Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.
Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.
Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.
Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19 - First Date
Vee
Untung saja aku sudah membeli dress baru waktu pergi ke mall bersama Sophie dan Chloe beberapa hari lalu. Jadi pagi ini, aku tidak perlu panik memilih baju. Aku berdiri di depan cermin, memperhatikan bayanganku mengenakan dress pink pastel yang lembut, dan flat shoes putih yang serasi. Chloe bilang, pink cocok denganku.
Warnanya mirip dengan dress bunga-bunga yang kupakai waktu makan siang di rumah Thomas Hunt. Dress itu sekarang jadi milikku. Hadiah dari Chloe, tepat setelah ia memutuskan melupakan Jason sepenuhnya.
Aku mengetuk pintu kamarnya. Chloe sedang sibuk mengedit video di laptopnya untuk proyek freelance. “Hey, gimana menurutmu?” tanyaku sambil berputar kecil di tempat.
Ia menatapku dari atas layar laptop, lalu tertawa. “Semangat banget kamu kali ini. Jauh banget dari kencan terakhirmu sama Adrian.”
“Ugh, jangan bawa-bawa nama itu lagi.”
Chloe terkekeh. “Kamu cantik, Vee. Professor Dreamy pasti makin jatuh cinta.”
Professor Dreamy. Julukan yang dulu cuma candaan, sekarang malah membuat pipiku panas. Saat aku hendak membalas, ponselku bergetar dengan pesan dari Tyler.
Aku sudah di parkiran.
“Bye, Chloe!” seruku sambil meraih tas.
“Have fun, Vee!” jawabnya nyaring, diiringi tawa kecil.
\~\~\~
Tyler sudah menungguku didalam mobilnya. Ia keluar begitu melihatku, dan membukakan pintu. Gerakannya tenang, sopan, seperti gentleman sejati. Tapi bukan itu yang membuat jantungku berdetak lebih cepat.
Rambutnya. Kali ini dibiarkan tergerai, jatuh rapi di sekitar bahunya.
“Kamu kelihatan berbeda,” kataku begitu duduk di kursi penumpang. “Aku suka rambutmu begini.”
“Sesuai permintaanmu,” jawabnya dengan senyum kecil. “Semoga tidak menyesal.”
Aku tersenyum balik tanpa sadar. Ia mencondongkan tubuh, memasangkan seatbelt untukku. Gerakannya pelan, tapi cukup dekat untuk membuatku hampir lupa cara bernapas. Aku bisa mencium aroma parfumnya—woody, maskulin. Ia menatapku sekilas dan tersenyum menggoda sebelum kembali ke kursinya.
Hari ini ia mengenakan kaos lengan pendek dengan jaket abu, membiarkan tatonya terlihat jelas.
“Tatomu keren juga,” kataku, membaca tulisan di lengannya Only Connect. “Kurasa itu berhasil,” ujarku, pura-pura santai. “Kamu sudah berhasil connect dengan seseorang. Maksudku, denganku.”
Ia tertawa pelan. “Itu pengingat agar aku tidak menutup diri dari orang lain. Ironisnya, aku tetap melakukannya. Sampai kamu datang.”
Aku memutar mata, menahan senyum. “Kamu itu terlalu puitis untuk ukuran seorang asisten sutradara.”
“Lucunya,” katanya pelan, “sebenarnya aku dulu ingin jadi penyair.”
Aku menatapnya, terkejut. “Serius?”
Ia mengangguk, matanya menatap jalan dengan tenang. “Puisi itu... seperti film, hanya saja lebih sunyi. Setiap kata punya ruang untuk bernapas. Tapi hidup punya caranya sendiri, dan aku berakhir di dunia yang berbeda. Dunia film tidak buruk kok. Hanya… lebih berisik, dan lebih banyak elemen.”
Aku hendak bertanya lebih jauh, tapi ia lebih dulu bicara, suaranya lembut, “Kita sudah sampai.”
Mataku menjelajah bangunan itu. Spectrum, Private Movie Theather. Kemudian turun, dan melihatnya lebih dekat. “Ada ya private movie theater”
“Iya, aku sering kesini kalau suntuk. Ayo masuk” Katanya santai, ia menggenggam tanganku lembut lalu berjalan masuk bersama. Aroma lembut popcorn dan karpet kedap udara langsung menyerbuku. Entah kenapa suasana seperti ini benar-benar membuatku nyaman.
Tyler sudah reservasi sebelumnya, lalu kami dibawa ke lantai 3. Ruangannya cukup kecil, dengan 2 sofa yang terlihat sangat nyaman, dan layar yang besar. Tyler memesankan makanan ringan berupa caramel popcorn dan soda, sebelum menoleh kepadaku.
“Jadi, kamu yang pilih filmnya. Aku sudah pesan dua judul hari ini.”
Aku tersenyum geli. “Kalau begitu… aku pilih filmnya Thomas Hunt. Yang kamu ikut andil dalam pembuatannya.”
Ia langsung menatapku cepat. “No. Jangan yang itu. Pilih yang lain.”
“Hmm…” aku pura-pura berpikir. “Kalau melihat timeline film Thomas Hunt, berarti The Pendulum ya? Sekuel dari The Clockmaker’s Son?”
Ia menghela napas panjang, pasrah. “Baiklah. Tapi jangan terlalu keras waktu mengkritikku ya, Bu Sutradara.”
Aku tertawa pelan. “Tenang saja, aku sudah pernah nonton. Tapi kali ini, aku ingin melihatnya dari matamu.”
Dan saat lampu ruangan meredup, aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda dari Tyler malam ini, lebih santai, tapi juga lebih jujur. Seolah untuk pertama kalinya, kami berdua menonton bukan hanya film di layar besar, tapi kisah yang sedang kami tulis sendiri.
\~\~\~
Tyler
The Pendulum adalah film pertama yang ku kerjakan bersama Thomas Hunt. Aku benar-benar stress waktu membuat itu, Thomas banyak memaki dan mengkritik pekerjaanku. Benar-benar film yang membuatku bertanya-tanya apakah benar keputusanku untuk melepas puisi demi film. Tapi Vee sudah memutuskan akan menonton ini.
Aku benar-benar tidak bisa menontonnya, setiap adegan, membuatku teringat akan proses pembuatannya, kekurangan tidur, makian Hunt, cemooh dan direndahkan oleh crew film lain. Tapi aku bertahan, karena Vee.
Ia menonton dengan cara yang hanya dimiliki oleh orang yang benar-benar mencintai film. Matanya mengikuti gerakan kamera, bukan hanya ceritanya. Ia bisa menahan napas di momen yang bahkan sebagian besar penonton akan lewatkan begitu saja. Cara ia memiringkan kepala, mencondongkan tubuh sedikit ke depan, seolah ingin menyentuh gambar di layar, aku pernah melihat itu. Di mata Thomas Hunt. Dan mungkin, itu sebabnya Thomas mempercayainya.
Aku tidak bisa berhenti melihatnya. Vee tertawa pelan di satu adegan, lalu sedetik kemudian matanya berkaca-kaca. Senyumku muncul tanpa sadar, dan sebelum kupikirkan, tanganku sudah bergerak, menariknya pelan mendekat. Ia menatapku sekilas, tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya di bahuku.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa menonton film yang kukerjakan… tidak menyakitkan lagi. Ia membuat semuanya terasa ringan. Dan tentu saja, hanya Vee yang bisa menghabiskan 90 menit menonton film tanpa menyentuh popcorn. Begitu credit roll berjalan, ia baru mengambil sejumput popcorn dan berkomentar datar, seolah kritikus film profesional
“Ada beberapa komposisi yang kurang tepat di bagian akhir, tapi itu nggak ganggu jalan cerita. Cuma… rasanya masih kayak sekuel, bukan film yang berdiri sendiri. Penulis skenarionya mungkin perlu dirangkul biar nggak overthink dengan kesuksesan film pertamanya.”
Aku tertawa kecil. “Aku sudah dengar omongan yang mirip dari Hunt, lima tahun lalu.”
Ia tersenyum nakal. “Berarti aku sekritis mentor kamu dong.”
Aku mengangkat alis. “Jangan-jangan kamu reinkarnasinya Thomas Hunt?”
“Hmm…” ia pura-pura berpikir. “Kalau aku reinkarnasinya Thomas Hunt, kamu harus nurut aku.”
Aku tertawa. “Baiklah, Bu Sutradara. Sekarang giliranmu pilih film berikutnya.”
Ia menatapku dengan wajah cerah. “Gimana kalau kita nonton rom-com? Yang klasik. Aku pengen lihat kamu nonton film cinta, bukan film yang bikin trauma.”
“Oke. Before Sunrise ya.” Ujarku santai, lalu mencari filmnya di layar dan menekan play.
Film dimulai. Lampu redup lagi. Tapi suasananya berbeda, lebih lembut, lebih hangat. Vee terlihat rileks kali ini, sesekali tertawa kecil, lalu terdiam saat adegan hening antara Jesse dan Céline.
Aku tidak banyak bicara, hanya menatapnya. Bukan dengan maksud memandangi terlalu lama, tapi karena aku tidak bisa tidak melakukannya. Dia menangis kecil di satu adegan, lalu menyadari aku memperhatikannya.
“Filmnya di sana, Pak,” katanya sambil memutar wajahku ke arah layar, nada suaranya menggoda.
“Tapi yang di sini lebih menarik,” jawabku pelan. “Dan lebih menggemaskan.”
Wajahnya langsung memerah. Ia memukul pundakku pelan sebelum membenamkan wajahnya di sana. “Tyler, jangan godain aku terus, plis. Aku bisa meledak.”
Aku tertawa pelan, menunduk, dan mencium kepalanya dengan lembut. Aroma karamelnya bercampur dengan wangi popcorn dan sinar redup dari layar di depan kami. Untuk beberapa waktu, aku lupa segalanya—Hunt, masa lalu, batasan, bahkan dunia di luar ruangan ini.
Kami tertawa di beberapa adegan, terdiam di beberapa lainnya. Dan di sela-sela keheningan, aku menyadari sesuatu. Ini pertama kalinya aku menonton film bukan karena harus, tapi karena aku ingin. Karena bersamanya, bahkan layar yang paling sunyi pun terasa hidup. Dan aku lupa, kapan terakhir kali aku merasa se rileks ini.
\~\~\~