Follow IG Author, @ersa_eysresa
Setelah bertahun-tahun setia mendampingi suaminya dari Nol, rumah tangga Lestari mendapatkan guncangan hebat saat Arman suaminya tega membawa wanita lain ke rumah. Melati, wanita cantik yang membawa senyum manis dan niat jahat.
Dia datang bukan sekedar untuk merusak rumah tangga mereka, tapi ingin lebih. Dan melakukan berbagai cara untuk memiliki apa yang menjadi hak Lestari.
Lestari tidak tinggal diam, saat mengetahui niat buruk Melati.
Apa yang akan dilakukan oleh Lestari?
Apakah dia berhasil mengambil kembali apa yang menjadi miliknya?
"Karena semua yang tampak manis, tak luput dari Murka Sang Penguasa, "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pohon Yang Tidak Tersentuh
Langkah Lestari menyusuri jalan setapak di belakang pondok, melewati semak dan ilalang, menuju tempat yang telah disebut Bu Nurul, sebuah pohon tua di kaki bukit. Dimas dan Dara ditinggalkan sementara di rumah, dijaga oleh Bu Nurul, yang tak henti-hentinya membaca doa dan menjaga lingkaran perlindungan dari bubuk garam dan daun bidara.
Sore itu terasa suram. Langit menggantung berat, dan hawa dingin menjalari tubuh meski matahari belum sepenuhnya tenggelam. Di tangan Lestari tergenggam erat bungkusan dari Bu Nurul, tanah hitam, paku besi, dan tali ijuk yang katanya harus digunakan untuk menyegel.
"Ya Allah, kuatkan aku… Aku ingin semua ini cepat selesai, dan bisa hidup dengan tenang bersama anak-anakku." gumamnya sambil terus membaca doa perlindungan dalam hati.
Ia berhenti ketika pohon itu tampak di depan mata.
Pohon beringin besar, cabangnya menjuntai seperti lengan tua yang hendak merenggut siapa pun yang mendekat. Akarnya mencuat dari tanah, membentuk seperti lubang mulut terbuka. Udara di sekitar pohon terasa berat, seolah langkahnya dihisap perlahan.
Lestari berdiri beberapa meter dari pohon itu, lalu mengambil tanah hitam dan menyebarkannya mengelilingi akar yang mencuat.
"Aku segel jalanmu… dengan nama Allah Yang Maha Melindungi."
Ia menusukkan paku besi ke salah satu akar sambil mengucapkan ayat kursi. Seketika tanah di sekitarnya bergetar pelan, seperti meronta. Tapi Lestari tidak berhenti. Ia mengikat tali ijuk mengelilingi pohon, membentuk lingkaran dengan simpul rapat.
Namun, belum sempat ia selesai membacakan ayat terakhir, suara tertawa menggema dari balik semak.
"Hei… kamu pikir cukup dengan itu?" suara Melati terdengar, dingin dan meremehkan.
Lestari menoleh cepat. Melati berdiri tak jauh darinya, wajahnya pucat tapi senyumnya menyeringai, sangat menakutkan.
"Kau kira pohon ini bisa ditutup begitu saja? Ini bukan pintu rumahmu, Lestari. Ini jalan ke dunia tempat mereka lapar… dan anakmu adalah hidangan yang sempurna." katanya dengah senyum menyeringai.
Lestari berdiri tegak, suaranya gemetar tapi tajam. "Kau sudah terlalu jauh, Melati. Kau bukan hanya ingin merenggut suami orang. Kau sudah menyerahkan dirimu pada iblis. Dan sekarang kau ingin mengorbankan anakku. Tidak akan pernah. "
Melati melangkah pelan, tapi di sekelilingnya udara menjadi gelap. Daun-daun di pohon mulai rontok satu per satu. Akar-akar meronta seperti cacing kepanasan. Melati yang saat ini di depan Lestari bukanlah melati yang dulu. Dia seperti iblis.
"Aku lakukan semua ini karena cinta!" jerit Melati. "Cinta yang ingin aku dapatkan! Tapi kamu merampas nya. "
"Bukan aku yang merampas, Dan itu bukan cinta, tapi ambisi." jawab Lestari tenang. "Kau yang memaksa. Kau menjerat Arman, kau buat dia lupa segalanya. Tapi sekarang… cukup, Melati. Berhenti sebelum semuanya hancur."
Melati mencengkeram liontin yang tergantung di lehernya. "Anakmu harus membayar semua kegagalan ini. Kalau bukan kamu, maka darahnya akan jadi jembatan terakhir!"
Ia melemparkan boneka kecil dari rambut Dara ke tanah. Lestari melangkah maju dan menginjaknya sebelum Melati bisa menyentuhnya kembali.
"Tidak akan!" bentaknya. "Aku tak akan biarkan satu pun anakku disentuh oleh iblis yang kau pelihara! atau bahkan iblis itu kamu sendiri."
Suara dari pohon menggeram, dan dari akar yang membentuk mulut terbuka, sebuah lengan hitam perlahan menjulur ke arah Lestari.
Tapi Lestari berteriak keras, membaca doa dengan segenap kekuatan.
"Bismillahi alladzi la yadurru ma’asmihi syai’un fil ardhi wa la fissama’i wa huwa sami’ul ‘alim!"
Air mata mengalir dari matanya saat ia membacanya berulang-ulang, dan cahaya mulai menyembur dari simpul tali ijuk yang melingkari pohon.
Lengan hitam itu meleleh seketika, menghilang dengan jeritan panjang.
Melati jatuh terduduk, tubuhnya menggigil. "Tidak… tidak… kau menghancurkan segalanya…"
Lestari memandangnya dengan iba. "Masih ada waktu, Melati. Bertobatlah. Kau bisa kembali ke jalan yang benar sebelum semuanya hancur."
Namun, saat itu, terdengar suara dari kejauhan—jeritan Dimas.
“BUNDAAAA!!!”
Lestari terlonjak, wajahnya pucat. Ia berlari tanpa menoleh ke belakang. Melati tertinggal di bawah pohon yang kini diam membisu. Tapi dari lubang kecil di akar, suara bisikan halus masih terdengar.
"Kau gagal… tapi waktumu belum habis…tinggal sedikit lagi. Lakukan"
******
Di pondok, Bu Nurul berusaha menahan sesuatu yang mendorong pintu dari luar. Ia membacakan ayat kursi sambil menahan daun pintu dengan tubuhnya.
Dara menangis keras, Dimas mencoba menutup jendela dengan tubuh kecilnya.
"Jangan buka!" teriak Bu Nurul. "Jangan izinkan siapa pun masuk!"
Dari balik celah jendela, tampak bayangan gelap berdiri mematung, tanpa wajah. Hanya tubuh panjang dan tangan yang menjulur, seolah mencari celah untuk masuk.
Tiba-tiba, pintu terhempas dan terbuka.
Makhluk itu masuk, tinggi, tak bersuara, matanya merah seperti bara api. Tapi sebelum ia bisa menyentuh Dara, suara klakson mobil menggema dari luar.
BRAAAK!
Arman menerobos masuk, tangan menggenggam botol air doa dan sajadah yang dililitkan di lengannya. Ia menyiramkan air ke makhluk itu sambil meneriakkan,
"Dengan nama Allah, aku usir kau dari rumah ini!"
Makhluk itu berteriak keras, tubuhnya menghitam dan mengepul, lalu menghilang dalam semburan asap hitam pekat.
Lestari masuk beberapa detik kemudian, peluh membasahi wajahnya. Ia langsung memeluk anak-anaknya.
"Sudah… sudah selesai, sayang… bunda di sini.Bunda tidak akan pergi kemana-mana lagi meninggalkan kalian. "
Arman berdiri di dekat pintu, wajahnya kusut dan tubuhnya gemetar. "Maafkan aku… Aku hampir terlambat, "
Lestari menatapnya sekilas. "Bukan waktunya meminta maaf sekarang. Sekarang saatnya menenangkan anak-anak. "
Arman mengerti, dia lalu berjalan mendekati Dara yang terdiam lalu memeluknya. Karena saat ini Lestari sedang memeluk Dimas
Awalnya Dara ingin menolak pelukan dari ayahnya. Tapi saat dari bibir sang ayah keluar kata maaf yang berulang-ulang, akhirnya gadis kecil itu mau membalas pelukan sang ayah yang selama bebrapa bulan ini tidak pernah memberikan perhatian kepadanya.
Setelah semua sudah terlihat tenang Mereka semua duduk di lantai, masih saling menggenggam tangan. Tapi Bu Nurul tetap memandang ke luar rumah, ke arah pepohonan yang diam dan terlalu tenang.
"Belum selesai," bisiknya. "Kita hanya menang satu babak. Masih banyak yang terbuka setelah kita menutup satu pintu. Ternyata banyak pintu yang terbuka dan mereka ingin mengambil kalian salah satu dari kalian. Mereka tidak menyerah. san membuka pintu lainnya.
Di bawah pohon beringin, Melati masih duduk diam, tubuhnya mulai membeku. Tapi dari lubang di akar, muncul mata merah… sepasang… lalu tiga pasang… lalu lebih banyak lagi.
Dan suara dari dalam berkata,
"Karena satu pintu tertutup… maka yang lainnya akan terbuka. Kita selesaikan, ini adalah kesempatan Terakhir mu.