Drasha, si gadis desa yang cantik dan planga-plongo tiba-tiba diklaim sebagai keturunan keluarga Alveroz yang hilang 15 tahun silam.
Kecuali Nyonya Besar Alveroz, tidak ada dari keluarga itu yang menerima Drasha. Bahkan dua orang yang katanya mama papa biologis Drasha lebih mengutamakan sang anak angkat.
Bagi mereka, Drasha adalah putri palsu yang hanya ingin memanfaatkan harta keluarga Alveroz. Sementara itu, sang anak angkat yang pandai mengambil hati keluarga, membuat posisi Drasha semakin terpojok.
Tanpa mereka tahu, planga-plongo itu hanyalah topeng Drasha, gadis itu juga bukan ingin memeras harta keluarga Alveroz. Tetapi, dia datang membawa dendam dalam hatinya selama bertahun-tahun.
Siapa Drasha sebenarnya? Apakah dia memang putri palsu atau justru putri asli keluarga Alveroz? Dendam apa yang dibawa oleh Drasha? Apakah dia akan berhasil membalaskan dendamnya itu?
Yuk temukan jawabannya di cerita Drasha.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hukuman dari Berandalan Jenius
Di sudut ruangan yang sepi, Adriel berdiri memandang Drasha. Dia terpukau dengan penampilan gadis cantik tersebut. Dan, ini bukan pertama kalinya bagi cowok itu mendengar permainan biola Drasha.
Sebenarnya, Adriel sudah mengenal Drasha saat mereka berumur 10 tahun. Saat itu, Adriel sedang menjelajahi sebuah desa dan tak sengaja menemukan Drasha yang memainkan biola di tengah hamparan sawah hijau.
Rambut panjangnya yang lembut tertiup angin. Kulit putih beningnya tampak halus seperti sutra meski dari kejauhan.
Adriel yang awalnya merengek diajak kakeknya ke desa itu jadi merasa beruntung.
Kembali ke auditorium musik.
Adriel mengulas senyum tipis. Jujur, dia juga tak enak hati mendengar orang-orang berkomentar remeh soal Drasha.Tapi, lihat sekarang. Orang-orang yang ada di ruangan itu memberikan tepuk tangan meriah.
"Dia makin hebat aja," gumamnya tersenyum manis yang menimbulkan lesung tipis di pipi kanan.
Dia juga teringat beberapa saat lalu sebelum Drasha tampil.
Adriel melihat dua orang cowok yang membobol loker Drasha dan membawa biola gadis itu pergi.
Dia mengikuti mereka.
Di tempat pembuangan sampah, Adriel mengamati dua cowok itu mengeluarkan biola Drasha lalu melemparkannya ke tong sampah.
"Ekhem!" Adriel berdeham tajam. Sorot matanya menusuk kala mendekat dengan langkah pelannya.
Dua cowok itu berbalik cepat dan terkejut melihat sosok Adriel si berandalan jenius yang ditakuti seisi sekolah.
"A-ad-driel…"
"Lo bedua kenapa buang biola sebagus itu?" tanya Adriel dengan nada deepnya yang tajam.
"Oh itu… kita nemuin biola ini tadi di taman, kayaknya gak ada yang punya."
"Iya, Riel, itung-itung kita bantuin petugas kebersihan buat buang, hehe."
Adriel mendengus kesal. "Nggak usah kebanyakan omong kosong, itu biola Drasha. Lo pikir gue gak liat kalian bobol lokernya dia?" Adriel memperlihatkan video cowok itu mengambil biola dari sebuah loker. Untung dia sempat merekam mereka.
Dua cowok itu menganga dan saling melirik panik.
"Anu…"
"Anu apaan! cepet ambil biola itu lagi terus bersihin sampai kinclong!" titah Adriel.
"I-iya, Riel."
Tidak lama, dua cowok itu menyerahkan tas biola tersebut pada Adriel.
"Oke."
"Kita cabut yah, Riel." Mereka membungkuk takut-takut sekilas lalu berbalik menunggungi Adriel.
Tapi, belum sempat mereka melangkah, kerah kedua seragam cowok itu ditahan oleh Adriel.
"Kalian mau kemana?"
"Kita udah bersihin biolanya sesuai perintah lo, Riel."
"Kalian berdua gak bisa lolos begitu aja dong."
Keduanya mau menangis. Apa mereka akan dibabak belur oleh Adriel?
Adriel melangi melewati mereka berdua sambil menenteng tas biola Drasha. "Ikut gue ke lapangan!"
Dua cowok itu menyusul Adriel di belakang. Jangan tanya mereka senang hati atau tidak. Jelas jawabannya tidak. Keduanya meringis takut.
Di salah satu bangku dekat jalur pejalan kaki, Adriel singgah sebentar dan menyimpan tas biola Drasha di bangku tersebut. Dia tahu Drasha akan lewat di sini ketika menuju ke auditorium musik.
Selanjutnya, dia melangkah menuju lapangan. Matahari sangat terik di langit.
Dua cowok itu termenung sejenak ketik tiba di jalur lari yang mengelilingi lapangan.
"Jalan jongkok 25 kali keliling lapangan ini," kata Adriel santai.
"Riel… panas gini, lho."
"Iya, Adriel, nanti kulit kita jadi gosong."
"Kayak cewek aja lu berdua, gue tambah jadi 50 kali putaran gimana?"
"Eh, bro, jangan lah…"
Mereka berdua langsung jongkok dan menaruh kedua tangan di belakang leher.
"Tambahan, lo berdua bilang 'saya salah saya nggak bakalan ulangin kesalahan saya' sambil keliling.”
"Riel…" ujar keduanya frustasi.
"Lo berdua pilih mana, keliling 50 kali dan jadi samsak tinju gue atau jalan jongkok keliling 25 kali sambil teriakin yang gue suruhin?"
"Oke, kita nurutin yang kedua."
Dua cowok itu akhirnya berjalan jongkok, menuruti hukuman yang diberikan Adriel.
Setelah itu, barulah Adriel berlari ke auditorium musik dan melihat penampilan Drasha.
Begitu urusannya selesai di auditorium musik, Adriel melangkah memasuki area lapangan basket outdoor.
Max melemparkan bola basket dan diterima dengan sigap oleh Adriel menggunakan kedua tangannya.
"Dari mana aja lo?" tanya Theo, mengenakan jersey basket dan headband di kepala.
"Ada urusan dikit," kata Adriel mulai memantulkan bola di lantai lapangan.
"Urusan apaan?" tanya Max.
"Ada, kepo banget sih lu bedua." Adriel mulai mendrible bola orange di tangannya.
"Ya, aneh aja lo akhir-akhir ini ilang-ilangan mulu," kata Theo.
"Karena gue ada urusan," Adriel berlari dan memantulkan bola lalu memasukkannya dengan lemparan yang indah.
"Oke dah, oke..."
Setelah bermain basket, Adriel pulang lebih dulu.
"Nggak ikutan nongkrong dulu?" tanya Max.
"Next time," kata Adriel.
"Ada urusan lagi yah, lo," ujar Theo mengatur napasnya yang masih ngos-ngosan.
"Hm."
Selanjutnya, Adriel menuju parkiran eksklusif di mana motor sport hitamnya terparkir. Dia naik ke motor dan mengeluarkan hapenya yang daritadi bergetar.
Telepon dari kakeknya.
Cowok itu mendengus kesal lalu menonaktifkan hapenya. Kalau dia mengangkatnya sudah pasti dia kena omelan dan diceramahi panjang lebar.
Adriel tidak mau itu.
Dia mulai menyalakan mesin motornya dan memasang helm.
Bruummm!
Bruummm!
Selanjutnya dia melajukan motor sportnya itu dan singgah di sebuah kafe yang tak jauh dari sekolah. Dia rencananya mau membeli minuman dingin yang segar lalu pulang, tapi dia melihat Drasha duduk di sudut bersama Rachelle. Dua gadis itu belajar bersama.
Dia menatap kasir dan mengubah orderannya. "Cukupin tiga yah, Kak."
Selanjutnya dia mengaktifkan hapenya dan menelepon Max.
"Lo di mana? Masih di sekolahan?"
"Ho'oh."
"Di mobil lo ada helm, kan?"
"Ada, kenapa?"
"Oke, gue ke sana sekarang, gue mau minjem, gue bawain lo sama Theo minuman. Kurang baik apa lagi gue mikirin lo berdua, abis main basket gue beliin minum."
"Oookeee, tapi ngapain lu butuh helm?"
"Hmmm, gue mau nganterin anak kecil, dia ketinggalan sama mamanya."
"Hah?"
"Udah pokoknya gitu, gue ke sana sekarang."
Setelah mengambil helm fullface Max, Adriel memarkirkan motornya tak jauh dari kafe tadi. Dia mengacak-acak rambutnya setelah melepas helmnya sendiri.
Setelah itu, dia mengenakan helmnya si Max.
Kenapa begitu?
Jadi, Adriel berniat menunggu Drasha keluar dari kafe itu. Dia berencana mengantarkan gadis itu pulang. Mengantar anak kecil hanyalah alasan belaka. Dan, Adriel tidak mau Drasha mengenakan helm Max. Jadi dia lepaslah helmnya sendiri supaya Drasha yang memakainya ketika skenarionya berhasil.
Adriel terus menunggu dan menunggu sampai beberapa orang yang lalu lalang di sana heran melihatnya.
"Mereka kok lama banget."
"Si Rachelle itu juga ngapain sih nahan Drasha lama-lama di sana," kesal Adriel dalam helm fullface yang hanya memperlihatkan mata tajam menawannya.