaha mengimbangi sampai akhirnya wanita itu tersyungkur ke paving akibat kurang hati-hati.
"Sudah tahu pakai heels lumayan tinggi, malah lari. Jatuh kan jadinya," omel Naren, berjongkok untuk melihat seberapa parah luka di lutut Shanaya, terlebih wanita itu memakai dress di bawah lutut.
Tidak lupa Naren melepas hells di kaki Shanaya agar lebih mudah di obati.
"Masih kuat jalan sampai di depan sana?" Menunjuk apotek kurang lebih 50 meter.
"Nggak." Shanaya mengelengkan kepalanya.
Alhasil Naren mengambil tas Shanaya dan mengalungkan di leher, kemudian memberikan hels pada wanita itu.
"Pegang," pintanya pada Shanaya dan dijawab anggukan oleh wanita itu.
Naren pun mengendong Shanaya ala bridal style. Sesekali ia melirik Shanaya yang terus menatapnya dari bawah.
"Kalau nggak mau jatuh jangan tatap aku terus."
"Tapi ini kesempatan aku menatapmu dari dekat Ren. Kan nggak bisa jadi teman hidup," balas Shanaya yang lebih terang-terangan lagi menatap Naren, terlebih pada hidung dan bibir pria itu yang sangat menarik.
Ada untungnya juga dia terjatuh sehingga bisa merasakan digendong oleh Naren.
"Naren?"
"Ayo menikah! Aku nggak masalah kalau hatimu masih milik Nadira, aku mengerti kalau kamu sulit melupakannya. Aku juga nggak keberatan menerima anak-anakmu sebagai anakku, kita bisa membesarkannya bersama. Lagi pula aku nggak yakin bisa hamil di usiaku yang sekarang."
Langkah Naren berhenti, jantungnya berdetak tidak menentu, bukan hanya karena ucapan Shanaya, melainkan kecupan singkat yang mendarat di bibirnya padahal mereka berada di pinggir jalan.
.
.
.
.
.
Kira-kira Naren terima nggak ya ajakan Shanaya?
nyesel senyesel nyeselnya ga tuh Nadira membuang naren .jarang" ada suami seperti naren di dunia nyata
arina sekarang udah jadi istri yang sesungguhnya
semoga kalian bahagia..
terimakasih ka susanti babnya panjangaaaaang banget
aku suka aku sukaaaaaa😍
kenapa sekarang pelit banget seh up nya,,
ayolah mas Naren bilang kalo tante Arina sekarang istri Ayah
jadi kalian juga boleh memanggil Tante Arin mama atau ibu atau bunda wes karepe kalian senyaman nya kalian aja lah
masa cuma satu bab doang,,satu lagi lah ka Santi
ayo mas Naren bantu istri cantikmu buat pecahin telor om bram
eeh masalah om bram maksudnya 🤭🤭
kan mau aku gondol mas Naren nya kalo kamu ga mau😄
persahabatan kalian memang the best