"Aku sudah lama tidak pernah merindukan siapapun. Karena aku tahu, rindu itu cukup berat bagiku. Tapi sekarang, aku sudah mulai merindukan seseorang lagi. Dan itu kamu..!"
Maarten tahu, hidupnya tak pernah diam. Dia bekerja di kapal, dan dunia selalu berubah setiap kali ia berlabuh. Dia takut mencintai, karena rindu tak bisa dia bawa ke tengah laut.
"Jangan khawatir, kupu-kupumu akan tetap terbang.
Meski angin membawa kami ke arah yang berbeda,
jejak namamu tetap tertulis di sayapnya"
Apakah pria dari Belgia itu akan kembali?
Atau pertemuan kami hanya sebatas perjalanan tanpa tujuan lebih?
(Kisah nyata)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Hasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KOLAM RENANG
Tapi jujur, aku takut…
Takut kalau perasaan ini akan tumbuh terlalu dalam, sementara Maarten tidak pernah berjanji apapun. Dia tidak pernah bilang dia mencintaiku. Tidak pernah menjanjikan masa depan.
Dia hanya hadir, seolah cukup untuk hari ini saja.
Dan....... Apakah aku yang bodoh? Berharap cinta datang secepat ini?
Walaupun sikapnya hangat, perhatiannya nyata, tetap saja ada ruang kosong dalam hatiku yang bertanya-tanya sampai kapan? Apakah semua ini hanya sementara?
Aku pernah ada di titik itu, jatuh terlalu dalam saat yang lain hanya berjalan di permukaan.
Aku pernah memberi segalanya kepada seseorang yang akhirnya pergi tanpa penjelasan.
Dan kini, walau Maarten sangat berbeda, rasa takut itu masih terbayang.
Aku takut berharap, takut kalau semua ini hanya akan menjadi kenangan manis yang tak bisa kuulangi.
Takut jika ternyata aku hanya bagian kecil dari liburannya, bukan sesuatu yang ingin dia bawa pulang dalam hidupnya.
Tapi di sisi lain, aku juga sadar....
Bahwa mungkin cinta memang tidak selalu harus dimulai dengan janji. Terkadang, cinta tumbuh dari keberanian untuk hadir tanpa kepastian.
Dan mungkin, yang benar-benar berarti adalah perasaan yang tumbuh dari ketulusan, bukan dari kata-kata manis yang mudah diucap tapi cepat dilupakan.
Mungkin, selama aku bahagia hari ini, itu sudah lebih dari cukup...!
Tapi, tetap saja, bagian dari diriku ingin tahu, apakah dia juga merasakan hal yang sama?
Karena diam-diam, aku sudah jatuh hati padanya. Bukan karena dia sempurna. Tapi karena bersamanya, aku bisa jadi diriku sendiri. Karena dia mengajarkanku untuk percaya lagi, meski tanpa jaminan. Dan meski cinta ini belum memiliki nama, aku tahu, rasanya nyata.
Aku tenggelam dalam perasaanku sendiri. Seperti hanyut dalam arus yang pelan tapi pasti menyeretku ke tengah. Aku tahu aku masih bisa berenang ke tepian jika aku ingin menyelamatkan diriku sebelum tenggelam terlalu dalam.
Tapi entah kenapa, aku tidak mau….!
Mungkin untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, aku ingin tenggelam lagi. Bukan karena putus asa, tapi karena aku merasa hidup kembali.
Setiap kali dia menyebut namaku, setiap kali dia memandangku dengan mata yang hangat dan tanpa tuntutan, hatiku seperti terisi ulang. Aku bukan hanya merasa disukai, aku merasa dihargai, dikenali, dimengerti. Dan itu jauh lebih dalam dari sekadar kata “sayang” atau “cinta” yang mudah terucap tapi sering tak bermakna.
Aku tahu, mencintai seseorang tanpa jaminan adalah pertaruhan besar. Tapi mungkin, untuk seseorang seperti Maarten, aku bersedia ambil risiko itu. Meski aku belum tahu akan dibawa ke mana semua ini, aku hanya tahu satu hal, hatiku sudah memilih untuk percaya.
Dan terkadang, rasa percaya adalah bentuk cinta yang paling berani………!
Sore itu, Maarten mengajakku ke kolam renang. Kami tidak benar-benar berenang, dan itu bukan masalah. Kami hanya duduk di pinggir kolam, membiarkan kaki kami menyentuh air yang dingin, sementara langit berubah pelan menjadi warna jingga keemasan. Senja itu terasa berbeda. Tenang. Seperti waktu sedang berhenti sebentar, memberi ruang untuk dua hati yang saling belajar mengenal.
Maarten mulai bercerita tentang hidupnya di laut. Tentang hari-hari panjang mengarungi ombak dan langit terbuka. Tentang bagaimana sepi di tengah samudra bisa sangat keras, tapi juga sangat jujur.
“Aku terbiasa sendirian,” katanya sambil menatap permukaan air. “Tapi akhir-akhir ini... aku mulai rindu ditemani.”
Aku hanya diam, tapi mendengarkan dengan hati yang terbuka. Lalu dia menoleh padaku.
“Aku ingin tau kamu lebih dalam, Kelly. Bukan hanya tentang hal-hal lucu atau hobi kecilmu. Tapi siapa kamu yang sebenarnya. Apa yang kamu takutkan? Dan apa yang kamu sembunyikan dari dunia.”
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa ingin menjawab.
Aku bercerita. Tentang rasa kecewa. Tentang kehilangan. Tentang luka yang membuatku takut membuka hati lagi. Tapi aku juga bercerita tentang impian kecilku, tentang bagaimana aku selalu suka senja, dan tentang harapanku untuk hidup yang lebih tenang, tanpa pura-pura kuat di depan siapa pun.
“Maarten… Aku anak broken home. Orangtuaku bercerai waktu aku berumur sepuluh tahun.”
Dia langsung menoleh padaku, tak berkata apa-apa, hanya menunggu.
“Aku tumbuh dengan banyak suara… tapi bukan suara tawa. Aku sering mendengar mereka bertengkar. Kadang teriakannya masih membekas di kepalaku sampai sekarang. Dan sejak saat itu, aku selalu takut dengan suara keras, dengan konflik, dengan perpisahan.”
Maarten mendekat sedikit, nadanya pelan terdengar.
“Aku bisa lihat itu di matamu, kamu kuat, dan hatimu sangat lembut.”
Aku menarik napas dalam. “Aku nggak suka bertengkar. Kalau ada yang marah, aku lebih memilih diam dan pergi. Bukan karena aku nggak peduli, tapi karena aku nggak tahan. Aku sudah terlalu sering merasa rumah itu bukan tempat yang aman.”
Dia mengangguk pelan. “Dan sekarang?”
Aku menatapnya, senyum kecil muncul tanpa sadar. “Sekarang aku belajar... Tidak semua orang datang untuk menyakiti. Mungkin ada yang datang... untuk jadi tempat pulang.”
Maarten tak menjawab. Dia hanya meraih tanganku, menggenggamnya hangat.
“Kamu aman sekarang, Kelly. Kamu nggak sendiri.”
Maarten masih menggenggam tanganku. Matanya lembut, suaranya tenang seperti bisikan yang ingin melindungi.
“Kelly... kamu itu luar biasa. Kamu tumbuh di tengah luka, tapi kamu tetap punya hati yang lembut. Kamu masih bisa tertawa, mencintai, dan percaya. Itu... bukan hal yang mudah.”
Aku menunduk pelan, menahan air mata yang tiba-tiba menggantung di pelupuk.
“Orang sepertimu..... Jauh lebih kuat dari yang kamu sadari,” lanjutnya.
Aku mengangkat kepala, menatap wajahnya yang jujur.
“Dengarkan aku! Walaupun aku dibesarkan dalam keluarga yang utuh,” katanya sambil menatap langit yang mulai gelap.“Bukan berarti semuanya sempurna. Aku punya kakak laki-laki. Kami hanya berdua. Dan sering sekali kami berdebat, kadang kasar, saling emosi. Tapi aku tahu, dia juga sayang aku. Cuma… caranya berbeda.”
Maarten tersenyum kecil. Dia menceritakan bagaimana kehidupan dikeluarganya.
“Tapi.... Aku belajar satu hal dari keluargaku… bahwa kedekatan itu bukan soal sering bersama, tapi soal saling memahami. Dan kadang, yang bukan keluarga satu darah… justru yang paling mengerti siapa diri kita sebenarnya.”
Aku masih terdiam. Mendengarkan setiap kata yang Maarten katakan.
“Tapi bersamamu, Kelly.... Aku merasa nyaman. Seperti aku nggak harus jadi siapa-siapa. Cukup jadi diriku, dan itu cukup buat kamu.”
Setelah beberapa saat hening, Maarten menatap air kolam yang memantulkan cahaya lampu sore yang mulai redup.
“Aku kerja di laut, Kelly,” Suaranya tenang namun terdengar lelah. “Kadang enam bulan penuh aku berada di atas kapal, menyusuri samudra. Dari satu negara ke negara lain. Laut ke laut. Tidak ada rumah tetap. Hanya laut yang tak berujung dan langit yang berubah-ubah.”
Aku mendengarkan tanpa menyela.
“Ada kalanya aku merasa bebas, tapi lebih sering, aku merasa sendiri.”
Dia menoleh padaku dan tersenyum kecil.
“Setelah kembali ke darat, aku kadang hanya beberapa minggu di rumah. Lalu pergi lagi.”
Aku mengangguk, mencoba membayangkan hidup seperti itu, selalu bergerak, selalu berpindah-pindah.
“Itulah kenapa, aku belajar hidup dengan sedikit hal. Kadang aku tinggal di mobil van kecilku. Parkir di dekat pantai, masak sendiri, tidur di bawah langit bintang. Itu bukan hidup yang glamor. Tapi itu hidupku. Dan selama ini, aku menjalaninya sendiri.”
Aku menatapnya dalam. Mencoba bertanya tentang rasa penasaranku.
“Mengapa kamu memilih hidup seperti itu?”
“Aku suka alam, suka ketenangan. Tapi belakangan ini, aku mulai merasa… hidup ini terlalu sepi. Aku butuh seseorang untuk diajak cerita. Seseorang yang bisa duduk bersamaku, walau hanya diam dan memandang laut.”
Lalu dia menatapku dengan sorot yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Mungkin itu sebabnya, aku senang bertemu denganmu. Kalau suatu hari nanti… aku mengajakmu snorkeling, kamu siap?”
Suara dan matanya serius tapi lembut, seolah dia tidak hanya bicara soal laut, tapi tentang berani keluar dari zona nyaman. Aku tertawa pelan, menunduk sejenak.
“Aku… nggak tahu. Aku takut air dalam. Takut hal-hal yang nggak kelihatan. Tapi kalau kamu yang ngajak, mungkin aku bisa coba.”
Maarten tersenyum lebar, matanya berbinar.
“Snorkeling itu bukan soal bisa atau enggak. Tapi soal percaya sama orang yang berenang di sampingmu.... Aku ingin kamu lihat dunia, Kelly. Bukan hanya dari layar ponsel… tapi dari air sebening kaca, dari karang warna-warni yang tak pernah kamu duga ada.”
Dia berhenti sebentar, menatapku lekat.
“Aku ingin kamu terbang seperti kupu-kupu. Bebas. Tanpa takut.”
“Aku belum pernah coba. Tapi… mungkin sudah waktunya aku belajar percaya. Sama diriku… dan sama kamu.”
Maarten mengangguk, senyumnya semakin dalam.
“Kalau kamu berani melangkah… aku janji akan selalu berenang di sampingmu.”