Selama ini Tania hidup dalam peran yang ia ciptakan sendiri: istri yang sempurna, pendamping yang setia, dan wanita yang selalu ada di belakang suaminya. Ia rela menepi dari sorot lampu demi kesuksesan Dika, mengubur mimpinya menjadi seorang desainer perhiasan terkenal, memilih hidup sederhana menemaninya dari nol hingga mencapai puncak kesuksesan.
Namun, kesuksesan Dika merenggut kesetiaannya. Dika memilih wanita lain dan menganggap Tania sebagai "relik" masa lalu. Dunia yang dibangun bersama selama lima tahun hancur dalam sekejap.
Dika meremehkan Tania, ia pikir Tania hanya tahu cara mencintai. Ia lupa bahwa wanita yang mampu membangun seorang pria dari nol, juga mampu membangun kembali dirinya sendiri menjadi lebih tangguh—dan lebih berbahaya.
Tania tidak menangis. Ia tidak marah. Sebaliknya, ia merencanakan pembalasan.
Ikuti kisah Tania yang kembali ke dunia lamanya, menggunakan kecerdasan dan bakat yang selama ini tersembunyi, untuk melancarkan "Balas Dendam yang Dingin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Tengah malam telah tiba, dan rumah kembali diselimuti keheningan yang penuh rahasia. Dika menyelinap keluar dari kamarnya, berjalan menuju kamar tamu. Niatnya adalah untuk merundingkan permintaan Tania yang ingin bekerja.
Di dalam kamar tamu, Farah awalnya marah dan enggan menerima Dika. "Kamu selalu membela wanita bodoh itu di depan umum!" gerutu Farah.
Dika membujuk Farah, memeluknya, dan membahas soal permintaan Tania di ruang makan tadi. "Dengar, Sayang. Ini justru bisa jadi kesempatan kita berdua. Kamu nggak perlu takut atau khawatir lagi sama Tania kalau dia sibuk di luar." Dika tersenyum nakal. "Dan aku punya kesempatan emas untuk mengamankan surat perjanjian pra-nikahku saat dia pergi nanti."
Farah mendengarkan dengan seksama, memikirkannya. Apa yang Dika ucapkan ada benarnya. Keduanya akan bebas jika tidak ada Tania di rumah. Tapi Farah menginginkan lebih.
"Aku punya satu syarat," kata Farah, matanya bersinar licik. "Aku izinkan kamu, tapi nanti saat Tania mulai bekerja, aku mau kamu temani aku bermesraan... di kamar utama, kamar Tania."
Tanpa berpikir lagi, Dika mengizinkan Farah sambil tersenyum nakal. Apa yang mereka berdua tidak sadari, adalah semua yang mereka bicarakan kembali didengar oleh Tania melalui alat sadap di kamar tamu. Senyum dingin terukir di bibir Tania di kegelapan kamar utama.
.....
Pagi harinya, suasana di meja makan terasa lebih santai, Dika sudah siap menyampaikan keputusannya semalam kepada Tania.
"Mas sudah pikirkan, Sayang. Kamu boleh bekerja," ujar Dika, tersenyum penuh kemenangan.
Farah tersenyum puas di tempat duduknya, ia berpikir dirinya telah menangkap peluang emas, tapi ia tidak tahu, semuanya sudah diatur dengan rapi oleh Tania.
Tania tersenyum tipis, mengucapkan terima kasih karena Dika mengizinkannya bekerja. "Terima kasih, Mas. Aku cuma ingin mencoba kemampuanku sendiri." Tania membuat alibi yang sempurna, seolah dirinya baru akan melamar pekerjaan. "Kalau begitu, hari ini aku akan pergi, dan mencoba melamar di PT Hartadinata, Mas."
Dika terkejut sesaat, jantungnya berdebar kencang. PT Hartadinata adalah perusahaan perhiasan yang sangat terkenal dan besar. Sekian lama Tania tidak bekerja, dia langsung mengincar perusahaan sekelas itu? Dika khawatir kembali akan Tania yang nanti lebih unggul darinya. Ego sebagai lelakinya muncul, ia tidak ingin Tania lebih sukses darinya, apalagi jika Tania berhasil diterima di perusahaan Hartadinata.
Pada saat bersamaan, di bawah meja, Farah menggoda Dika. Sentuhan lembut di paha Dika yang disengaja, memecah konsentrasi Dika akan kekhawatirannya. Dika tersadar, dan beralih memikirkan keuntungan yang bisa ia dapatkan jika Tania bekerja dan tidak ada di rumah.
Tania bisa menebak apa yang ada di dalam pikiran Dika. "Dasar bodoh, kamu masuk ke perangkap ku sendiri," pikir Tania dalam hati.
Dika akhirnya mengangguk, mengusir keraguannya. "Baiklah, Sayang. Semoga berhasil."
Mereka melanjutkan sarapan dalam keheningan yang penuh strategi. Dengan Tania yang memegang kendali penuh atas panggung drama ini. Tania kini memiliki izin, alibi, dan sekutu. Permainan sesungguhnya baru saja dimulai.
.....
Sarapan mereka telah usai, suasana masih penuh ketegangan. Sebelum beranjak, Dika, yang merasa harus tetap menjaga sandiwaranya, mengajukan pertanyaan kepada Tania.
"Kamu mau pergi sama siapa, sayang? Gak mau bareng Mas aja?" tawar Dika, nadanya terdengar tulus, namun hanya sekadar basa-basi.
Mendengar hal tersebut, di bawah meja, Farah langsung menginjak kaki Dika dengan keras.
Dika reflek mengaduh kesakitan, "Aduh!" Wajahnya meringis menahan sakit.
Tania pun berpura-pura khawatir, menanyakan mengapa Dika seperti itu. "Mas, kamu kenapa? Kok tiba-tiba gitu?"
Dika menjawab dengan terbata, mencoba menutupi insiden injak kaki. "Gak papa sayang, kaki Mas tiba-tiba kesemutan aja."
Tania tersenyum manis, senyum penuh kepalsuan yang hanya dia yang tahu artinya. "Aku pergi bareng Luna aja, Mas."
Dika mengangguk, merasa lega karena Tania tidak curiga. "Oh iya, si Luna. Kamu gak mau ngenalin sahabat kamu itu ke Mas, Sayang? Mas cuma tau nama aja loh, belum pernah lihat."
Tania tersenyum tipis. "Masih banyak waktu, Mas. Nanti aku akan kenalkan Luna, dia sudah menetap di Indonesia kok, gak tinggal di Paris lagi."
Ibu Dika, yang biasanya hanya diam saja, menimpali, suaranya terdengar penuh makna. "Kenapa gak bareng Dika saja, Tania? Ini hari pertama kamu mencoba melamar pekerjaan kan, Dika harusnya mendukung dengan mengantarkan kamu."
Mendengar hal itu, terlihat sekali kekesalan di wajah Farah. Ibu Dika terang-terangan memojokkannya dan Dika. Tania dengan sopan menjawab, meredam situasi.
"Ahh Ibu, aku biasa aja kok, gak papa. Mas Dika juga kan harus ke kantornya, lagian aku udah janjian sama Luna semalam, Bu. Doain aku keterima ya, Bu," ujar Tania.
Ibu Dika mengangguk mantap. "Pasti Nak, Ibu pasti doakan yang terbaik untuk kamu."
Tania kembali berbicara, kali ini dengan nada yang penuh strategi. "Oh iya, Mas, kalau aku keterima kerja, aku mungkin sudah nggak bisa melakukan pekerjaan rumah tangga seperti biasanya, gimana dong, Mas?"
Sebelum Dika sempat menjawab, Ibu Dika langsung menimpali dengan cepat, melihat peluang untuk membalas Dika dan Farah. "Kamu gak perlu khawatir Tania, kan di rumah ini ada Ibu, ada Farah juga, daripada dia gak ngapa-ngapain di rumah kalian, kan, sementara waktu bisa bantu-bantu dulu."
Tania tersenyum penuh kemenangan—sebenarnya itulah yang dia harapkan. Farah semakin kesal dengan ide yang diberikan Ibu Dika, rahangnya mengeras. Dika melihat sekilas ke arah Farah, ia tahu Farah pasti kesal dan tidak setuju. Dika pun akhirnya menjawab, mencoba menengahi.
"Soal itu nanti kita pikirkan lagi ya, sayang, kan kamu aja belum tahu apakah diterima atau nggak," ujar Dika.
Tania menyeringai, seringaian yang hanya bisa dilihat olehnya. Dika tidak tahu dirinya sudah menjadi bagian dari perusahaan Hartadinata, bahkan memiliki jabatan yang lebih tinggi darinya. Permainan ini baru saja dimulai, dan Tania jelas memimpin perolehan poin.
Sarapan telah usai. Tania dengan tenang mengumpulkan piring kotor bekas makan mereka. Dia melirik sekilas ke meja makan, pandangannya penuh makna sebelum melangkah ke dapur, meninggalkan Dika, Farah, dan Ibu Dika.
Begitu punggung Tania menghilang di balik pintu dapur, suasana di meja makan langsung berubah. Ketegangan yang tertahan meledak. Farah, tidak bisa lagi menahan kekesalannya, langsung menyampaikan rasa tidak setujunya, amarahnya meluap tapi dengan suara yang tertahan, penuh penekanan.
"Mas, pokoknya aku nggak mau, ya, gantiin tugasnya Tania di rumah ini," gerutu Farah, matanya menatap tajam Dika. "Aku bukan pembantu, Mas!"
Dika hanya diam, bingung harus bereaksi bagaimana. Farah kemudian memprotes Ibu Dika, nadanya menuntut. "Ibu juga, kenapa Ibu nyaranin kaya gitu, sih? Aku nggak mau! Aku bukan pembantu di rumah ini!"
Ibu Dika, yang sejak tadi menahan diri, kini menatap Farah dengan tatapan muak yang kentara. Sudah cukup dia diam.
"Kalau kamu mau tetap di rumah ini, harusnya kamu tahu diri, Farah," ujar Ibu Dika, suaranya tenang tapi dingin menghina. "Kamu bukan nyonya di rumah ini! Tania, nyonya yang sesungguhnya saja tidak pernah protes karena melakukan pekerjaan rumah. Dia tahu tugasnya sebagai seorang istri yang baik, itu baru benar. Sementara kamu? Kamu hanya tahu membuka kedua paha kamu di atas tempat tidur!"
Kata-kata hinaan itu membuat Farah tersentak, wajahnya memerah menahan amarah. Ibu Dika kembali melanjutkan ucapannya, tatapannya penuh penghinaan. "Kamu lihat, Dika? Wanita seperti itu yang kamu pilih untuk menggantikan posisi Tania?" Ibu Dika menunjuk ke arah Farah. "Dia bahkan nggak bisa dibandingkan dengan Tania dari segi apapun. Kamu benar-benar sudah dibutakan, jangan sampai kamu menyesal."
Ibu Dika langsung beranjak pergi begitu saja, meninggalkan Dika dan Farah dalam keheningan yang tegang.
Farah, yang merasa dipermalukan, menghentak-hentakkan kakinya di lantai. "Mas! Kamu harus belain aku! Bisa-bisanya Ibu kamu menghina aku seperti tadi! Pokoknya aku nggak mau gantiin tugas Tania di rumah ini, aku bukan pembantu!"
Dika kebingungan harus menjawab apa, terperangkap di antara amarah Farah dan kata-kata tajam ibunya. Akhirnya, ia melancarkan rayuan lagi. "Kita obrolin nanti siang, gimana? Sekalian makan di luar, kamu udah lama nggak shopping, kan?"
Mendengar hal tersebut, Farah langsung kegirangan, senyum sumringah merekah di wajahnya, dan mengangguk manja.
......
Di dapur, Tania sibuk mencuci piring, tapi setiap kata Ibu Dika, dan setiap bujukan Dika terdengar jelas.
"Kamu dengar itu, Dika?" pikir Tania, seringai dingin muncul di bibirnya. "Ibumu sendiri sudah muak dengan permainanmu. Dan kamu, Farah, begitu mudahnya dibeli dengan makan di luar dan shopping."
Tania mematikan keran air. Dia kini punya bukti kuat tentang hubungan mereka dan kelemahan Farah.
"Permainan ini semakin menarik. Dan aku yang akan jadi pemenangnya."
Bersambung...