Membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatan orang yang sangat ia sayangi, membuat seorang Fiorella harus merelakan sebagian kebebasan dalam kehidupannya.
"Pekerjaannya hanya menjadi pengasuh serta menyiapkan semua kebutuhan dari anaknya nyonya ditempat itu, kamu tenang saja. Gajinya sangat cukup untuk kehidupan kamu."
"Pengasuh? Apakah bisa, dengan pendidikan yang aku miliki ini dapat bekerja disana bi?."
"Mereka tidak mempermasalahkan latar belakang pendidikan Dio, yang mereka lihat adalah kenerja nyata kita."
Akhirnya, Fio menyetujui ajakan dari bibi nya bekerja. Awalnya, Dio mengira jika yang akan ia asuh adalah anak-anak usia balita ataupun pra sekolah. Namun ternyata, kenyataan pahit yang harus Fio terima.
Seorang pria dewasa, dalam keadaan lumpuh sebagian dari tubuhnya dan memiliki sikap yang begitu tempramental bahkan terkesan arogan. Membuat Fio harus mendapatkan berbagai hinaan serta serangan fisik dari orang yang ia asuh.
Akankah Fio bertahan dengan pekerjaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Era Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCC. 19.
Beberapa hari kemudian, selesai dengan perasaan dan semua isi kepalanya yang selalu berperang. Membuat Elio kini merasa sedikit bersalah atas apa yang telah ia lakukan pada Fio, namun kini ia merasa ada yang kurang dari kesehariannya.
Elio menjalankan kursi rodanya keluar dari kamarnya, memasuki lift untuk turun ke lantai dasar. Lalu kedua mata itu seperti sedang mencari sesuatu, namun ia tidak mengatakan apapun.
"Tuan muda, ada yang bisa bibi bantu?" Bi Rosi menghampiri Elio, dimana wanita itu melihat keberadaan tuan mudanya yang tidak seperti biasanya.
"Dimana dia?" Mata itu masih mencari keberadaan seseorang.
"Dia? Maksud tuan, siapa?" Kening wanita paruh baya itu berkerut.
Mengikuti gerakan dari Elio, bi Rosi semakin dibuat pusing dengan apa yang Elio lakukan. Karena, biasanya Fio akan segera menemuinya dikamar dengan membawakan sarapan pagi. Akan tetapi, sudah beberapa hari ini. Keberadaan wanita itu tidak ia temui, bahkan suaranya saja tidak ia dengar.
"Dimana wanita itu? Hari ini, aku ada jadwal terapi. Kemana dia?"
Mengetahui siapa yang dicari oleh tuannya, membuat Rosi menggelengkan kepalanya.
"Fio, maksud tuan? Dia sudah tidak bekerja lagi disini tuan, kata nyonya besar. Tuan tidak lagi membutuhkan bantuan dari orang lain, jadinya Fio di istirahatkan untuk sementara." Rosi menjelaskan atas apa yang ia tahu.
"Siapa yang memutuskan dia tidak lagi bekerja?" Ucap Elio bernadakan marah.
"Mama! Mama yang memutuskan untuk itu, kenapa? Mau protes." Angelina muncul dari arah ruang keluarga.
Mendapati kehadiran Angelina disana, membuat kedua mata Elio berputar dengan malas.
"Papa berangkat ya, ma." Malik tidak ingin ikut-ikutan dalam hal tersebut, karena ia akan kalah berdebat dengan sang istri untuk Maslaah itu.
"Ya pa, hati-hati." Angelina menghantarkan suaminya untuk berangkat bekerja, setelah itu ia kembali dihampiri oleh putranya.
Ketika mengetahui bahwa putranya itu menghampirinya, Angelina pun bersikap acuh tak acuh. Karena ia masih begitu kesal atas peristiwa sebelumnya, dan ia juga ingin memberikan pelajaran untuk putranya itu agar sadar.
"Ma, suruh wanita itu datang." Elio menghentikan kursi rodanya didekat Angelina.
"Siapa?" Dengan ketusnya, Angelina melirik kearah Elio.
"Ayolah, ma."
"Tidak! Pokoknya mama tidak mau, kalau kamu mau menyuruhnya untuk bekerja kembali disini. Usaha sendiri, mama ogah." Angelina berdiri dan menjauh.
"Ma, mama." Elio memanggil mamanya.
Berharap, perempuan itu berhenti setelah ia memanggilnya. Namun ternyata, Angelina tidak berbalik bahkan berhenti pun tidak. Hal itu membuat Elio menjadi kesal. Menggerakkan kursi roda itu menuju dapur, dengan suara kerasnya ia mencari Rosi.
"Bi, bi Rosi! Bibi!"
"Lah, bi. Itu bibi dipanggil, kayaknya suara tuan muda." Sela yang sedang bersama Rosi membersihkan halaman belakang, mendengar suara keras itu.
"Ya sudah, kamu teruskan semuanya. Bibi masuk dulu." Rosi meletakkan alat yang berada di tangannya dan segera menuju sumber suara.
Dengan bergegas, Rosi seperti berlari kecil menuju suara yang terus memanggil namanya.
"Tuan muda, ada apa?" Dengan nafas yang masih terbata-bata, Rosi menghadapi Elio.
"Dimana alamat wanita itu?"
"Wanita itu? Maksud anda, siapa tuan?" Rosi pun menjadi bingung.
"Itu, wanita itu." Elio tidak sanggup untuk menyebutkan nama orang yang sedang ia cari.
Kening Rosi semakin berkerut, ditambah dengan kebingungan untuk pikirannya mencari jawaban atas apa yang dikatakan oleh Elio padanya. Lalu kemunculan Max yang secara tiba-tiba membuat ketegangan itu mencair, namun masih belum menemukan jawaban.
"Pagi tuan, bi Rosi." Sapa Max.
"Pagi tuan, Max." Balas Rosi.
"Lah, ini ada apaan? Tuan, kenapa ada disini?" Max pun ikut merasa heran.
"Diam!" Kalimat keramat yang Elio terus berikan pada Max.
"Kalau diam terus, ya mana tahu ada apa tuan. Bi, ada apa?" Max berbalik bertanya pada Rosi.
"Itu tuan, tuan muda menanyakan seorang perempuan. Tapi, saya tidak tahu siapa."
"Tidak tahu, tingal sebut namanya kan bisa." Max menyeruput air yang baru ia ambil.
"Tapi, tuan muda tidak menyebutkan namanya siapa tuan." Jawaban yang juga tetap menambah kebingungan.
Max menatap Elio, ia pun heran. Karena, pagi ini Elio membuat pertanyaan yang tidak bisa ia ucapkan selain diam.
"Alamat Fio bibi, berikan alamatnya." Jawaban yang berhasil ditemukan.
Baik Rosi maupun Max saling bertatapan, isi kepala mereka pasti sama, yaitu Elio menanyakan alamat Fio?
Dengan berbagai perdebatan dan juga pertanyaan mengenai alamat Fio, membuat Elio mengeluarkan caranya untuk mendapatkan alamat tersebut. Rosi yang khawatir dengan keadaan keponakannya itu, awalnya ragu untuk memberikan alamat tersebut kepada Elio. Namun pada akhirnya, Elio lah pemenangnya.
Bukan tanpa alasan, Elio melakukan pencarian alamat Fio. Berulang kali ia menghubungi nomor ponsel milik wanita itu, namun tidak ada satupun jawaban yang didapatkan. Yang ada hanyalah suara operator yang terus berbicara, dan kini mereka dalam perjalanan menuju alamat yang diberikan padanya.
"Memangnya, Fio tidak datang tuan?" Max bertanya, karena ia merasa aneh dengan sikap Elio.
"Diam, fokus saja mengemudikan mobil." Sangat Elio.
"Aneh." Max berdecak.
Akan tetapi, sebelum mobil itu berhenti pada alamat yang dituju. Terlihat seorang wanita yang berjalan dengan langkah gontai nya, dan bisa ditebak jika itu adalah orang yang sedang mereka cari.
Saat akan berhenti, ada sebuah mobil menyalip mobil mereka dan berhenti tepat di depan Fio.
"Loh, itu siapa?" Max sontak kaget melihatnya.
Sedangkan Elio, ia masih mengamati apa yang sedang terjadi.
"Pak Ferdy?! " Kaget Fio, yang baru saja pulang dari rumah sakit.
"Kenapa? Kali ini, kamu tidak bisa lari lagi. Ikut aku." Ferdy memaksa Fio untuk masuk ke dalam mobilnya.
"Nggak! Bapak tidak ada hak untuk mengatur hidup saya, bapak hanya dosen saya dan saya sudah memutuskan untuk mundur dari bimbingan bapak. Lepas." Fio memberontak untuk melepaskan dirinya.
"Diam!" Ferdy terus menarik Fio dengan paksa.
"Anda sudah tidak waras, lepaskan. Tolong! Tolong." Fio berteriak meminta pertolongan, namun sayangnya situasi saat itu benar-benar sunyi.
Mendapati situasi yang semakin tidak kondusif, tanpa disadari. Kedua telapak tangan itu mengepal dengan sangat kuat, akan tetapi ia menyadari jika dirinya tidak bisa berbuat apa-apa.
"Tuan, nona Fio." Max menoleh ke arah Elio, meminta persetujuan untuk menanggapi apa yang terjadi.
Elio hanya diam, namun dari sorotan kedua matanya tidak dapat membohongi jika dirinya juga tersulut emosi. Jika tidak ada sesuatu yang menghalanginya, pria itu sudah keluar dari mobilnya dan menghajar orang tersebut.
"Tuan, bagaimana?" Max tetap bertanya.
"Ais, tuan. Masa kita hanya diam saja melihatnya." Max melepas sabuk pengamannya, bersiap untuk keluar dari mobil.
Masih saja dalam diamnya, membuat max tidak dapat menahan dirinya. Ia segera membuka pintu mobil dan menghampiri dua orang yang sedang berdebat.