Meminta Jodoh Di Jabal Rahmah?
Bertemu Jodoh Di Kota Jakarta?
Ahtar Fauzan Atmajaya tidak menyangka jika ia akan jatuh cinta pada seorang wanita yang hanya ia temui di dalam mimpinya saja.
“Saya tidak hanya sekedar memberi alasan, melainkan kenyataan. Hati saya merasa yakin jika Anda tak lain adalah jodoh saya.”
“Atas dasar apa hati Anda merasa yakin, Tuan? Sedangkan kita baru saja bertemu. Bahkan kita pun berbeda... jauh berbeda. Islam Agama Anda dan Kristen agama saya.”
Ahtar tersenyum, lalu...
“Biarkan takdir yang menjalankan perannya. Biarkan do'a yang berperang di langit. Dan jika nama saya bersanding dengan nama Anda di lauhul mahfudz-Nya, lantas kita bisa apa?”
Seketika perempuan itu tak menyangka dengan jawaban Ahtar. Tapi, kira-kira apa yang membuat Ahtar benar-benar merasa yakin? Lalu bagaimana kisah mereka selanjutnya? Akankah mereka bisa bersatu?
#1Dokter
#1goodboy
#hijrah
#Religi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfianita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Yang Kau Pilih
...‘Langkah yang kau pilih terlalu kentara Zuena. Terlihat jelas jika kau ingin melindungiku. Nyatanya... kau ada di depanku saat ini.'...
...****************...
Adam dan Zuena kembali tertegun, laki-laki berbadan tegap dan tinggi itu sedang menodongkan pistol pada seorang wanita yang menjadi tawanannya.
Semua orang terdiam, tak ada yang berani mendekat untuk menolong.
"Jangan ada yang berani mendekat! Jika tidak mau wanita ini mati di tempat." Laki-laki itu mengancam.
Dari balik kacamata hitam yang dipakai laki-laki itu ada mata yang menyorot tajam. Seakan sedang mengamankan targetnya dari musuh yang ada di depannya saat ini. Tangannya yang masih siaga menodongkan pistol di pelipis wanita itu, membuat semua orang yang ada di lobi rumah sakit merasa takut dan khawatir. Bahkan dalam sekejap suasana di lobi hening, sunyi senyap dan mencekam. Membuat bulu leher semua orang meremang saat mendengar setiap ancaman yang dilontarkan.
Zuena melihat beberapa gerombolan orang yang diyakini mereka adalah satu keluarga, yang sedang memberi kekuatan satu sama lain dengan saling berpegangan tangan. Tangis mereka tahan agar tidak menimbulkan suara yang bisa membuat orang jahat itu melihat ke arah mereka.
"Zuena, bagaimana ini?" bisik Adam yang berdiri di belakang Zuena.
"Aku tidak tahu, aku sedang memikirkannya saat ini, Adam. Karena kita tidak memiliki senjata, kita tidak membawanya, Adam." Iris mata cokelatnya terus hilir mudik, seolah sedang mencari sesuatu yang pas untuk diincar.
Di sisi lain, Akhtar mengepalkan tangannya kuat, menahan amarah yang siap meledak. Akan tetapi, kali ini ia tidak mau gegabah melakukan tindakan yang akan membuatnya terluka lagi, dan sebagai seorang dokter ia juga tidak mau melihat orang lain terluka.
Akhtar hanya berdiri dan diam, tapi pikirannya sibuk untuk mencari cara agar ia bisa menolong wanita yang menjadi tahanan laki-laki itu.
"Akhtar." Abi Yulian menepuk bahu Akhtar pelan. Seketika mata Abi Yulian terbelalak lebar melihat hal yang ada di depannya saat ini. "Apa yang terjadi?" tanya Abi Yulian yang merasa khawatir.
"Bang, bagaimana ini? Bagaimana jika ibu itu menjadi korban? Tidak bisakah jika Abang hubungi security?" tanya Hafizha sedikit tertahan.
"Itu terlalu beresiko, takutnya saat security datang justru ibu itu akan terluka. Karena security tidak mau menuruti keinginannya."
Suasana semakin menegang saat ibu itu menangis histeris karena takut, jika nyawanya melayang saat itu juga. Sedangkan semua orang yang di depannya tidak bisa berbuat apa pun untuk menolongnya, kecuali...
"Lepaskan! Dia bukan tawananmu yang harus kau tahan. Carilah lawan yang sepadan, karena dia hanya seorang ibu yang lemah." Dengan suara lantang Akhtar melangkah maju.
Akhtar mungkin terlalu bodoh dan gegabah dalam mengambil keputusan, tapi kali ini tak ada yang bisa dilakukannya dalam waktu yang singkat jika ingin ibu paruh baya itu selamat dari lak-laki penyusup itu. Sedangkan memikirkan strategi akan membutuhkan waktu yang banyak, itu akan sia-sia saja. Karena menurut Akhtar laki-laki penyusup itu tidak akan memberikan waktu banyak untuk berpikir, pasti ada hal lain yang diincarnya saat ini.
"Bang Akhtar, bagaimana ini Abi?" tanya Hafizha panik, lalu menatap Abi Yulian yang menegang.
"Abi minta kamu bantu Abangmu, kamu lebih tahu apa yang harus dilakukan untuk mengulur waktu sesaat. Abi akan cari bantuan," titah Abi Yulan dengan tatapan tajam.
Hafizha megangguk-yakin. Sebelum melakukan tugas yang diberikan Abinya, Hafizha menghela napas panjang dan ia hembuskan perlahan.
...****************...
Kringg...
“Kebetulan sekali Yulian menghubungiku. Baru saja aku mau menghubunginya untuk mengingatkan padanya tentang malam ini. Kota Beirut, kota tujuan kita yang terakhir sebelum kamu kembali ke Medan.” Om Tristan tersenyum tipis saat melihat nama Yulian di layar kontaknya.
Tanpa menunggu lama Om Tristan menekan tombol terima. Tak lupa mengucap salam setelah menerima panggilan itu.
“Ada apa Yulian? Apa kamu perlu sesuatu untuk dibawa nanti malam misalnya?” canda Om Tristan dengan kekehan geli.
“Tidak ada. Tapi ini penting. Tolong aku sekarang juga! Ada laki-laki tak dikenal membuat kerusuhan di rumah sakit dan...” Abi Yulian menceritakan panjang lebar pada Om Tristan.
“Ok. Aku akan kirimkan beberapa orang kepercayaanku.”
Obrolan telah berakhir, karena tak ada waktu lagi untuk membahas hal lain. Kondisi yang sangat urgent membuat mereka harus bergerak dengan cepat sebelum benar-benar ada korban.
Setelah menghubungi Om Tristan, Abi Yulian menghubungi Bunda Khadijah, sekedar ingin tahu agar tidak khawatir. Dan berharap berita tentang kericuhan di rumah sakit tak akan sampai di telinga keluarganya.
...****************...
Siang itu Bunda Khadijah masih sibuk menidurkan Abidzar, karena waktunya Abidzar untuk tidur siang. Dan setelah Abidzar tidur dengan pulas di pangkuan sang Bunda, bayi itu pun dipindahkan ke box bayi.
Saat Bunda Khadijah hendak melangkah tiba-tiba ponselnya yang ada di atas meja berdering. Dengan nama kontak 'My Husband' ponsel itu terus berdering, mengalun indah.
“Assalamu'alaikum, Hubby.”
“Waalaikumussalam, Neng. Lagi apa?” tanya Abi Yulian dengan suara se-lembut mungkin.
“Ini baru saja menidurkan Abidzar. Dan ini juga mau lanjut masak makan siang, Hubby makan siang di rumah atau mau dibawakan saja ke rumah sakit? Nanti sekalian Neng titipkan ke Arjuna.”
“Tidak perlu, Neng. Nanti Hubby bisa makan siang di kantin rumah sakit. Setelah ini juga mau bertemu sama Tristan, mau bahas nanti malam. Tolong Neng siapkan berkas yang kemarin ya!” jawab Abi Yulian dengan nada masih setenang mungkin.
“Ya sudah kalau begitu, Neng akan siapkan. Hubby jangan lupa juga kasih kabar tentang perkembangan Akhtar sama Neng. Neng benar-benar khawatir tentangnya,” ucap Bunda Khadijah tulus.
“Iya, tentu.”
Setelah obrolan terputus Abi Yulian segera kembali ke lobi.
...****************...
"Bismillah Ya Allah..." ucapnya lirih, lalu mulai melangkah maju.
Gadis remaja yang usianya belum genap tujuh belas tahun itu berdiri di samping Akhtar. Hafizha menampilkan wajahnya dengan begitu berani, 'Kali ini aku tak akan kalah.' Hafizha mengepal kuat.
"Dek, ngapain kamu ikut? Ini berbahaya dan terlalu beresiko untuk kamu," ucap Akhtar sambil melirik Hafizha.
"Don't worry, Bang! Kali ini Hafizha tak mau kalah," tegas Hafizha penuh penekanan.
"Ngobrolin apa kalian? Mau berunding bukan di sini, silakan menepi. Dan kalian berdua, jangan sok berani!" ancam laki-laki itu sambil terus menodongkan pistol di pelipis ibu itu. "Enyahlah dari pandanganku, jangan sampai aku akan melepas peluru dari pistol ini ke kalian berdua." Laki-laki itu tersenyum smirk.
Melihat hal itu Zuena dan Adam benar-benar sudah geram. Mereka ingin maju saat itu juga dan menuntaskan masalah yang ada.
"Zuena, aku rasa ini saatnya kita ada di garda terdepan untuk melindungi mereka. Aku juga yakin mereka tidak akan curiga dengan kita kalau kita maju sekarang. Alih-alih mereka akan mengira kalau kita hanya membantu mereka," bisik Adam.
"Kamu benar, Adam. Jika dia datang untuk sekedar memberi ancaman ke kita, maka dia tidak akan melukai. Tapi jika sebaliknya, dia berani melukai kita itu pertanda jika dia bukan orang suruhan Daddy, melainkan... musuh kita." Mata Zuena menyipit, seakan sedang menelisik laki-laki itu.
Laki-laki itu semakin berani menodongkan pistol ke arah Akhtar dan Hafizha, lalu mengarahkannya kembali ke pelipis ibu itu. Benar-benar tak habis pikir, entah apa yang membuat laki-laki itu memiliki motif melakukan penyerangan di rumah sakit.
"Sudah aku peringatkan jangan mendekat!" seru laki-laki itu sambil menodongkan lagi pistol ke arah Akhtar dan Hafizha.
"Bang, berdiri di belakangku!" titah Hafizha sambil terus berjalan ke depan secara perlahan tanpa ada rasa takut sedikit pun.
"Ya tidak bisa lah, Dek. Abang itu abang kamu, harusnya abang yang melindungi kamu."
Hafizha mendesah, mungkin akan membutuhkan waktu lama jika harus berdebat dengan Akhtar, karena Akhtar pasti tak akan menuruti ucapannya. Namun, Hafizha terus berjalan perlahan mendekati laki-laki itu dan kejutan...
"Kita adu tembak! Peluru mana yang akan mematikan." Tatapan itu tajam, seperti tatapan burung elang yang siap memangsa incarannya. Dan keberanian Hafizha patut diacungi jempol saat ia juga setelah ia mengeluarkan pistol dari blazernya. Lalu ia todongkan pistol itu ke arah laki-laki di depannya.
Akhtar sungguh khawatir dengan ucapan Hafizha, terlalu berani. Akhtar takut jika ucapan Hafizha justru akan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Namun, di luar duga-an.
"Bagaimana kalau ditambah satu, Brother? Aku tahu kamu pun juga tahu kalau ini benda mematikan, jika pelurunya sampai lepas kendali. Dan aku sarankan menyerahlah sekarang dan lepaskan ibu itu." Zuena akhirnya ikut maju dengan pistol di tangannya. Sesekali ia meniup ujung pistol, seakan benda itu bagaikan mainannya.
Akhtar menatap Zuena dari belakang, meskipun hanya punggungnya saja yang terlihat tapi Akhtar tahu kalau Allah memberikan jawaban atas keinginannya, sebuah pertemuan.
‘Langkah yang kau pilih terlalu kentara Zuena. Terlihat jelas jika kau ingin melindungiku. Nyatanya... kau ada di depanku saat ini.'
"Dokter Akhtar, sebaiknya kita mundur. Luka Anda perlu diperiksa lagi," bisik Adam berdiri di samping Akhtar.
Akhtar menoleh, "Tenang saja, ini tak seberapa kok. Jika aku pergi meninggalkan mereka berdua justru aku semakin khawatir." Akhtar mengangguk kecil, lalu mengulas senyum.
Adam membalas senyum Akhtar, 'Aku tahu kamu tidak hanya khawatir saja, tapi kamu juga takut dia terluka. Tatapanmu begitu kentara, brother.' Adam mengangguk kecil. Lalu keduanya ikut membantu Zuena dan Hafizha.
Tanpa ada aba-aba Hafizha melepas pelurunya dan membidik kaki laki-laki itu secara terus menerus. Hafizha berniat untuk melumpuhkan musuhnya dari kaki.
Setelah laki-laki itu hilang fokus Zuena melakukan tendangan pada tangan laki-laki itu, hingga pistol dalam pegangannya terlepas.
Merasa bebas ibu itu berlari menjauh, agar tidak tertangkap dan dijadikan tawanan lagi. Rasa takut masih menjalari tubuh ibu itu, kakinya gemetar.
Namun, laki-laki itu segera kembali mengambil pistol yang terjatuh di lantai. Dan...
“Awas!”
Dor!
Dor!
Tembakan pertama mengenai Adam, hingga membuat Adam seketika tergeletak di lantai. Darah pun keluar dari dada Adam, membuat Zuena seketika khawatir. Bahkan tangis pun tak tertahan.
Dan tembakan kedua dari pihak polisi. Om Tristan datang bersama polisi dan polisi itu akhirnya berhasil membidik laki-laki itu, hingga akhirnya dibawa ke kantor polisi.
Akhtar mendekati tubuh Adam dan memeriksa tanda-tanda vital dari tubuh Adam, “Nadinya lemah, napasnya juga sesak, dan darahnya masih keluar. Suster! Cepat bawa brankar sekarang!” teriak Akhtar keras.
Dengan segera tubuh Adam dipindahkan ke brankar lalu di bawa ke ruang operasi segera.
Zuena menahan lengan Akhtar, “Tolong selamatkan Adam!” pinta Zuena di sela isak tangisnya. “Tapi... Perut Anda—”
”Jangan khawatir! Aku akan melakukan sebisanya,” ucap Akhtar seraya menatap Zuena.
Bersambung...