"Kamu itu cuma anak haram, ayah kamu enggak tahu siapa dan ibu kamu sekarang di rumah sakit jiwa. Jangan mimpi untuk menikahi anakku, kamu sama sekali tidak pantas, Luna."
** **
"Menikah dengan saya, dan saya akan berikan apa yang tidak bisa dia berikan."
"Tapi, Pak ... saya ini cuma anak haram, saya miskin dan ...."
"Terima tawaran saya atau saya hancurkan bisnis Budhemu!"
"Ba-baik, Pak. Saya Mau."
Guy's, jangan lupa follow IG author @anita_hisyam FB : Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagaimana?
Hari ini ....
Gedung megah itu tampak berkilau diterpa cahaya lampu-lampu kristal yang menggantung di langit-langit tinggi. Aroma bunga mawar dan melati berpadu dengan wangi parfum tamu undangan yang datang silih berganti. Musik lembut mengalun dari sudut ruangan, mengiringi langkah-langkah anggun para tamu yang berlalu-lalang.
Di tengah kemewahan itu, Safira berdiri bersama Aditya, mengenakan gaun dengan detail renda halus di lengan. Cahaya spotlight menyorot wajahnya yang berseri, sementara di sampingnya, Aditya tampak gagah dalam setelan jas abu tuanya.
“Masya Allah, Kak Safira cantik banget hari ini,” ucap Nayara sambil menatap ke arah Safira dengan takjub. “Pantas aja Kak Adit cuma senyum-senyum dari tadi.”
Kakak iparnya itu tampak malu-malu. Safira memang jarang bicara, maksudnya dia bukan tipe yang cerewet, ya kalau ngajar oke, tapi dalam kehidupan sehari-hari, dia selalu kebingungan mau mencari topik apa.
“Kamu juga cantik, Nay.”
“Iya dong, aku kan emang selalu cantik, mempesona, Nayara gitu lhoooo.”
Aditya hanya tersenyum tipis, matanya memandangi kerumunan tamu tanpa benar-benar fokus pada siapapun. Mungkin, di antara riuh tepuk tangan dan tawa para tamu, pikirannya sedang melayang entah ke mana.
Acara berjalan meriah. Suara gelak tawa, denting gelas, dan ucapan selamat bercampur jadi satu, menciptakan suasana hangat sekaligus megah. Namun di tengah hiruk-pikuk itu, ponsel Nayara tiba-tiba bergetar. Padahal, dia sedang menunggu tamu kehormatan. Om Duda yang siap untuk dia taklukan.
Meskipun malas, Ia melihat layar, nama Zea terpampang di sana.
“Halo, Zea? Kamu udah di mana?” tanya Nayara sambil menutup satu telinganya karena suara musik terlalu keras.
“Na, aku udah di parkiran. Tapi dress-nya… ugh, aku butuh bantuan,” keluh Zea di seberang sana.
“Oke, tunggu ya. Aku ke sana,” jawab Nayara cepat.
Ia berjalan cepat ke arah luar gedung, melewati barisan tamu dan pelayan yang sibuk membawa nampan berisi minuman. Udara malam menyambutnya dengan sejuk, langit dihiasi bintang samar-samar, sementara di pelataran parkir, mobil-mobil mewah berjajar rapi di bawah lampu taman.
Nayara menemukan Zea sedang sibuk menarik bagian bawah dress-nya. “Kamu ini, bisa-bisanya panik karena dress. Sini, aku bantuin.”
Mereka tertawa kecil. Setelah selesai membenahi pita di pinggang Zea, Nayara sempat merapikan rambut sahabatnya itu. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti. Pandangannya terpaku ke satu arah, ke seorang perempuan yang berdiri anggun di sisi mobil hitam mengilap, dengan dress panjang berwarna merah darah yang menjuntai menyentuh lantai.
Kombinasi warna dan wajahnya, benar-benar sangat mencolok, membuat dirinya bak bidadari kesasar.
Lampu taman menyorot wajah perempuan itu dari samping, memperlihatkan guratan halus namun tegas di parasnya. Cantik, tapi dingin. Matanya seperti menyimpan jarak, bibirnya terkatup rapat, dan jemarinya menggenggam clutch berwarna senada.
Nayara butuh beberapa detik untuk benar-benar yakin. Dan begitu ia tahu siapa perempuan itu, senyumnya berubah sinis.
“Luna?”
Perempuan yang merasa terpanggil itu menoleh.
“Oh, jadi kamu datang juga,” ucap Nayara dengan nada setengah mengejek, matanya menyapu penampilan Luna dari atas sampai bawah. “Harus aku akui, kamu… cantik. Tapi,” ia mencondongkan tubuh, suaranya merendah, mengejek sosok itu “aroma miskinmu masih bisa kecium dari jarak satu kilometer, tahu nggak? Makanya aku langsung nemuin kamu di sini.”
Zea yang berdiri di sebelahnya sempat menahan tawa kecil, namun cepat-cepat menutup mulutnya.
Luna hanya menarik ujung bibirnya, membentuk senyum tipis yang nyaris tak bisa disebut senyum.
“Dan kamu berdiri di samping mobil mewah begini, mau pura-pura punya sendiri, ya? Lucu banget, sumpah. Aku sampai kasihan. Ya ampun, LC kan biasanya pake Brio, enggak usah mimpi ketinggian deh, kalau jatoh nanti sakit, ughhh.” Ia dan juga Zea tertawa. Tanpa memikirkan perasaan Luna sama sekali.
Lagi-lagi Luna hanya tersenyum ....
“Ya udah, siapin aja tisu tebal. Hari ini kamu bakal lihat pemandangan paling sakit di dunia: mantanmu berdiri di pelaminan sama perempuan yang jauh lebih pantas dari kamu. Kak Aditya dan Safira itu, serasi banget. Jauh dari kamu, cewek apek ani-ani yang mimpi mau masuk keluarga, terhormat.”
“Sudah, Nay, ayo masuk,” sela Zea, menarik tangan sahabatnya. “Nanti ketinggalan sesi foto keluarga.” Padahal, dia hanya tidak ingin Nayara bersikap terlalu arogan, karena menurutnya ini bukan waktu dan bukan tempat yang pas untuk Nayara melakukan itu.
Nayara masih sempat menatap Luna dengan tatapan menang sebelum akhirnya berjalan pergi, meninggalkan aroma parfum tajam yang menyengat di udara.
Begitu langkah mereka menghilang di balik pintu gedung, Luna menarik napas panjang. Jemarinya yang menggenggam clutch sempat bergetar, tapi wajahnya tetap datar.
Beberapa detik kemudian, suara langkah kaki terdengar dari arah belakang. Suara langkah yang sudah sangat ia kenal.
“Luna.”
Luna menoleh. Arsen berdiri di sana, tetap dengan wajah dingin seperti biasa, mata hitamnya menatap dalam, seperti menembus perisai tenang yang Luna coba pasang.
Dalam sekejap, Luna berpaling. Dia masih ingat betul bagaimana pertanyaan gila tadi, untung bisa langsung dikoreksi kalau maksud dia adalah. “Bapak mau bantu aku?” Ya Tuhan, mungkin karena dia hanya fokus ke bibir Arsen, alhasil pertanyannya jadi ngaco.
Syukurnya Arsen juga tidak terpancing, mungkin karena dia masih marah atau apa, Luna juga tidak mengerti.
“Ada apa tadi?”
“Enggak ada apa-apa,” jawab Luna cepat.
Arsen tidak percaya begitu saja. Ia melangkah mendekat, jaraknya kini hanya sejengkal dari Luna. “Mereka ngomong apa sama kamu?”
“Nggak penting.”
“Luna.”
Tapi perempuan itu hanya menunduk. “Sudah kubilang nggak papa, Mas. Aku baik-baik aja.”
Arsen terdiam beberapa detik, lalu tiba-tiba, tangannya terulur dan menggenggam tangan Luna. Hangat dan kuat. Luna spontan menatapnya, terkejut, bukan karena genggaman itu, tapi karena pria itu jarang sekali melakukan hal seperti ini di depan umum.
“Luna ....” panggil Arsen lagi. Perempuan itu mendongak, dia menatap mata legam di depannya yang kini juga sedang menatapnya dalam. “Boleh saya bertanya satu hal?”
Perempuan itu mengangguk agak ragu .... Dia menelan ludah, mencoba untuk mendengarkan dengan baik.
“Andai, suatu saat, Aditya bilang kalau dia masih mencintaimu, apa yang akan kamu lakukan?”
Perempuan itu malah tertawa lalu berpaling, tapi Arsen kini menahan wajahnya dengan tangan besarnya itu.
Sontak senyum di wajah Luna menghilang, kini dia benar-benar serius menatap mata suaminya.
“Jangan memintaku untuk mengulang pertanyaan yang sama!”
jadi maksudnya apa ya?????